Cegah Informasi Hoaks, Kampanye Pemilu 2024 di Media Sosial Perlu Diatur
ERA.id - Pada saat kampanye pesta demokrasi pemilihan umum 2024 bertebaran informasi hoaks alias tidak benar di media sosial.
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar menilai kampanye di media sosial (medsos) sangat penting diatur untuk menangkal penyebaran hoaks khususnya jelang pelaksanaan Pemilu 2024.
"Penelitian kami menemukan masih adanya kelemahan aturan kampanye di media sosial saat ini. Aturan yang ada masih belum spesifik dan rinci tentang kampanye di media sosial," kata Adinda dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Hal itu dikatakan Adinda dalam diskusi bertajuk "Urgensi Penataan Regulasi Kampanye di Media Sosial untuk Persiapan Pemilu dan Pilkada Serentak tahun 2024 yang Edukatif dan Informatif" yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum, Universitas Andalas bekerja sama dengan TII.
Adinda menjelaskan pengaturan kampanye di medsos tersebut berkaca pada Pemilu 2019 yang tingginya angka penyebaran hoaks di media sosial.
"Bahkan saat ini konten hoaks media sosial pada Pemilu 2019 diputar kembali jelang Pemilu 2024," ujarnya.
Dia mengatakan pada aspek regulasi, masih adanya perbedaan persepsi antara KPU dan Bawaslu dalam melihat definisi kampanye, definisi media sosial hingga perbedaan dalam mengatur akun kampanye di media sosial.
Menurut dia, dalam penelitian TII menunjukkan bahwa masih ada persoalan sumber daya manusia dalam pengaturan dan pengawasan akun media sosial peserta pemilu.
"Jika melihat jumlah partai dan bakal calon legislatif, penyelenggara Pemilu memiliki keterbatasan SDM dan sumber daya pendukung kerjanya," katanya.
Dalam diskusi tersebut, Ketua Bawaslu Provinsi Sumatera Barat Alni menyatakan sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga Pemilu 2019, kampanye politik menjadi sangat kompleks, termasuk di media sosial.
Menurut dia, untuk Pemilu 2024, pengaturan kampanye di media sosial belum ada, sehingga jika tidak ada perubahan maka akan menggunakan aturan sebelumnya.
"Kelemahan Bawaslu salah satunya tidak bisa membatasi para pihak yang mencoba meyakinkan masyarakat untuk memilih seorang kandidat," katanya.
Dia menilai Bawaslu hanya bisa menangani pelanggaran dari pihak yang melanggar aturan pemilu, sepanjang ada subjek hukum, temuan dan laporan dari pelanggaran tersebut.
Peneliti PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas M Ikhsan Alia menilai ada dua hambatan utama pemilu ada dua, yaitu hambatan de facto dan legal atau konstitusi.
Menurut dia, dari dua hambatan itu kemudian diperkeruh oleh penyebaran hoaks termasuk dalam konteks pemilu. Oleh karena itu dia menilai selain memerlukan perubahan aturan kampanye di media sosial, penting juga untuk mencegah penyebaran informasi hoaks dengan mengikutsertakan kerja-kerja para pemangku kepentingan.
"Para pihak harus menjalankan perannya untuk mencegah beredarnya informasi hoaks. Khusus bagi penyelenggara pemilu, perlu menciptakan suatu mekanisme debunking dan fact checking yang cepat," katanya. (Ant)