Menyusuri Lorong Waktu di Mal Blok M

ERA.id - Nama Blok M seperti lagu, mendengarnya dapat membangkitkan banyak kenangan, khususnya bagi anak-anak Jakarta yang besar di era 80-an hingga 90-an. Dahulu, Blok M Square masih bernama Aldiron Plaza yang sudah menemani remaja ibu kota sejak tahun 1978. 

Ketika Bang Wi (Wiyogo Atmodarminto) menjabat Gubernur DKI Jakarta, lahan seluas 3,5 hektar di sebelah Aldiron dibangun menjadi Mal Blok M yang diresmikan pada 3 Oktober 1992 dan kelak melegenda sebelum akhirnya dibiarkan terlantar.

“Dulu, orang bilang kalo belom ke Blok M sama aja belom ke Jakarta,” ucap Ruli kepada ERA sambil duduk bersandar tembok bercat abu-abu di samping pintu masuk Mal Blok M, Rabu (8/2/2023). “Sekarang yang rame cuman Aldiron, Mal Blok M ya sepi begini.”

Ruli bertahun-tahun jadi tukang parkir di Mal Blok M sekaligus saksi sejarah kejayaan tongkrongan muda-mudi Jakarta itu. Ia masih menyebut Aldiron saat menunjuk Blok M Square. Baginya, Blok M adalah tempat bermain sejak usianya masih belasan tahun. Hari ini, Blok M jadi tempatnya bernaung mencari uang. 

Ruli, tukang parkir di Mal Blok M. (ERA/Agus Ghulam)

Selain Ruli, lahan parkir di sepanjang jalan Mal Blok M dipegang dua temannya yang lain, Narto dan Jangkung. Mereka menyetor uang harian ke Pemuda Pancasila (PP) yang mengamankan kawasan itu. Jumlahnya tak menentu, tergantung pendapatan mereka tiap hari. Pada hari-hari kerja yang sepi, paling sedikit Ruli hanya mengantongi Rp40 ribu dan dibagi dua untuk setoran.

“Biasanya dapet Rp120 ribu, itu Rp50 ribu saya buat setoran, sisanya saya simpen,” ucap Ruli. “Paling rame kalo Sabtu-Minggu, bisa dapet Rp300 ribu sehari.”

Pada masa remajanya, Ruli biasa menghabiskan uang untuk bermain dingdong di lantai atas Aldiron, memakai koin Rp100 yang masih berukiran gunungan wayang. Sementara Mal Blok M jadi tujuannya untuk mencari kaset-kaset lagu atau CD film-film favoritnya. Mal Blok M adalah kesenangan dan hiburan, di sana rasanya semua serba ada, semua pernah ada.

Suasana dalam Mal Blok M. (ERA/Agus Ghulam)

Kami masih mengunjungi Blok M Square sesekali di akhir pekan, tapi nyaris tak pernah menginjakkan kaki lagi di Mal Blok M semenjak belasan tahun silam walaupun mereka berdua bergandengan. Dari luar, mal itu seperti lansia menunggu mati di panti wreda, tanpa semangat, tanpa gairah. Mungkin itu juga alasan mengapa Ramayana dan supermarket Robinson hengkang dari sana pada 2017.

Ketika kembali ke Mal Blok M setelah belasan tahun, kami seperti memasuki lorong waktu. Ia tak ubahnya bangunan bersejarah yang sengaja tak dijamah untuk menjaga keotentikannya. Meskipun masih hidup, tetapi nyawanya tinggal setengah. Ada kabar beredar di kalangan pedagang bahwa mal itu akan dipermak pada Oktober tahun lalu. Namun, Oktober lewat dan kabar tadi hanya berlalu seperti angin.

Yang hilang dan masih bertahan di Mal Blok M

Mal Blok M terdiri dari dua tingkat yang menjorok ke bawah tanah dan aksesnya masih menggunakan tangga. Kami memasukinya lewat pintu masuk di samping Plaza 2. Bau cat yang belum kering menguar dari kedua tiang bundar yang mengapit teralis besi. Entah ada berapa anak tangga yang kami turuni, dan saat sampai di bawah sana, kami bisa mencium aroma bangunan tua seperti gudang yang lama tak dikunjungi.

