Satu Abad Observatorium Bosscha
ERA.id - Observatorium Bosscha menginjak usia 100 tahun bulan ini. Meski sudah berusia satu abad, tempat itu masih berdiri tegak dan berkontribusi terhadap pengembangan astronomi dan sains di Indonesia, bahkan dunia.
Pada Senin (30/1/2023), Institut Teknologi Bandung (ITB) memperingati 100 tahun yang diadakan di Observatorium Bosscha di Desa Lembang, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
"Kami berbahagia bisa menghadiri peristiwa sejarah 100 tahun Observatorium Bosscha yang sudah memberi kontribusi pengetahuan astronomi. Tidak hanya untuk Indonesia tapi juga dunia," kata Ridwan Kamil kepada wartawan.
Ridwan Kamil mengatakan Observatorium Bosscha akan selalu menjadi tempat yang istimewa sebab bisa melihat bintang hemisfera utara dan hemisfera.
"Sampai saat ini masih dianggap sebagai tempat paling istimewa di dunia karena berada di daerah ekuator yang bisa melihat bintang di hemisfera utara dan hemisfera selatan sehingga bisa melihat dua wilayah yang Istimewa," kata Ridwan Kamil.
Dia mengatakan, Pemprov Jawa Barat bakal mendorong pelestarian Observatorium Bosscha dengan menjadikannya sebagai cagar budaya. Di mana nantinya setelah menjadi cagar budaya Pemprov Jawa Barat bisa menyokong anggaran dan sebagainya.
"Kami tetap mengupayakan untuk melestarikan agar sedang persiapan untuk menjadi cagar budaya, supaya kawasan ini bisa dilestarikan sehingga tujuan utama untuk menghasilkan kajian dan temuan, tidak terganggu kegiatan ekonomi atau pembangunan yang menggerus wilayah di sini," jelas Kang Emil.
Sosok di Balik Observatorium Bosscha
K. A. R. Bosscha adalah sosok di balik terbentuknya Observatorium Bosscha yang mulai digarap tahun 1920 dengan pembentukan Nederlands Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV).
Pada 1 Januari 1923 Observatorium Bosscha diresmikan dan menjadi perintis astronomi modern di Asia Tenggara dengan mengambil astrofisika bintang sebagai topik riset utama. Selain itu juga dorongan terobosan sains fisika dunia pada awal abad ke-20.
Pada 7 Juni 1928 teleskop refraktor ganda Zeiss dihadiahka K.A.R. Bosscha kepada Observatorium Bosscha yang menjadikan tempat pengamatan tersebut menjadi terbesar ketiga dan termodern di bumi bagian Selatan pada era itu.
Setelah upaya restorasi kondisi fasilitas dan pengelolaan yang terbengkalai selama Perang Dunia. Tahun 1951, Observatorium Bosscha diserahkan oleh NISV ke Republik Indonesia melalui FIPIA Universitas Indonesia yang kemudian menjadi FMIPA ITB.
Ini sekaligus menjadi saat dimulainya pendidikan tinggi astronomi di Indonesia. Penguatan sumber daya manusia, perluasan kerja sama, pengembangan fasilitas, menghasilkan diversifikasi penelitian yang kemudian mencakup astrofisika bintang, Tata Surya, dan Galaksi Bima Sakti. Posisi Observatorium Bosscha yang dekat ekuator ke arah Selatan amat menguntungkan dalam area langit astronomis yang dapat dicakup.