Praktisi Hukum Sebut Sistem E-Court Peradilan Indonesia Beri Kemudahan, tapi Masih Banyak Celah Timbulkan Kerugian

ERA.id - Praktisi hukum Clara Viriya memberikan pandangan mengenai hadirnya e-Court dalam sistem peradilan di Indonesia yang memberikan kemudahan dalam pelaksanaan administrasi peradilan yang terintegrasi dalam satu sistem elektronik memudahkan para pihak yang berperkara dalam mengakses informasi perkaranya.

Meski demikian, dia menyebut masih terdapat lubang besar yang dapat menimbulkan kerugian fundamental bagi pencari keadilan. “Khususnya pencari keadilan yang memiliki keperluan mengajukan upaya hukum banding atas putusan pengadilan tingkat pertama via e-Court,” kata Clara dalam keterangannya, Senin (15/5/2023).

Dia mengungkapkan, ada pihak yang mengalami langsung bentuk kerugian tersebut. Di mana pengajuan banding tidak dapat diterima dengan di putus N.O (niet ontvankelijke verklaard) atau putusan yang menyatakan gugatan cacat formal dengan alasan ‘pendaftaran dilakukan melampaui batas waktu pengajuan banding.’

“Padahal, sesuai dengan keterangan, peraturan dan dokumen yang ditunjukkan oleh narasumber, pendaftaran banding via e-Court tersebut dilakukan masih dalam kurun waktu 14 hari kalender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangnya, atau lebih tepatnya di hari terakhir periode 14 hari kalender tersebut,” jelas Clara.

Dia mengungkapkan, setelah dilakukan penelusuran peraturan dan praktis di lapangan, ditemukan fakta yang patut diduga menjadi hulu permasalahan tersebut. Dengan adanya Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 363/KMA/SK/XII/2022 Tentang Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik (SK e-Court) yang salah satunya memuat frasa; “Pendaftaran perkara secara elektronik yang dilakukan di luar jam yang ditentukan pada angka 13 akan diproses pada hari kerja berikutnya” yang diduga membuat adanya kerugian.

Clara juga menyebut, ditambah dengan fungsi otomatisasi e-Court yang belum matang dan sumber manusia pendukung yang belum siap, patut diduga menjadi kombinasi tidak ideal yang menghambat e-Court untuk mencapai potensi maksimalnya.

“Diproses pada hari kerja berikutnya” tentu tidak sama dengan ‘dianggap didaftarkan pada hari kerja berikutnya’. Keduanya memiliki makna dan konsekuensi hukum yang berbeda. Seharusnya sistem e-Court juga memiliki kemampuan untuk mendiferensiasi antara "perkara yang sudah didaftarkan dan sudah diproses” dan "perkara yang sudah didaftarkan dan belum diproses". Keduanya juga memiliki makna dan konsekuensi hukum berbeda,” jelas dia.

Sumber Daya Manusia pendukung di lembaga peradilan, lanjut dia, khususnya yang dipercaya untuk mengoperasikan fungsi penyelenggaraan e-Court, juga seharusnya bisa membedakan antara “Perkara yang didaftarkan dalam kurun waktu sesuai peraturan” dengan yang tidak, terlepas kapan perkara tersebut “diproses”.

“Kolaborasi dari peraturan, sistem, dan sumber daya manusia yang belum cukup baik dalam memenuhi kebutuhan pencari keadilan tersebut merupakan hal yang perlu dibenahi,” kata dia. Karena itu, lanjut Clara, SK e-Court, perlu diatur dengan tegas mengenai “tetap sahnya pendaftaran banding selama dilakukan dalam kurun waktu 14 hari, walaupun diproses pengadilan  pengaju pada hari melampaui 14 hari tersebut” atau something around that nature.

“Dalam konteks sistem elektronik, fungsi otomatisasi berdasarkan source code sistem e-Court juga perlu dipastikan memilki kemampuan untuk melakukan inventarisasi perkara secara presisi sesuai dengan sifat dan konteksnya berdasarkan peraturan perundang-undangan, in casu mencatat limitasi waktu administrasi teknis sesuai dengan panduan dalam peraturan perundang-undangan,” jelas Clara.

“Sehingga secara otomatis dapat dipastikan bahwa apabila seseorang masih dapat diterima pendaftaran bandingnya dalam sistem e-court, artinya pendaftaran tersebut masih sesuai dengan koridor limitasi waktu perundang-undangan,” sambungnya.

Dia menegaskan, sumber daya manusia pendukung dan penyelenggara sistem elektronik e-Court juga harus diberikan pelatihan dan pemahaman yang memadai akan hal-hal krusial yang dapat mempengaruhi hak dan kewajiban hukum pencari keadilan, in casu batas waktu pengajuan banding.

“Lebih jauh daripada itu, seharusnya sumber daya manusia pendukung dapat memberikan input dan revisi yang bersifat real time atas kemungkinan ketidaksempurnaan sistem yang ada, sehingga keduanya berkolaborasi secara harmonis dalam menjalankan fungsi e-Court,” kata Clara.

“Hal ini urgent untuk dibaharui dan disempurnakan, mengingat hak untuk mengajukan upaya hukum dan mendapatkan keadilan objektif, menurut Pasal 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), merupakan Hak Asasi Manusia.

Oleh karena itu, saat ini pencari keadilan yang telah dikurangi Hak Asasi Manusianya tersebut sedang berjuang mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung, dengan harapan Mahkamah Agung bersikap adil dan berbesar hati untuk mengakui bahwa telah terjadi kesalahan dalam administrasi proses penegakan hukum dan dengan segera mengkoreksi kesalahan tersebut agar kerugian yang terjadi tidak berkelanjutan. Tentu ini sejalan dengan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.