Hanya ada dua toko yang masih buka dan menyambut kami setelah pintu masuk: Apotek Saudara di sisi kiri dan salon The Guh Wijaya Negara di sisi kanan. Bersebelahan dengan salon The Guh ada toko Tamiya yang sudah kukut, hanya menyisakan kardus-kardus Tamiya berjejer di etalase besi dan beberapa piala di atas lemari kaca. Sehabis melewati itu, hanya ada lorong panjang yang kosong sana-sini.

Langit-langit Mal Blok M dibuat melengkung setengah lingkaran dengan atap kaca di puncaknya. Cat kuningnya tampak lapuk di mana-mana dengan hiasan rumah laba-laba di sebagian sisi. Barisan lampu di sepanjang lorong dibiarkan mati menggantung. Kami seperti berjalan di peron stasiun tua yang lama tak dilewati kereta api.

Ratusan bilik yang dulunya ramai jadi pertokoan kini ditutupi tirai besi ditempeli poster-poster berbunyi “DISEWAKAN”. Mungkin begini rasanya pulang kampung tanpa keluarga yang menunggu di rumah, sepi dan asing. Padahal Mal Blok M dulunya selalu ramai tak peduli hari apa, diiringi bising lagu dari band-band idola masa itu, sebut saja Metallica, Nsync, Dewa 19, hingga Sheila on 7. Kini yang terdengar hanya derap langkah security yang berjalan bolak-balik.

Mal Blok M bukannya benar-benar dilupakan, masih ada beberapa orang mampir, meski hanya untuk memotong jalan ke halte TransJakarta atau stasiun MRT. Ada juga beberapa pasangan yang lewat Mal Blok M sekadar untuk berangkulan dan berpegangan tangan.

Sepasang remaja melewati lorong sepi Mal Blok M, Rabu (8/2/2023). (ERA/Agus Ghulam)

Setengah jalan menuju arah halte TransJakarta ada tangga menuju lantai dasar yang sekarang diisi mobil-mobil bekas. Bursa mobil itu diresmikan pada Mei 2019, menggantikan tempat untuk Ramayana dan Robinson yang cabut dua tahun sebelumnya. Sayangnya, mobil-mobil itu tak juga membuat orang-orang tertarik untuk bermain ke Mal Blok M lagi.

Di depan tangga menuju bursa mobil bekas tadi, tergantung jam dinding yang jarum pendeknya terjebak di angka 8. Jika kita terus berjalan ke ujung lorong menuju arah TransJakarta, kita bisa menemukan toko thrifting, toko elektronik, dan beberapa kedai makan yang sejenak meramaikan suasana. Namun, wajah-wajah para pedagang tampak lesu dan suram.

Ada satu-dua papan larangan merokok dan kawasan bebas asap rokok di sana, tetapi tak ada juga yang mau peduli. Sekali waktu kami berpapasan dengan seorang pria yang merokok syahdu di pojokan sambil menumpang mengisi baterai ponselnya, kakinya diangkat dan disandarkan ke tembok. Di Mal Blok M semua hidup masing-masing.

Seorang pria bermain hp di sudut-sudut Mal Blok M. (ERA/Agus Ghulam)

Dari semua sudut yang rasanya diabaikan, ada satu ruangan yang tampak dirawat dengan tekun, yaitu toiletnya. Itu sekilas melegakan kami. Setidaknya, meski merasa terasing di Mal Blok M, kita bisa pipis dengan tenang, nyaman, dan gratis.

Mengenang Mal Blok M yang dulu

Nostalgia kami di Mal Blok M ditemani seorang pegiat sejarah asal Lampung, Mazzini. Darinya kami mendengar banyak cerita di balik mal yang dulunya diramaikan komunitas sepatu roda hingga skate board itu.

