Orang Asli Lamongan Pantang Makan Lele, Tapi Kok Banyak yang Jual Pecel Lele?
ERA.id - Tak banyak pilihan menu makan malam bagi para pekerja ibu kota yang terjebak macet di jalan. Paling-paling pilihannya hanya berputar di kisaran nasi goreng, mie ayam, ayam goreng, atau pecel lele. Untuk menu yang terakhir itu, kebanyakan diakhiri dengan embel-embel "khas Lamongan" di spanduknya.
Ngomongin Lamongan memang kurang pas tanpa membahas kulinernya. Saking populernya makanan khas Lamongan, Indomie sampai mengeluarkan varian rasa soto Lamongan. Selain soto, pecel lele rasa-rasanya sudah identik dengan Lamongan.
Kalau kita iseng-iseng cek lambang kota di pesisir pantai utara Jawa Timur itu, maka kita akan menemukan gambar seekor ikan lele. Namun, yang jarang diketahui orang, penyematan ikan berkumis itu musababnya bukan karena maraknya orang Lamongan jualan pecel lele, tapi berasal dari cerita rakyat yang turun temurun diwariskan orang-orang tua Lamongan, khususnya daerah Glagah dan sekitarnya.
Jauh sebelum pecel lele Lamongan bergentayangan di pinggiran jalan Jakarta, sebagian orang yang berdarah asli Lamongan punya pantangan makan lele. Konon, mereka yang melanggar maka kulitnya akan mengelupas dan belang-belang serupa lele. Bagaimana kisah ini bermula?
Kisah lele pelindung leluhur orang Lamongan
Kapan-kapan kalau berkunjung ke Lamongan, jangan hanya mampir ke Wisata Bahari Lamongan, tapi sempatkan ziarah ke makam Syekh Abdus Somad atau Mbah Boyo Pati di Desa Medang, lalu memesan kopi di sekitar sana sambil mengulik kisah lele pelindung leluhur orang Lamongan dari warga sekitar yang membuat mereka pantang makan lele.
Siti, seorang perempuan asli Lamongan yang sudah puluhan tahun merantau ke Jakarta masih bertahan dengan tradisi lama di kampungnya. Tak pernah sekali pun mulutnya merasakan hangat daging lele. Dari mulutnya juga kami mendengar salah satu versi asal-usul mengapa orang asli Lamongan dilarang makan lele.
Alkisah, pada suatu malam Sunan Giri menaiki perahu sendirian dari Giri menyisir Bengawan Solo. Tibalah ia di sebuah kampung dan memutuskan beristirahat sejenak. Dilihatnya sebuah rumah masih menyalakan lentera, saat lewat di depan situ ia diajak mengobrol sang tuan rumah, Mbok Rondo namanya.
Ketika hari masih gelap dan subuh masih jauh, Sunan Giri pamit pulang. Ia kembali menaiki perahunya kembali ke Giri. Sesampainya di rumah, barulah ia sadar kerisnya ketinggalan di tempat Mbok Rondo. Diutuslah seorang muridnya untuk mengambil keris itu, tak lain adalah Mbah Boyo Pati.
Pergilah Boyo Pati mengemban tugas dari sang guru. Warga masih lelap dalam mimpinya begitu juga Mbok Rondo ketika Boyo Pati tiba di sana. Tak ingin mengusik jam istirahat mereka, ia memakai ilmunya dan mengambil keris gurunya diam-diam. Sayangnya, Mbok Rondo terbangun dan menyadari seorang asing menyelinap ke rumahnya. Seketika juga ia berteriak, “Maling!”
Tanpa sempat menjelaskan duduk perkaranya, Boyo Pati keburu dikejar warga yang bangun mendengar teriakan Mbok Rondo. Ia berlari kesetanan hingga menemukan sebuah sendang berisi banyak ikan lele berkerumun. Tanpa pikir panjang, Boyo Pati segera menyebur ke sana dan berdoa yang terbaik agar persembunyiannya tak terbongkar.
Keajaiban pun terjadi. Tatkala para warga mendekati kolam itu dan hendak memeriksanya, ratusan lele memenuhi permukaan dan tampak tenang, mereka menyembunyikan sosok di baliknya. Ketika Boyo Pati keluar dari kolam, para pengejarnya sudah bubar dan pelariannya berakhir. Saat kembali ke Giri untuk menyerahkan keris gurunya, ia bersumpah tak akan menyantap lele dan mewanti-wanti anak cucunya agar meneruskan pantangan itu.
Sejak saat itulah sebagian warga asli Lamongan, khususnya di sekitar Kecamatan Glagah, pantang makan lele untuk menghormati janji leluhur mereka. Dan bagi warga Desa Medang yang terlanjur makan lele, mereka biasanya akan ziarah ke makam Mbah Boyo Pati.
Mengapa pecel lele Lamongan jadi terkenal?
Selain kisah tadi, ada satu lagi petuah turun temurun yang jamak didengar orang Lamongan: Kita bisa hidup selama masih bisa bikin sambal. Kemudian ada yang menafsirkannya begini, “Kalau bingung cari kerja, maka berdaganglah pecel lele.”
Sekilas hal ini tampak kontradiktif. Satu sisi ada orang asli Lamongan yang pantang makan lele, tapi di sisi lain banyak juga yang jualan pecel lele. Kok bisa hewan yang awalnya dilindungi dan dihormati itu akhirnya justru jadi santapan khas Lamongan?
Siti yang menceritakan kisah di atas kepada kami punya beberapa alasan. Pertama, karena kisah Mbah Boyo Pati lebih sering beredar di Glagah dan sekitarnya. Kedua, pantangan tadi biasanya hanya berlaku ketat bagi mereka yang berdarah asli Lamongan, sehingga ketika ada yang menikah dengan orang luar Lamongan, anak-anaknya tak melanjutkan pantangan tadi. Ketiga, karena pantangan makan lele sifatnya tak tertulis dan tak mengikat, hanya menjadi kebiasaan keluarga.
“Suami dan anak-anakku ya doyan lele,” cerita Siti yang menikah dengan orang luar Lamongan. “Tapi aku tetap enggak makan, dari dulu.”
Lalu, sejak kapan pecel lele Lamongan jadi terkenal? Budayawan Lamongan Syarif Hidayat pernah bercerita kalau dulu beberapa wilayah di Lamongan terkenal suka banjir pas musim hujan, sebaliknya, kekeringan saat kemarau. Akhirnya, banyak orang Lamongan merantau ke kota-kota besar sejak 1950-an.
Hingga pada tahun 1970-an, di Jakarta mulai banyak orang Lamongan. Sejarawan JJ Rizal bilang pecel lele Lamongan baru merebak di Jakarta tahun 1990-an, itu pun bukan kuliner asli sana, tapi hasil adaptasi para perantau, seperti soto Lamongan yang awalnya dari Madura.
Lama-kelamaan, saking banyaknya perantau Lamongan yang jualan pecel lele, makanan itu jadi identik dengan Lamongan. Hari ini, rata-rata pedagang pecel lele yang kita temui di sudut-sudut jalan ibu kota adalah orang Lamongan, dan bukan tidak mungkin orang tuanya adalah keturunan dari Mbah Boyo Pati yang masih pantang makan lele.