SKB 2 Menteri dan Jalan Terjal Kebebasan Beragama
ERA.id - Indonesia menjamin hak warganya untuk beragama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Namun, pembatasan aktivitas kelompok minoritas masih sering terjadi, seperti yang dialami jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Bandar Lampung, Minggu (19/2/2023).
Video oknum warga yang menerobos ke dalam gereja itu saat sedang kebaktian viral di media sosial. Tampak seorang pria bertopi dan berbaju biru berusaha membubarkan ibadah dan menyuruh pengiring lagu di gereja untuk berhenti memainkan alat musiknya. Para jemaat terpaksa berhenti dan bubar karena kejadian tadi.
Sebelumnya, keberadaan gereja tersebut memang sempat memicu polemik antara jemaat gereja dengan warga setempat. Pada bulan April 2022, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung pernah memfasilitasi musyawarah antar kedua belah pihak di Aula Kelurahan Rajabasa Jaya, Rabu (13/4/2022).
Dalam forum itu, seorang perwakilan masyarakat menyampaikan bahwa warga setempat menghentikan aktivitas di GKKD karena bangunan yang dijadikan rumah ibadah tersebut belum punya izin. Sementara Ketua Panitia Pembangunan GKKD, Parlindungan Lumban Toruan menjelaskan bahwa proses perizinan masih terkendala sehingga pihaknya meminta bantuan dari pihak kecamatan dan kelurahan.
"Jemaat kami ada sekitar 60 sampai 70 orang yang mereka berasal dari berbagai kecamatan di kota Bandar Lampung," kata Parlindungan.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bandar Lampung Purna Irawan lalu menjelaskan bahwa kurangnya jemaat gereja jadi persoalan. "Acuan pokok pendirian rumah ibadah itu yakni harus ada 90 pengguna atau jemaat dan 60 persen pendukung atau izin lingkungan sekitar,” ucapnya.
Musyawarah berakhir dengan keputusan bahwa status tanah yang ditempati jemaat Kemah Daud merupakan milik mereka, tetapi belum disepakati sebagai bangunan gereja; jika ingin menyelenggarakan peribadatan di sana, maka harus mengacu kepada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006; jika perizinan keluar maka peribadatan di gereja bisa diselenggarakan; dan selama izin belum keluar, pemerintah akan memfasilitasi peribadatan jemaat.
Purna Irawan mengatakan peristiwa yang viral pada hari Minggu kemarin hanya miskomunikasi setelah beberapa kali pertemuan dan kesepakatan. Sejumlah aparat kampung mendatangi lokasi, tetapi posisi gerbang terkunci dan tak kunjung dibuka sehingga mereka meloncati pagar.
“Sebenarnya oknum aparat kampung itu datang untuk mengingatkan dan menghentikan kegiatan peribadatan karena takutnya masyarakat kumpul sehingga terjadi chaos," ucapnya seperti dikutip dari Antara, Senin (20/2/2023).
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Lampung Puji Raharjo menanggapi bahwa semua kegiatan peribadatan di rumah ibadah harus mengikuti prosedur sebagaimana ditetapkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006.
“Saya selaku Kepala Kantor Kemenag berharap kita semua tentu menginginkan adanya kedamaian, keamanan, dan keharmonisan antar pemeluk agama, mari permasalahan ini kita selesaikan bersama-sama dengan tetap mengedepankan kebersamaan, kerukunan, serta menjaga kondusivitas dan harmoni antar umat beragama," ucap Puji dalam dialog bersama di Bandar Lampung, Minggu (19/2/2023).
Peristiwa yang dialami jemaat GKKD kemarin menambah panjang daftar gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah yang terjadi di Indonesia. Mirisnya, Peraturan Bersama Menag dan Mendagri atau SKB 2 Menteri yang dicetuskan untuk memfasilitasi kerukunan umat beragama justru acap kali dijadikan senjata untuk mendiskriminasi kelompok minoritas. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi?
Peraturan yang memihak mayoritas
Presiden Joko Widodo mewanti-wanti kepala daerah untuk menjamin kebebasan beragama dan beribadah warganya dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Daerah di Kabupaten Bogor, Selasa (17/1/2023). Ia menegaskan bahwa kebebasan tersebut dilindungi konstitusi dan jangan sampai dikalahkan oleh kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dengan pihak-pihak yang melarang pembangunan tempat ibadah.
