Ngobrol Bareng Ade Armando: Bertaruh kepada PSI dan Menjawab Tudingan Musuh Islam

ERA.id - Bagaimana rasanya berganti karir di usia 60-an setelah menekuni bidang yang sama selama puluhan tahun? Ade Armando berbagi kisahnya kepada ERA ketika kami berjumpa di kantor Cokro TV, Menteng, Jakarta, pada hari Kamis (4/5/2023) lalu. 

Lelaki tua yang rambutnya masih dominan hitam itu terkenal kontroversial. Ibarat buah durian, ada yang fanatik sekali membencinya dan vice versa, banyak juga yang mengidolakannya. Lewat kanal Youtube Cokro TV yang tampaknya mengambil sikap pro pemerintah dan jadi oposisi sayap kanan, Ade rutin tampil dan membawakan gagasan-gagasan yang terlampau di pinggir jurang: dari isu penegakan syariat Islam hingga pasang badan untuk pemerintahan Jokowi.

Banyak yang memanggilnya musuh Islam, banyak juga yang menyebutnya buzzer politik. Saat perjumpaan kami awal Mei lalu, ia mengaku sebagai insan yang relijius dan berakal sehat, sekaligus membantah asumsi miring publik kepadanya.

Ade Armando di kantor Cokro TV, Menteng, Jakarta Pusat. (ERA/Muslikhul Afif)

Sejujurnya kami banyak tak sepaham dan sependapat, baik dalam pandangan politik maupun agama, tetapi terlepas dari ide-ide yang ada di kepalanya, Ade Armando adalah seorang pria yang jauh dari kata eksklusif. Ia gampang ditemui, mengobrol dengan orang lain tanpa mengalihkan pandangan, akrab dengan rekan-rekan kerjanya, dan tak pelit senyum. Mungkin sikapnya itu ditempa usia tuanya, atau pengalamannya sebagai dosen ilmu komunikasi sekitar 33 tahun di Universitas Indonesia (UI).

Meski namanya kerap disematkan dalam jajaran simpatisan garis keras Jokowi, ia ikut turun bercampur dengan para mahasiswa saat demo menolak Jokowi tiga periode pada April 2022 lalu. Dengan kaos hitam bertuliskan Pergerakan Indonesia untuk Semua, Ade mengaku datang untuk memantau dan mendukung aksi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di depan Gedung DPR RI.

Nahas, ia justru berakhir babak belur dan nyaris ditelanjangi bulat-bulat, hanya menyisakan sepotong celana dalamnya menempel di tubuhnya yang rongsok. Ia diteriaki sebagai penista agama.

"Saya tidak merasa sepenuhnya marah dengan mereka yang melakukan kekerasan terhadap saya, tapi terhadap mereka yang punya otoritas dan kemudian menyebarkan kebohongan tentang saya itu," ucapnya.

Kejadian tahun lalu menjadi titik perubahan dalam hidupnya. Selama satu jam lebih kami mengobrol soal pengeroyokan yang menimpanya, mengapa ia memilih pensiun dini dari pegawai negeri sipil (PNS) dan bergabung ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI), pandangannya soal buzzer, hingga alasannya menolak keras Prabowo Subianto jadi presiden.

Gimana kehidupan, Bang, setelah tidak lagi bertemu setiap hari dengan mahasiswa di kelas? 

Saya paling kehilangan itu ya. Tidak lagi mengajar itu buat saya sesuatu yang... sejak tahun 1991 saya mengajar, bahkan lebih awal dari itu, jadi udah 32-33 tahun saya mengajar.

Transisi dari seorang akademisi terus sekarang full time politikus, apa perubahan paling besar yang Anda rasakan? 

Ya, sebetulnya juga pada saat yang sama saya kehilangan mengajar ya. Dan bukan hanya itu, berada di lingkungan civitas akademika UI, ketemu dengan teman-teman kolega dosen, diskusi, bikin rapat, dan segala macam. Baca buku, bikin penelitian, ya hal itu sekarang menjadi sebuah kemewahan kan. Tidak mungkin saya bertahan terus di kegiatan-kegiatan itu karena memang makan waktu. Jadi saya sebenarnya kehilangan lingkungan akademis. 

