Musisi Berpolitik, Salahkah?

Jakarta, era.id - Baru-baru ini tersiar kabar Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin tengah menyiapkan jingle kampanye. Meski pencipta sekaligus aranjer lagu kampanye tersebut belum terungkap. Musisi yang terlibat di dalamnya juga masih dirahasiakan. Tapi, pandangan sejumlah publik sudah mengarah kepada grup musik Slank.

Kita tentu masih ingat, di Pilpres 2014 Slank membuat jingle pasangan Jokowi-Jusuf Kalla berjudul Salam Dua Jari yang saat itu mendapat nomor urut dua. Selain membuat jingle, Slank juga menggelar konser bertajuk sama pada 5 Juli 2014 di Stadion Gelora Bung Karno untuk memberikan dukungan bagi pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.

Keputusan yang diambil oleh Slank memang menimbulkan pro dan kontra. Baik dari para penggemarnya maupun di kalangan sesama musisi. Drummer Superman Is Dead, Jerinx, yang terkenal vokal, bahkan sampai berkicau di akun Twitter-nya pada Mei 2014 silam.

“Sah-sah saja musisi/band pro pada salah satu capres. Tapi jika nanti capres tersebut ‘disetir’ untuk kepentingan parpolnya, siap-siap saja menanggung malu. Bagi saya pribadi, musisi ya memang idealnya enggak memihak capres manapun. Oposisi selamanya,” tukasnya. “Parpol bisa bayar orang-orang jenius untuk membuat pencitraan yang sedemikian rapi dan membuminya sampai-sampai kita lupa jika semua ini adalah ilusi.”

Pendapat Jerinx ada benarnya. Soalnya, stigma politik yang kadung negatif dan kejam membuat dunia musik jauh lebih mengasyikan jika dilihat dari sisi kenyamanan.

Winston Churcill, Perdana Menteri Inggris semasa Perang Dunia II (1875-1965), bahkan sampai mewariskan sebuah nalar dalam memandang politik dengan kata-kata: “Dalam perang kamu hanya bisa terbunuh sekali, tapi dalam politik kamu bisa mati berkali-kali.” 

Dan jika Slank ditinggalkan sebagian penggemarnya akibat terjun ke dunia politik, maka itu adalah sebuah konsekuensi yang harus diterima.

Ini pun pernah terjadi di luar negeri. Vokalis raksasa grunge Pearl Jam, Eddie Vedder saat tampil di Pepsi Center, Denver, Amerika Serikat pada 1 April 2003. Di penghujung lagu Bu$hleaguer, Vedder  membuka topeng George Bush yang dikenakannya, menancapkan topeng itu ke tiang mic, memutar-mutarnya di udara, dan membantingnya ke lantai panggung!

Sebagian penonton pun meradang. Selain memaki dan melempar koin ke panggung, ada juga yang beranjak pergi meninggalkan lokasi konser. Pasalnya, sebelum melakukan aksi konyol tersebut, hampir sepanjang konser Vedder mencaci kebijakan Bush yang mengirim pasukan ke Irak. Saat itu dipastikan, Pearl Jam kehilangan banyak penggemar.

Tapi itu tidak mengurangi kegentaran Pearl Jam dalam menyuarakan padangan politiknya. Baru-baru ini, mereka juga mendapat kecaman dari berbagai pihak menyusul desain poster konser mereka dianggap menghina Presiden Amerika Serikat saat ini, Donald Trump.

Poster tersebut menggambarkan Gedung Putih yang terbakar dengan mayat Trump yang membusuk perlahan dimakan oleh elang berkepala botak. Poster ini dirancang oleh bassis Jeff Ament dan seniman Bobby Brown, menjelang konser mereka di Missoula, Montana pada 13 Agustus 2018.

Sampai saat ini belum ada pernyataan resmi baik dari pihak Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun Slank terkait siapa yang akan mengeksekusi jingle tersebut. Tapi jika Slank benar-benar kembali dilibatkan dalam kampanye pemenangan Jokowi, apakah mereka siap ditinggalkan penggemar lebih banyak lagi? Tentu saja mereka sudah sangat siap. Tapi jika pertanyaan; salahkah jika musisi berpolitik? Kalian sendiri yang punya jawabannya.

Baca Juga : Akankah Slank Buat Jingle untuk Jokowi-Ma’ruf Amin?

 

Tag: