Adu Susah Ala Ria Ricis, Jangan Ditiru di Rumah
ERA.id - Ada yang bilang pengetahuan datang dengan banyak mempertanyakan, sedangkan kepekaan datang dengan banyak mendengarkan. Orang yang terlalu sering bicara tapi enggan mendengarkan sering kali jatuhnya jadi sok tahu dan tidak peka keadaan, contoh konkretnya: Ria Ricis.
Ibu muda dengan puluhan juta pengikut di Youtube itu mengundang seleb TikTok, Catheez ke rumah miliaran rupiahnya. Sambil mengambil gambar candid ala ibu-ibu komplek sedang ngerumpi ditemani bayinya, Ricis bertanya, “Pilih mama atau baby sitter?”
"Dih, males ah bahas keluarga!" protes Catheez sambil menangis.
"Kenapa Onty Catheez masih sedih? Emang kenapa? Orang tuanya kenapa?" selidik Ricis. "Tapi ada kan?"
"Ada."
"Tapi kenapa sedih? Kalau ada, nggak usah sedih. Kalau aku kan sedih karena papa aku udah nggak ada," ucap Ricis seperti motivator ulung.
"Ya kan sedih orang kan beda-beda," jawab Catheez.
Setelah itu Ricis masih terus nyerocos memaksa Catheez menceritakan soal masalah keluarganya. Catheez tampak sekali risih dan bolak-balik mengganti topik obrolan. Orang-orang yang menontonnya ikut geram, bahkan pengikut Ricis ikut berkomentar. Salah satunya berbunyi, “Untuk Kak Ricis, jangan terlalu memaksakan orang lain untuk bercerita.”
Kini potongan adegan itu sudah dihapus karena dikecam orang banyak. “Ricis juga manusia biasa yang pasti melakukan kesalahan,” tulis seorang pegawainya.
Kalaupun tak ada yang bisa kita pelajari dari Ricis, setidaknya kita bisa belajar dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Apa saja?
Kebiasaan beradu nasib di tongkrongan
Apa yang membedakan komunikasi dengan transaksi? Salah satunya bahwa komunikasi berusaha membangun hubungan dua arah, sedangkan transaksi didominasi satu pihak. Dalam sebuah transaksi, ada upaya mendominasi pihak lain untuk menerima penawaran yang diberikan. Terkadang malah manipulatif.
Saat kita berjalan ke kantin, lalu seorang ibu menghentikan kita dan segera mengarahkan kita masuk ke warungnya, kita sesungguhnya tidak sedang berkomunikasi, tapi dipaksa bertransaksi. Dan hal itu sangat bisa dipahami sebagai sebuah upaya bertahan hidup.
Namun, toh nyatanya dalam kehidupan sehari-hari, transaksi bukan hanya soal duit. Kita –sadar tidak sadar– banyak melihat orang-orang bertransaksi saat seharusnya mereka berkomunikasi. Sekali dua kali kita pasti pernah menemukan orang seperti itu, atau malah berkali-kali dan mungkin kita sendiri melakukannya secara naluriah.
Contoh kasusnya adalah saling adu nasib buruk di tongkrongan. Kita pasti pernah menemukan situasi di mana seseorang bercerita kesialan atau kesedihan yang menimpanya, lalu ada orang lain yang menimpali dengan kalimat pembuka macam ini, “Itu sih masih mending…” atau, “Yaelah, masak gitu doang sedih, itu belum seberapa…”
Ricis perwujudan kecil dari orang yang suka beradu nasib. Orang tua Catheez, seperti kita tahu, bercerai dan hidup masing-masing. Namun, alih-alih berusaha memahami perasaan lawan bicaranya, Ricis justru menyangkal perasaan itu dan menutupinya dengan kesedihannya sendiri yang ditinggal mati sang ayah.
Mereka yang suka beradu nasib cocok dipanggil Penjual Terong. Saat kita berkomunikasi dengan mereka, alih-alih mendapat teman ngobrol untuk mengalihkan kesumpekan hidup, kita malah tidak diberi kesempatan bicara karena mereka akan selalu menawarkan terong yang lebih besar, lebih kecil, lebih panjang, lebih pendek, lebih lonjong, lebih bundar, dan yang lebih-lebih lainnya.
Para Penjual Terong sibuk bertransaksi saat lawan bicaranya tidak berminat satu pun dengan terong yang ia tawarkan. Namun begitulah, transaksi bukan hanya soal duit, tetapi bagaimana mendominasi dan memanipulasi pihak lain.
Apa yang didapat dari dominasi semacam itu? Mungkin saja perasaan superioritas. Dan sampai sekarang kami tidak mengerti akan digunakan untuk apa perasaan itu selain untuk memberi makan ego pribadinya.
Menyangkal perasaan orang lain
Seorang psikolog Amerika, Dr. Marsha M. Linehan menulis buku Skills Training Manual for Treating Borderline Personality Disorder yang memaparkan konsep soal terapi untuk mengatasi emosi yang kompleks seperti stress pasca trauma. Di buku itu ia juga menulis soal emotional invalidation.
Dr. Marsha bilang emotional invalidation adalah penyangkalan terhadap emosi seseorang atau tidak memvalidasinya. Dan itu bisa dilakukan secara verbal atau non verbal. Apa yang dilakukan Ricis sebelumnya –dengan membandingkan antara kesusahan yang ia alami dan Catheez– adalah contoh emotional invalidation.
Apa dampaknya? Banyak, mulai dari merasa kehilangan dukungan dari orang lain, merasa rendah diri dan makin tidak berharga, kesepian, hingga mendorong perilaku yang merugikan diri sendiri atau lingkungan sekitar. Tak ada dampak positif bagi orang yang perasaannya disangkal terus-menerus oleh lawan bicaranya.
Kalau sekarang kita sudah menginsafi perbuatan kita yang suka menyela cerita orang lain dan beradu nasib dengan mereka, ada baiknya kita mengikuti saran dari Dr. Marsha untuk menghindari melakukan emotional invalidation, dimulai dari mendengarkan orang lain tanpa buru-buru menilai, memvalidasi perasaan mereka meski kita tidak setuju, dan menahan-nahan untuk mengatakan sesuatu yang menghina dan merendahkan perasaan orang. Sisanya kita bisa terus berdoa agar perasaan kita juga tidak disangkal orang lain.