Ade Armando bersama para mahasiswa Universitas Indonesia jurusan komunikasi. (Istimewa)

Tapi kan penggantinya menurut saya sepadan. Saya masuk ke lingkungan PSI yang mungkin bukan intelektual, bukan dosen, tapi juga adalah para aktivis yang berjuang buat Indonesia. Dan saya hari demi hari sekarang jadinya terlibat dalam sebuah gerakan politik ya. Jadi enggak apa-apa juga kehilangan suasana akademik, tapi memang peroleh suasana yang baru. 

Ada isu Bang Ade masuk PSI karena bayarannya gede? 

Waduh, siapa yang bilang begitu? Saya enggak dibayar sama sekali untuk pindah ke PSI.

Jadi Bang Ade yang mendekati PSI atau PSI yang menawarkan? 

Saya yang mendekati PSI. Karena perjalanan hidup saya akhirnya membawa saya pada titik di mana saya menyimpulkan bahwa cara terbaik untuk mengabdi pada bangsa ini adalah mencoba masuk ke parlemen. 

Kan selama ini saya adalah seorang dosen yang menulis, yang bicara, juga dimuat di Youtube dan sebagainya. Itu juga kontribusi ke masyarakat, tapi kan dalam artian kita mengkritik dari luar. Misalnya saya punya concern tentang peraturan perundangan, tentang perilaku partai politik, perilaku pemerintah dan seterusnya. Yang saya lakukan selama ini adalah menyampaikannya sebagai warga negara yang merdeka dari luar.

Pada titik tertentu kebetulan saya melihat ada peluang untuk bisa masuk ke dalam, dan peluang itu hanya ada di PSI. Karena itulah saya mencoba berinisiatif untuk ngomong ke PSI, saya mau tuh masuk ke PSI dan menjadi salah seorang aktivis PSI, apakah jadi calon legislatif, karena ini adalah sebuah cara terbaik bagi saya kalau ingin membawa perubahan dari dalam sistem. 

Bang Ade bilang satu-satunya peluang di PSI, apakah tidak melihat peluang di luar PSI? 

Buat saya? Kalau saya tidak, baik dari pull factor-nya maupun push factor-nya. Jadi pertama adalah pull factor, saya enggak yakin ada partai yang akan nyaman untuk menerima saya menjadi anggota partai mereka. Karena chemistry-nya buat mereka pasti enggak nyambung dengan saya yang bawaannya kritik sana, kritik sini. Jadi mereka saya yakin enggak merasa nyaman satu kolam dengan saya. 

Di sisi lain bahwa push factor dari saya juga begini, kalau pun saya punya peluang, saya kan harus memilih partai yang sejalan dengan idealisme saya. Misalnya yang paling jelas, selama berpuluh-puluh tahun ada dua hal utama yang saya perjuangkan: melawan korupsi dan melawan intoleransi. 

Itu sudah lama saya lakukan perjuangan melawan itu semua, nah saya melihat bahwa partai yang konsisten berada di jalan yang sama hanyalah PSI. Mungkin ada partai besar, dan saya tetap menghormati partai-partai besar itu, tapi barangkali partai-partai tersebut tidak memperjuangkan apa yang diperjuangkan oleh PSI. 

Dan buat saya, yang paling relevan ya masuk PSI, karena mereka juga bersedia. Jadi ketika saya datang, mereka langsung bilang welcome

Sudah lama memutuskan masuk PSI?

Saya harus mengakui bahwa hubungan saya dengan banyak aktivis di PSI itu sudah berlangsung sejak tahun 2019. Ketika itu saya juga ikut memberi bantuan dalam hal ide-ide untuk media sosial mereka. Jadi hubungan saya dengan mereka sudah cukup lama terjalinnya. 

Sebenarnya saya memutuskan masuk PSI bukan 2023, tapi 2022. Ketika saya pernah dikeroyok pada 11 April 2022. Itu kan sebetulnya salah satu hal terpenting dalam hidup saya, karena ketika itu peluang saya untuk hidup sangat kecil. 

