Ngobrol Bareng Mario Rajasa: Jalan Mualaf Sang Anak Autis

"Saya autis dan terlahir bodoh, IQ rendah, terus saya ketemu di situ orang Islam itu sangat baik sekali. Orang Islam itu ngebantu nolong saya apa adanya, sangat ramah," ujar Mario Rajasa.

ERA.id - Saat kecil mungkin kita merasa hidup ini seperti jalan panjang lurus tak bercabang. Kita berlari sekuatnya, bersenang-senang, tanpa tahu ada apa di ujung sana. Tak lama kemudian, kita sampai di persimpangan jalan dan akhirnya sadar dalam hidup ini ada saatnya kita harus memilih. Mario Rajasa, seorang pemuda autis yang mengaku IQ-nya berhenti di angka 58, berada di persimpangan itu saat usianya 21 tahun.

Mario lahir dan besar dalam keluarga yang mayoritas beragama Buddha, keyakinan yang juga dianut kedua orang tuanya. Namun, sejak kecil Mario dimasukkan ke sekolah Katolik hingga akhirnya dibaptis. Tahun 2016 silam, ia memutuskan meninggalkan keyakinan lamanya, masuk Islam, dan beralih jadi seorang mualaf. Kami berjumpa dengannya di Masjid biru An-Nizam milik Pusat Polisi Militer Angkatan Laut, Senin (20/3/2023), untuk mendengar kesaksian lengkap Mario dan bagaimana Islam mengubah hidupnya.

Masjid An-Nizam Puspomal. (ERA/Agus Ghulam)

"Saya dulunya suka konsumsi minuman keras, alkohol di atas 25%, saya berhenti selamanya sejak tanggal 8 Desember 2022 setelah konsumsi selama 20 tahun lebih," cerita Mario. 

Suaranya terdengar serak dan patah-patah seperti kaset tua. Setahun lalu ia mengaku suaranya masih jernih, hingga suatu hari ia keracunan akibat meracik arak dengan durian dan jatuh terkapar. Kesadarannya kembali ketika ia dibawa ke rumah sakit, tetapi sayang suaranya yang dulu harus menghilang.

Mario memakai jersey Liverpool saat berjumpa dengan kami di masjid biru. Senyumnya tak pernah surut. Sorot matanya seperti selalu teralihkan dengan sesuatu dan enggan bertemu dengan mata kami. Hampir-hampir tiap orang yang berpapasan dengannya mengenali Mario, entah itu takmir masjid, para tentara yang mengisi waktu menanti azan Zuhur, hingga ibu-ibu kantin. Ia tampaknya sudah dianggap keluarga besar masjid itu.

Mario Rajasa. (ERA/Agus Ghulam)

“Saya sebenarnya juga ada keturunan autism dari keluarga saya, dari mama saya,” ucapnya. “Cuman keluarga mama terlahir jenius, hanya saya yang di bawah rata-rata IQ-nya alias terlahir bodoh.” 

Ia lalu menuntun kami masuk ke dalam masjid dan segera bersiap untuk diwawancara. Kepada kami ia bercerita awal mulanya berkenalan dengan Islam, bagaimana keluarga inti menolaknya dan menganggapnya telah dicuci otak, hingga ketenangan yang ia dapatkan semenjak memilih mengikuti Nabi Muhammad. 

Kenapa memilih bertemu di Masjid An-Nizam Puspomal?

Karena dekat sekali dengan rumah. Karena kalau di rumah nanti jadinya bahan fitnah. Orang tua saya, papa saya, masih belum suka agama Islam. 

Mas Mario kenapa suaranya bisa serak seperti sekarang?

Saya dulu suka minum-minum alkohol, suka mabuk-mabukan, waktu dulu. Akhirnya saya berhenti dari mabuk-mabukan itu karena dosa besar. Salatnya enggak diterima saya. Terus habis itu saya ingin supaya saya bisa berhenti alkohol, minum-minuman keras lainnya. 

Dulu minum alkohol itu yang di atas 25 persen. Itu tidak boleh, untuk kesehatan tidak baik. Waktu itu juga aku makan durian pakai arak itu, saya campur pakai jamu dan arak dan makan durian. Akhirnya suara saya jadi tambah serak dan keracunan saya.

Masuk Islam waktu itu umur berapa?

21 tahun.

Sebelumnya beragama Katolik?

Katolik. Kaluarga campur, ada Buddha, ada Kristen Protestan, ada Katolik, ada Islam. Tapi Islam alhamdulillah agama terbesar kedua setelah Buddha. Keluarga inti saya sudah banyak yang mualaf. 

Kalau orang tua dan saudara-saudara kandung?

Belum. Nanti akan menyusul adik saya yang cewek dan suaminya. Baru menikah kemarin, di Australia, di Melbourne. 

Dari awalnya yang memeluk Katolik kemudian bertemu dengan Islam itu bagaimana ceritanya?

