Puncak Kekeringan Terjadi di Juli, BNPB Minta Warga Hemat Air: Bisa Mulai Tampung Air Hujan
ERA.id - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) meminta pemerintah daerah bersama masyarakat segera berinisiatif untuk mulai menampung air demi meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi hari tanpa hujan di puncak musim kemarau yang diprakirakan terjadi pada Bulan Juli.
"Pemda diimbau turut memperhatikan hari tanpa hujan, yang berkaitan dengan kekeringan, untuk kekeringan ini masyarakat di tingkat RT atau RW bisa membuat tempat penampungan air yang sifatnya komunitas," kata Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi BNPB Abdul Muhari (Aam) pada diskusi disaster briefing yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin dikutip dari Antara.
Aam mengatakan, BNPB sudah menghibahkan mobil tangki di beberapa kabupaten untuk mengatasi kekeringan ini, tetapi pemda dan masyarakat diharapkan memiliki inisiatif untuk membuat tempat penampungan air komunitas yang bisa dimanfaatkan selama musim kemarau.
"Misalkan satu tempat penampungan air untuk 5-10 KK, sehingga dropping air bersih itu terpusat di tempat penampungan ini, bisa dilakukan sekali dalam 3-4 hari, dan kami imbau masyarakat juga mau tidak mau harus menghemat air," kata dia.
Menurut Aam, bencana kekeringan memang tidak secara signifikan menimbulkan banyak korban jiwa atau terluka, tetapi akan membuat masyarakat sulit beraktivitas, dan dari sisi ekonomi juga dapat terdampak, karena sawah, pertanian, dan perkebunan tidak bisa produktif.
"Khusus untuk kekeringan ini, beritanya tidak terlalu terekspos karena tidak menimbulkan korban jiwa, tetapi aktivitas masyarakat bisa terganggu, misalnya kekurangan air minum, air bersih untuk mandi dan cuci itu kan cukup mengganggu," ucap dia.
"Apalagi jika nanti air waduk atau bendungan mulai kering, secara otomatis aliran sungai yang mengaliri sawah juga akan terbatas, ini akan mengganggu produksi pertanian atau perkebunan," imbuhnya.
Sebagai upaya mitigasi, BNPB akan menerapkan teknologi modifikasi cuaca, dengan memanfaatkan awan hujan yang masih ada di beberapa wilayah seperti Kalimantan, untuk diturunkan di tempat-tempat penampungan utama seperti waduk, bendungan, dan danau.
"Kalau awannya cukup tebal masih bisa, khususnya di wilayah Kalimantan cukup potensial, sehingga kawasan-kawasan gambut itu masih bisa kita basahi, tetapi memang di Jawa sudah sulit, karena selama seminggu, sudah bersih dari awan yang signifikan," tuturnya.
Selain modifikasi cuaca, BNPB juga terus melakukan pemantauan perkembangan titik panas setiap hari untuk mencegah dan menindaklanjuti terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
"Memang tidak semua titik panas menjadi titik api, tetapi secara kumulatif, titik panas dengan tingkat kepercayaan akan menjadi titik api lebih banyak di tahun 2023 dibandingkan 2022," kata Aam.
Ia menjelaskan, potensi titik api menjadi lebih tinggi karena di tahun 2023 karena dipengaruhi oleh fenomena El-Nino atau musim kering, sedangkan 2022 masih dipengaruhi faktor La Nina atau musim basah.
"Daerah rawan karhutla bisa dipantau secara real time, ini yang harus menjadi perhatian bagi Pemda, artinya informasi dari beragam alat pemantauan, mulai dari satelit sampai air tanah itu sudah ada, tolong ini diperhatikan dan dimanfaatkan," tegasnya.