Dokter yang memeriksa saya itu mengatakan bahwa kalau dia melihat bentuk pengeroyokan terhadap saya yang sedemikian brutal, dia merasa bahwa saya harus bersyukur kepada Tuhan karena saya selamat tanpa cedera serius. Serius dalam artian mungkin ada efek jangka panjang atau cacat permanen.

Anda percaya atau tidak, sampai sekarang saya enggak berani lihat video pengeroyokan saya. Karena sampai sekarang jelas masih ada efek traumatiknya. Saya sekarang menjadi tidak nyaman kalau saya berada di lingkungan banyak orang yang saya enggak kenal. Makanya saya agak milih-milih ini sekarang.

Kembali ke tadi, ketika itu saya merasa bahwa saya ditakdirkan untuk selamat. Karena dokternya bilang, this is a miracle.

Saya pada dasarnya orang yang religius, spiritualis. Saya merasa bahwa ada alasan Tuhan membiarkan saya sehat kembali. Dalam hati saya merasa Tuhan ingin agar saya menuntaskan pekerjaan-pekerjaan saya. Barangkali selama ini saya masih sebagai intelektual, dosen, aktivis, penulis, youtuber, sekarang bisa enggak berjalan satu langkah lebih jauh lagi?

Ade Armando dijenguk koleganya saat dirawat di rumah sakit pasca pengeroyokan. (Istimewa)

Karena saya merasa menjadi tidak adil juga kalau saya cuma ngeritik orang, tapi saya enggak berani mengambil risiko untuk terlibat di dalamnya. Saya seperti ditantang oleh Tuhan, kamu harus masuk sekarang, rasakan sendiri apa yang kamu harus hadapi. Sekarang saya memutuskan saya coba masuk ke dalam. Belum tentu lolos. Mencoba dulu. At least kalau nanti saya harus mempertanggungjawabkan apa yang saya lakukan, saya akan bisa bilang sama Tuhan, “Saya udah coba loh.” 

Sehabis saya mengalami pengeroyokan, di rumah sakit itu kan saya berpikir, sesudah ini apa? Apa yang harus saya lakukan? Karena salah satu opsinya adalah menghadapi kebrutalan orang yang enggak masuk akal itu. 

Mungkin sebaiknya mundur, it's too much, udah not worth it lah. Saya hanya memperjuangkan pluralisme terus digebukin sampai mau mati, is it worth it? Lebih baik menjadi dosen aja. Itu di satu sisi. 

Di sisi lain justru isyarat melangkah lebih jauh. Dan saya menyimpulkan enggak mungkinlah Tuhan ingin agar saya mundur. Lagipula gini, anak-anak saya tuh udah besar, udah selesai kuliahnya, udah kerja. Sebetulnya kan tidak ada sesuatu yang terlalu harus saya perjuangkan lagi di dalam urusan keluarga ya. 

Misalnya tidak ada peristiwa tahun lalu itu, mungkin Bang Ade juga tidak akan memutuskan untuk masuk PSI? 

Bisa jadi. Kalau semua berjalan normal, mungkin tidak ada dorongan untuk melakukan langkah yang extraordinary ini. 

Bang Ade bilang sebenarnya Anda religius dan spiritualis, tapi Anda dipukuli oleh kelompok kanan ekstrem itu. Bang Ade sebagai muslim dibilang musuh Islam, bagaimana pendapatnya? 

Pertama-tama sebetulnya musuh saya adalah mereka yang selama ini merasa punya otoritas di dalam dunia Islam, di dalam agama, dan orang-orang itu terganggu dengan kehadiran orang seperti saya yang berani bicara terbuka, menantang apa yang mereka doktrinkan kepada umat mereka. 

Mereka kan sudah berpuluh tahun kali ya hidup dalam zona di mana apa pun yang mereka katakan itu dianggap sebagai kebenaran. Itu kan otoritas yang luar biasa dimiliki oleh para pemuka agama itu. Nah datanglah orang seperti saya yang bukan siapa-siapa, seorang warga biasa dengan akal sehatnya, yang tentu saja setelah saya melakukan bacaan terhadap berbagai literatur tentang itu. 