Ini ceritanya dulu saya dibilangin bahwa Islam itu agama yang teroris, radikalis, dan intoleran. Tapi sejak lama saya nyari nyari nyari, ternyata 2014 saya nonton berita bahwa Israel nyerang Palestina, tapi ternyata kok yang Islam yang jadi korban. Terus saya nyari tahu apakah agama Islam itu teroris? Ternyata enggak sama sekali. Orang Islam itu baik sekali.

Terus habis itu, 2015 saya pergi, saya baca Al-Qur'an, saya baca buku-buku Islam, ternyata subhanallah menenangkan luar biasa sekali hingga akhirnya saya sekolah di kampus Asmi sini, ketemu dengan orang Islam. 

Mario Rajasa bercengkerama dengan jamaah Masjid An-Nizam Puspomal. (ERA/Agus Ghulam)

Saya autis dan terlahir bodoh, IQ rendah, terus saya ketemu di situ orang Islam itu sangat baik sekali. Orang Islam itu ngebantu nolong saya apa adanya, sangat ramah. Saya keturunan etnis Tionghoa, keturunan Chinese, tapi mereka tetap mengakui saya apa adanya, nerima saya apa adanya, itu orang Islam doang. 

Terus akhirnya saya pelajarin, akhirnya saya bersyahadat tanggal 14 Oktober 2016, disaksikan oleh tiga orang teman-teman saya, mahasiswa-mahasiswi. Saya bersyahadat sampai hari ini, orang tua saya setelah bersyahadat itu enggak langsung bisa nerima apa adanya. 

Mereka marah kepada saya dan membuang Al-Qur'an saya, membanting Al-Qur'an saya. Dia bilang katanya, "Kamu dicuci otak kamu, kamu masuk Islam, Islam itu agama teroris." Terus akhirnya saya bilang enggak seperti itu, Islam itu baik dan lain sebagainya. 

Sekarang mama saya udah menerima apa adanya, dan adek-adek saya udah bisa nerima apa adanya, itu aja. 

Setelah memutuskan bersyahadat, kemudian Mas Mario belajar Islam dari mana?

Dari ustaz-ustaz, kiai, ngaji di masjid. Kadang-kadang.

Mas Mario katanya suka puasa Daud ya? Itu sejak kapan?

Sejak Januari tahun ini, 2023. Sabar, diusahain bisa, asal ada niat, semuanya bia selama ada niat. Hidup ini bukan soal bisa enggak bisa, hidup ini bukan soal susah gampang, tapi hidup ini soal mau atau enggak mau. Kalau mau niat, bisa insyaAllah. 

Waktu memutuskan jadi mualaf, siapa yang paling menentang?

Orang tua, papa paling menentang.

Sekarang bagaimana?

Lumayan baik.

Ada perubahan apa setelah memutuskan jadi mualaf?

Oh banyak. Dulu saya suka marah, enggak sabaran, sekarang jadi jauh lebih sabar, jauh lebih tenang, jauh lebih enjoy, hidupnya santuy paling enggak.

Kenapa bisa begitu?

Karena menjalankan apa yang Allah SWT perintahkan, Rasulullah perintahkan, dan saya juga rajin salawatan dan lain sebagainya, banyak istighfar, banyak salawatan.

Sudah menemukan ketenangan hidup?

Udah, jauh. Dulu gelisah karena keyakinan yang saya peluk, yang saya anut.

Kalau sekarang pelariannya kan ke salawat dan sebagainya, dulu ke mana?

Rokok, minuman keras, udah. 

Dari sudut pandang sebagai mualaf, toleransi itu seperti apa?

Toleransi itu membiarkan orang yang lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing, tapi jangan mencampuri mereka.

Kalau di rumah pas lebaran gitu gimana suasana?

Enggak apa-apa, ikut merayakan, bahkan ada yang ikut puasa yaitu mama dan adek saya yang cewek. Sahur buka juga di rumah. Kalau hari natal kumpul sama-sama di rumah. 

Dulu sebelum mualaf, menilai diri sendiri sebagai orang yang taat beribadah atau bagaimana?

Katolik yang enggak taat beribadah sama sekali, hampir jarang ke gereja tiap Minggu, mabuk-mabukan, habis itu paling makan babi. 

Kalau sekarang?

Masih jauh dari Qur'an, sudah agak relijiuslah, masih berusaha, yang penting dapet akhir yang terbaik.

Apa yang indah lagi dari ajaran Islam?

Banyak sekali. Orang Islam itu extrovert kepribadiannya. Extrovert itu terbuka, mau bergaul dengan siapa aja, dan orang Islam itu ramah dan pandai bergaul, apalagi Indonesia, budaya yang sangat unik di sini. Kenal enggak kenal tetap senyum. Kenal enggak kenal tetap tertawa. Kenal enggak kenal tetap salaman. 

Harapan dan rencana ke depan apa lagi Mas Mario?

Mungkin nanti mau haji dan mau ke Turki. Mau kerja di tempat umrah dan haji miliknya cekong saya. Cekong itu artinya om dari mama, adiknya opa saya yang sudah mualaf. Mau dagang usaha, doain saya dagang madu, dagang Indomie, buka warung usaha sendiri.

>