“Di depan ini ada Stadion bulungan, gelanggang olahraga, dulu anak muda berkumpul di situ. Terus pada pindahlah, istilahnya direlokasi. Kumpul-kumpulnya di sini,” ujar Mazzini. “Blok M ini pernah dibuat film, judulnya BLOK M, jadi kepanjangan Bakal Jadi Lokasi Mejeng. Dulu kalau gua gak salah, Dessy Ratnasari, Paramitha Rusady yang main, jadi menjadikan Blok M ini pusat hang out-nya anak-anak dari tahun 70-90 lah.”

Mal Blok M ramai karena aksesnya mudah dicapai. Bus Metromini dan Kopaja siap mengantar pulang-pergi para pengunjung. Ditambah lagi pada 2005 Terminal Blok M jadi akhir dari rute TransJakarta koridor 1. “Dulu rame banget,” ucap Mazzini. “Kalau lebaran Idul Fitri ada anak-anak Jakarta dari timur, selatan pada larinya ke sini, karena ini kan jadi pusat fashion, terutama di tahun 90-an.”

Para pedagang yang masih bertahan berkisah kalau kiamat Mal Blok M dimulai sejak Metromini dan Kopaja makin jarang beroperasi di Terminal Blok M. Lebih-lebih saat online shop mulai merajalela. Satu per satu pedagang mulai angkat kaki dari sana, meninggalkan Mal Blok M dan segala kenangannya.

Selain jadi pusat hiburan pada masanya, Blok M juga pernah jadi tempat berkumpulnya preman-preman ibu kota. Sejarawan Australia, Adrian Vickers yang fokus studi seputar Asia Tenggara pernah menyinggung soal ini.

“Di Blok M ini dulu ada gang namanya Cross Boy, itu isi-isinya anak-anak militer. Nah mulai dari situ memang image-nya mulai terbangun, seperti menyeramkan, premanisme,” ujar Mazzini mengutip penjalasan dari Adrian. “Apalagi ditambah adanya terminal Blok M, ada Metromini, Kopaja, segala macem, itu memang terkesan Blok M jadi tempat yang rawan gitu.”

Premanisme tadi meski kini tak sevulgar dulu, tetapi jejak-jejaknya masih tersisa dan bisa kita tengok lewat para juru parkir seperti Ruli. Sejatinya, sejak 2008 pengelolaan lahan parkir di Blok M diserahkan kepada PT Dinamika Mitra Pratama atau Best Parking sebagai pihak ketiga. Namun, tetap saja lahan parkir di Blok M jadi wilayah kekuasaan beberapa organisasi, seperti PP, kelompok Arek, atau kelompok Serang. Jadi, siapa pun yang berkunjung ke Blok M harus menebus biaya parkir dua kali. 

Kami keluar Mal Blok M dari ujung lorong yang mengarah ke Stasiun MRT. Di sisi itu tak ada gerai yang buka sama sekali, hanya ada aula kosong luas bekas Informa yang disekat kain panjang. Langit-langitnya keropos dan bolong-bolong, menambahi ventilasi udara yang sudah bapuk. 

Pintu keluar Mal Blok M menuju arah Stasiun MRT. (ERA/Agus Ghulam)

Apakah Mal Blok M bisa bangkit dari mati surinya yang sekarang? Mazzini juga tak bisa menjawab, ia hanya berharap kejayaan itu kembali. "Tergantung dari Pemprov, ini kan katanya mau ada revitalisasi, seperti apa mereka membangun ulang Blok M ini?" Ucapnya dengan mata yang tampak meneropong ke masa lalu. "Berharapnya sih Blok M bisa kembali ke masa kejayaannya dulu, karena jujur kangen banget di masa 2000-an tuh. Seru. Blok M seseru itu Cuy!"

Kami diam-diam mengamininya, lalu berjalan menuju parkiran, menemui Ruli yang sudah menanti di depan sana untuk mengumpulkan uang yang akan digunakannya pulang kampung.

>