Ade Armando bersama kawan-kawan dari Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS). (Istimewa)

Nah buat mereka itu menakutkan, karena otoritas yang mereka miliki sekian lama dan tidak ditantang, sekarang tergoyahkan. Karena itulah mereka harus menggerakkan pendukungnya untuk menghancurkan legitimasi saya sebagai orang yang berani menggugat. Cara untuk menghancurkan legitimasi saya adalah dengan menuduh saya kafir, murtad, sok tahu. 

Dan untuk itu harus diulang-ulang kan bahwa saya adalah penista agama. Ketika saya hadir di pengadilan, orang-orang yang mengeroyok saya itu kan mereka mengaku tidak merasa bersalah sudah memukuli saya. Karena mereka sangat percaya bahwa saya memang menodai agama Islam. Karena itu saya layak untuk dibunuh. Kalau Anda lihat peristiwanya, saya dipukul, jatuh, ditendangi berulang-ulang. Saya enggak minta ampun. Enggak ada rasa kasihan mereka. Anda ingat bahwa saya hampir ditelanjangi? Kan itu dalam rangka mempermalukan saya. 

Saya tidak merasa sepenuhnya marah dengan mereka yang melakukan kekerasan terhadap saya, tapi terhadap mereka yang punya otoritas dan kemudian menyebarkan kebohongan tentang saya itu. Nah mereka adalah sumber masalah di negara ini, orang-orang yang mengajarkan agama dengan cara yang sempit.

Apakah yang Bang Ade kritisi itu semua otoritas agama, atau beberapa saja yang punya agenda tertentu? 

Saya sama sekali tidak anti ulama ya, tapi saya menganggap bahwa ada sebuah mispersepsi mengenai siapa itu ulama. Ulama are supposed to be orang-orang pintar. Misalnya, saya adalah ahli komunikasi, karena saya mencapai gelar doktor dalam ilmu komunikasi. Jadi saya tahu ilmunya, saya tahu teori-teorinya. Tapi apakah saya bisa salah? Bisa. 

Dengan kata lain, tidak ada kebenaran dengan “K” besar di dunia ini. Kebenaran yang kita percaya adalah kebenaran yang bersifat temporer, yang bisa aja kemudian dipertanyakan, difalsifikasi, diinterpretasikan ulang, dan sebagainya. Ulama-ulama yang menolak adanya keterbukaan berbicara, berdebat, itulah yang harus kita gugat. 

Semisal Bang Ade tidak berhasil masuk ke parlemen, bagaimana pandangan perjuangan politik ke depannya? 

Pertama kita harus lihat, kalau sampai PSI tidak lolos lagi, mungkin enggak sih akhirnya PSI itu bubar? Saya sih masih melihat teman-teman di sana itu penuh semangat, tidak berubah dari lima tahun lalu ketika pertama kali saya mengenal mereka. Tapi kalau dua kali berturut-turut itu tetap enggak lolos, kan bisa saja kemudian tidak ada lagi pihak yang mau mendanai dan seterusnya. 

Maksud saya begini, kalau dia enggak lolos tapi dia tetap ada sebagai sebuah partai, saya akan bertahan di partai itu. Saya akan cari uang di tempat lain. Dan saya sih percaya bahwa saya enggak akan jatuh miskin kok. 

Kalaupun saya misalnya tidak lolos ke parlemen, bisa enggak saya kembali ke dunia akademis misalnya? Saya sih agak percaya diri untuk bilang bahwa ya masak sih enggak ada perguruan tinggi yang enggak mau terima saya? 

Bagaimana pandangan Bang Ade terhadap sikap partai-partai besar terhadap PSI?

Saya heran, saya melihat langsung bagaimana ada partai-partai besar yang benci sekali sama PSI, padahal kan PSI masih kecil. Sekarang itu suaranya masih 1 persen, kenapa kalian menjadi begitu membenci kami? 

Misalnya kemarin PSI mendeklarasikan Ganjar duluan, tapi waktu PDIP kemudian mengusung Ganjar, sama sekali itu enggak disebut? 