Konstitusi yang dimaksud di antaranya Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E Ayat (1) yang menyebutkan: Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Dan dalam Pasal 29 Ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Namun, menurut SETARA Institute, masih banyak kelompok yang mengalami diskriminasi. Mereka mencatat ada 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah di Indonesia sejak 2007 hingga 2022. Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya yang menimpa kelompok minoritas.
Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan menjelaskan kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia secara umum lebih baik sebelum adanya SKB 2 Menteri tahun 2006. “Khususnya dalam hal peribadatan dan pendirian rumah ibadah karena memuat beberapa muatan diskriminatif atau minimal restriktif, membatasi atau mempersulit,” ujarnya kepada ERA, Senin (20/2/2023).
Dalam Pasal 14 Ayat (2) SKB 2 Menteri disebutkan bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan khusus yaitu pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang; dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang; dan rekomendasi tertulis dari kepala kantor departemen agama dan FKUB setempat.
“Saya kira sulit bagi mereka memenuhi syarat itu, kecuali beberapa daerah, seperti Kota Kupang yang membentuk tim fasilitas pendirian rumah ibadah,” ujar Hasan. “Padahal konstitusi kita kan memberikan jaminan kemerdekaan beragama dan beribadah itu kepada perorangan, tiap-tiap penduduk.”
SKB 2 Menteri, menurut Hasan, memberikan ruang untuk diskriminasi dan penguatan mayoritarianisme di berbagai daerah. Sementara FKUB dalam banyak kasus hanya menjadi perpanjangan dominasi mayoritas. “Dengan komposisi yang proporsional, di mana keanggotaan FKUB didominasi oleh pihak mayoritas, di situlah pengajuan dari yang minoritas dipersulit,” ujarnya.
Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos mengungkapkan bahwa FKUB di beberapa daerah pernah menghalang-halangi pendirian rumah ibadah. "Di beberapa tempat terjadi, seperti di Cilegon. FKUB tidak mau mengeluarkan rekomendasi. Apalagi mekanisme pengambilan suara adalah musyawarah bulat. Jadi satu saja tidak setuju bisa menegasi pihak yang setuju," ujar Bonar.
Dari data yang dikumpulkan SETARA Institute, FKUB sendiri menjadi aktor di balik 22 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah hingga tahun 2022. Hasan mengatakan hal ini disebabkan karena FKUB diberi wewenang untuk menyetujui dan tidak menyetujui pendirian tempat ibadah, bukannya wewenang untuk melakukan mediasi atau resolusi konflik antar umat beragama.
Menanti janji-janji yang tak kunjung terealisasi
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pernah berjanji untuk mempermudah pendirian tempat ibadah kelompok minoritas dan meninjau ulang Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006. Hal itu ia sampaikan dalam forum yang diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) pada hari Senin (25/1/2021).
"Kita kaji mana yang terbaik untuk kehidupan umat beragama. Jika ada pasal-pasal yang perlu dipertahankan, jika ada pasal-pasal yang jadi hambatan mendirikan tempat ibadah, akan kita drop, kita perjelas, tambahi, agar kita makin mudah jalankan ibadah," ujar Yaqut dalam sambutannya. Namun, setelah lewat dua tahun sejak janjinya itu, belum ada perubahan yang berarti.
Jauh sebelum janji menteri agama, janji yang sama pernah terdengar dari kubu Jokowi menjelang pemilihan presiden 2014. Anggota tim pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Musdah Mulia, pernah menyampaikan bahwa pihak mereka menjanjikan penghapusan semua regulasi yang dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM), termasuk SKB 2 Menteri. Ia juga bilang bahwa Jokowi telah menyetujui usulan tersebut.
"Peraturan soal pendirian rumah ibadah itu akan dihapus. Aturannya menyulitkan kaum minoritas," ujar Musdah dalam diskusi Masa Depan Kebebasan Beragama dan Kelompok Minor di Indonesia di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (18/6/2014).
Hari ini masa pemerintahan Jokowi periode kedua tersisa kurang dari setahun lagi dan menteri agama juga bisa saja berganti pada 2024 nanti. Namun, peraturan yang dinilai diskriminatif dan menyulitkan kelompok minoritas untuk membangun rumah ibadah tersebut masih ada dan belum berubah sejak pertama kali disahkan 19 tahun silam.