Menyoal 'Kreativitas' Fadli Zon di Tengah Krisis Lagu Anak
Kami sih sebetulnya santai-santai saja. Barangkali Fadli Zon iseng. Dan sebagai bentuk kreativitas, sebenarnya boleh-boleh saja juga. Tapi, kami pun rasanya bisa memahami kemarahan netizen atas tingkah Fadli Zon ini. Bukan apa-apa, di tengah krisis lagu anak, Fadli Zon malah mempolitisasi lagu anak yang sudah ada.
Serius, Indonesia lagi krisis banget lagu anak. Enggak perlu pakai datalah, pakai rasa saja kayaknya cukup. Atau coba tengok pandangan Robertus Budi Setiono, akademisi sekaligus Direktur Global Sevilla School. Kepada Antara, dia mengatakan, industri lagu anak memang lagi melorot, berbeda jauh dengan satu dekade lalu.
"Berbeda dengan satu dekade lalu. Saat ini, nyaris tidak ada lagu-lagu baru yang diciptakan dan diperuntukkan khusus untuk dunia anak," kata Budi kepada Antara kala itu.
Menurut Budi, situasi dalam industri musik anak juga yang jadi penyebab segala kesuraman ini. Budi bilang, minat industri musik terhadap lagu anak memang sangat rendah saat ini. Lagu anak kini dipandang sebagai komoditas yang enggak menguntungkan, makanya para produser musik dan dapur-dapur rekaman pun enggan melirik.
Iya, sesederhana itulah jika dilihat dari sisi industri. Padahal, secara esensi, lagu anak adalah hal yang begitu sakral. Dalam proses penciptaannya, misalnya. Kalau kamu belum tahu, Ibu Soed, pencipta lagu Hai Becak, Burung Kutilang, Desaku, serta 300-an lagu anak lainnya, wajib melakukan ritual transformasi diri dulu setiap mencipta lagu.
Ritual transformasi diri yang dimaksud adalah bagaimana Ibu Soed selalu menempatkan dirinya menjadi anak-anak setiap kali menciptakan lagu. "Ibu Soed kalau menciptakan lagu maka ia akan membayangkan menjadi anak kecil itu ketika menciptakan lagu," ungkap Carmanita, cucu Ibu Soed kepada Antara.
Dari sisi anak, konsekuensi dari minimnya lagu anak akan berdampak pada perkembangan fungsi otak. Iya, tanpa lagu anak, anak-anak bakal kesulitan mengembangkan daya imajinasi mereka. Padahal, imajinasi adalah aspek yang sangat penting dalam pengembangan diri seseorang.
"Daya imajinasinya masih murni. Otak kanan harus dikembangkan sejak dini," tutur Budi.
Demi telinga anak
Melihat gentingnya situasi ini, Budi mengajak seluruh pemerhati dunia pendidikan untuk mengembalikan lagu anak ke dunia pendidikan. Budi kayaknya memang sudah kepalang pesimis dengan industri lagu anak. Maka, setidaknya, lingkungan pendidikan harus jadi tempat di mana anak-anak bisa menikmati dan menyanyikan lagu anak bersama-sama.
Beralasan sih. Sebab, terpuruknya komoditas lagu anak dalam industri musik juga berdampak pada penurunan kualitas dari lagu-lagu anak. Tolak ukur lagu anak pun jadi enggak jelas. Jika dahulu lagu anak adalah lagu yang dibuat untuk anak-anak dengan lirik dan aransemen ramah anak, kini definisi dari lagu anak terkesan menyesatkan.
Iya, asal dibawakan oleh anak-anak, tanpa peduli muatan di dalamnya itu cocok atau enggak untuk anak-anak. Lihat saja lagu anak yang beredar belakangan yang dijamin bikin orang tua-orang tua pada pening. Lagu berjudul Lelaki Kardus, misalnya. Ini yang kami maksud dengan definisi menyesatkan dari sebuah lagu anak.
Memang, lagu yang diciptakan oleh Ahmad Saadi ini dinyanyikan oleh seorang anak. Nova Rizqi nama penyanyi cilik itu, 12 tahun usianya. Masalahnya, kisah yang diangkat dalam lagu itu sama sekali tak cocok untuk anak-anak. Lagu itu berkisah tentang kemarahan seorang anak kepada ayahnya yang selingkuh dari ibunya.
Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Asrorun Niam pun sudah angkat suara. Buat KPAI, apa yang dilakukan pihak-pihak yang terlibat dalam produksi lagu Lelaki Kardus adalah sebuah pelanggaran moral dan etika perlindungan anak. "Lirik tentang perceraian dan dengan bahasa yang kasar jelas melanggar etika dan moral perlindungan anak," katanya sebagaimana dikutip dari Detikcom.
Sementara itu, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) juga menyampaikan pandangan mereka. Menurut LPAI, apa yang terjadi dalam kontroversi lagu Lelaki Kardus adalah sebuah perlakuan salah terhadap anak. Dengan tegas, LPAI menyatakan kecaman terhadap lagu dan video musik Lelaki Kardus.
"Menampilkan anak-anak pada tayangan dan nyanyian bertema dewasa dapat disetarakan sebagai bentuk perlakuan salah terhadap anak," kata Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak LPAI, Reza Indragiri Amriel, dilansir CNN.
Nah, Fadli Zon barangkali kudu berkaca juga sama kontroversi Lelaki Kardus ini, ketika esensi lagu anak dinodai oleh hal-hal enggak pantas. Sebab, jika merujuk pada keterangan LPAI dalam kontroversi Lelaki Kardus, perilaku menodai esensi dari lagu anak dapat digolongkan sebagai perlakuan salah terhadap anak yang bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 76B, tertulis: Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran. Nah, pelanggaran atas pasal tersebut dapat diganjar dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
Nah, jadi masih mau main-main sama lagu anak? Jika kepalaku sekreatif Fadli Zon sih aku lebih pilih menciptakan lagu anak betulan. Selain bermanfaat untuk anak-anak bangsa yang lagi krisis lagu anak, aku juga kan enggak mau jadi pelanggar hukum.