Betul, Anda aja yang berada di luar politik bisa lihat kan. Saya enggak ngerti apa susahnya menyebut bahwa sebelum ini sudah ada PSI. Itu kan pasti datang dari rasa ketidaknyamanan. Emang paling gampang bilang ya barangkali PDIP lupa, tapi saya sih yakin bukan soal lupa, tapi sengaja tidak menyebut nama PSI.

Memang nanti ada orang yang akan bilang, wah ini spekulatif nih. Sebagai orang yang belajar ilmu komunikasi, saya sih enggak yakin itu. Sebelumnya juga PSI sudah berulang kali berada dalam posisi yang tidak terlalu damai dengan PDIP. Sudah beberapa kali kok mereka menyuarakan ketidaksukaan terhadap PSI. Dan sekarang itu diulang lagi dengan sengaja tidak menyebut nama PSI ketika bicara tentang Ganjar, kan?

Tapi PSI akan konsisten untuk terus dukung Ganjar sebagai calon presiden? 

PSI? Kalau sebagai partai saya enggak tahu. Karena kan dinamika politiknya agak kacau nih sekarang. PSI itu jelas tegak lurus dengan Jokowi. Jokowi seharusnya akan berada bersama PDIP, kan? Artinya akan terus bersama Ganjar. Dan kelihatan kok Jokowi itu senang sama Ganjar. 

PSI mendukung Pak Jokowi, Pak Jokowi mendukung Ganjar, ya terus Ganjar dong. Tapi kan ada dinamika politik, bagaimana kalau akhirnya Jokowi juga kecewa dengan apa yang dilakukan PDIP? Karena tanda-tanda ke arah sana juga ada.

Sehingga pertanyaan Anda harus dijawab dengan tergantung. Kalau Jokowi tetap dengan Pak Ganjar, ya PSI akan Ganjar terus. Bagaimana kalau Pak Jokowi ternyata beralih? Buat saya kemungkinan itu kecil. Tapi mungkin enggak? Mungkin.

Kalau itu terjadi, bagaimana dengan PSI? Nah, di situlah saya akan katakan, saya enggak berani menjawab sekarang. Tapi kalau saya akan mengatakan begini, saya tidak akan pernah pindah ke sana, ke Prabowo. 

Saya sebagai seorang pribadi dan saya sebagai anggota PSI tidak akan pindah ke Prabowo. Saya udah ngomong sama teman-teman PSI, Anda akan terganggu enggak kalau saya mengambil pilihan yang berbeda dari PSI? Karena saya tidak mungkin dukung Pak Prabowo. Saya pasti akan terus dengan mendukung Mas Ganjar. Saya kan juga relawannya Ganjar. Nah the beauty of PSI adalah sejumlah pimpinan PSI mengatakan enggak apa-apa. 

Kenapa Bang Ade tidak ingin Prabowo menjadi presiden? 

Pertama tentu saja seperti yang sudah banyak dibicarakan orang, seorang sosok dengan masa lalu pelanggaran HAM yang sedemikian serius, buat saya enggak boleh menjadi seorang presiden, itu prinsip. Karena itu, pertama kali Pak Prabowo maju 2014 kan saya sudah menjadi bagian dari kubu yang melawan Prabowo dan mendukung Jokowi, karena alasan itu.

Ade Armando bersama Presiden Joko Widodo. (Istimewa)

Sekarang, 10 tahun kemudian, saya melihat memang tidak ada yang menyebabkan saya perlu mengubah cara pandang saya tentang Pak Prabowo. Baik dia ketika masih berada di luar pemerintahan maupun di dalam, dia tidak menunjukkan indikasi apa pun bahwa dia sebetulnya adalah seorang yang layak menjadi negarawan. 

Baru saja setahun masa pemerintahan Jokowi sudah ada menteri dari Gerindra yang kena kasus kan, dan Prabowo tidak melakukan apa-apa terhadap itu. Jadi partainya sendiri bukan partai yang layak dipercaya. 

Pak Prabowo juga tidak punya keberpihakan misalnya dalam hal membela demokrasi. Dia bersedia untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok Islamis radikal. Buat dia itu bukan sesuatu yang haram.

Dia sendiri tidak radikal, tidak anti-toleransi, tapi dia bersedia bekerja sama dengan kelompok-kelompok itu demi mencapai kekuasaan. 

Nah buat saya, tiga hal itu saja sudah cukup untuk membuat saya percaya bahwa tidak boleh kita punya presiden seperti Pak Prabowo.

Menjelang tahun politik, bagaimana pendapat Bang Ade terkait buzzer politik dalam kehidupan demokrasi kita?

Begini, sebenernya buzzer itu bukan sesuatu yang harus ditolak ya, tidak dengan sendirinya buruk. Itu kan pada dasarnya konsep buzzer itu datang dari konsep marketing kan. Nah masalahnya di Indonesia ini, ada banyak orang yang bersedia menjadi buzzer, atau mengelola buzzer, mengkoordinasi buzzer, tapi untuk hal-hal yang sebetulnya bukan saja bisa melanggar hukum, tapi juga yang lebih prinsipil buat saya adalah melanggar etik. 

Misalnya saja buzzer yang kerjaannya adalah menyebarkan kebohongan, kepalsuan, disinformasi, fitnah, penghinaan terhadap lawan. Kan buzzer semacam itu yang menjadi masalah. Kalau buzzernya orang-orang pintar yang kemudian berbicara dengan cara yang kritis, proporsional, rasional, kan enggak ada masalah kita. 

Ade Armando di ruang tunggu kantor Cokro TV. (ERA/Muslikhul Afif)

Buzzer kan dia memang menggaungkan, tapi kalau misalnya yang didengungkan adalah pikiran-pikiran yang rasional, challenging, proporsional, rasional, kritis, kemudian bertarung di lapangan dengan lawannya yang menggunakan pendekatan yang sama, kan bagus juga buat publik. Masalahnya kan enggak.

Jadi sebetulnya yang jadi masalah adalah pusat-pusat komando komunikasinya yang bersedia melakukan apa saja untuk memenangkan pertarungan. Dan di dalamnya ada yang namanya fitnah, kebohongan, manipulasi, penghinaan, bahkan kadang-kadang masuk ke area yang melanggar kesusilaan. Itu yang harus kita lawan. Buzzer kan cuma ikut rame-rame mendengungkannya. 

Saya tidak pernah menjadi buzzer, karena agak mengherankan juga kalau orang menganggap saya buzzer, karena kan saya yang mencetuskan idenya.

Saya bukan sekadar orang yang mengiyakan atau menyerang orang karena cara pandang dia dengan sekadar mengatakan goblok lo dan segala macam, kan enggak. Saya kan dari hari ke hari melahirkan argumen-argumen yang sangat terbuka untuk dikritik, dipertanyakan, dikecam, digugat. 

Bang Ade no problem dengan itu? 

No problem sama sekali. Nah, kalau di dalam pertarungan politik lebih banyak orang-orang semacam ini, yang berbicara secara tertata, dengan akal sehat, rasional, kritis, proporsional, kemudian berdebat di ruang publik, itu sehat sekali buat kita. Dan saya akan mengatakan, biarkan publik yang memutuskan.

Dan saya sih orang yang sangat terbuka kalau kemudian orang bisa menunjukkan bahwa argumen Ade Armando itu salah. Kalau saya sampai dibegitukan dan ternyata orang itu benar, saya tidak akan merasa malu-malu untuk mengatakan, kali ini saya setuju, saya menarik semua argumen saya. 

Kalau Anda bisa meyakinkan kenapa saya harus mendukung Prabowo, kan tadi saya sudah sampaikan argumen saya, terus Anda bantah nih, atau Anies, kan yang paling sering saya serang Anies nih, kemudian setelah saya mendengar Anda saya merasa bahwa benar juga ya, ini kan enggak pernah saya pikirkan, ternyata saya selama ini punya pandangan yang salah mengenai Anies Baswedan, saya tidak akan dengan malu-malu mengatakan kepada publik, “Saya cabut ya kritik saya terhadap Anies, karena ternyata dia adalah orang yang jauh lebih baik dari apa yang saya bayangkan semula.”

Harusnya saya menghimbau masing-masing partai itu punya juru-juru bicara yang semacam ini, punya komandan-komandan kampanye yang bekerja, berpikir dengan cara seperti ini.

>