Road to 2024: Membaca Gaya Komunikasi Tiga Bakal Calon Presiden

ERA.id - Jika tak ada aral melintang, maka pemilihan umum (pemilu) selanjutnya bakal dilaksanakan kurang lebih setengah tahun lagi pada Februari 2024. Dan sepanjang bulan Oktober-November nanti harusnya menjadi penentuan nama-nama calon presiden (capres) dan wakil presiden yang resmi didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, sejak Agustus tahun lalu, geliat partai politik (parpol) mengusung jagoannya masing-masing sudah santer terdengar. Dimulai dari Prabowo Subianto, Anies Baswedan, hingga terakhir Ganjar Pranowo.

Ketiga nama tadi, meski belum resmi terdaftar sebagai capres, sudah dideklarasikan dan digadang-gadang maju pemilihan presiden (pilpres) nanti. Sebelumnya sempat terbentuk juga beberapa koalisi partai, mulai dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang awalnya terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP; Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) berisi Gerindra dan PKB; hingga Koalisi Perubahan (NasDem, Demokrat, dan PKS). Sementara PDIP yang menguasai suara mayoritas di parlemen bebas melenggang sendiri mengusulkan capresnya.

Belakangan, KIB diisukan merapat ke KIR membentuk Koalisi Besar dan berebut tempat untuk mengisi kursi calon wakil presiden yang masih abu-abu. PAN juga sempat bertemu PDIP pada awal Juni lalu dan menambah spekulasi. Di sisi lain, barisan partai pengusung Anies masih tersendat di jalan buntu mencari wakil presiden. Sementara internal PDIP tampak terpecah saat beberapa kadernya terlihat mengunjungi Prabowo.

Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan. (Antara)

Ketiga nama teratas untuk berlaga di Pilpres 2024–Prabowo, Anies, dan Ganjar–memang belum punya pendamping pasti. Namun, meski tahapan kampanye pemilu baru bakal dimulai akhir November nanti, ketiganya sudah membangun citra mereka sebagai kontestan Pilpres dengan jalan masing-masing. 

Mereka bertiga juga berangkat dari latar belakang yang berbeda, di mana Prabowo lama meniti karir sebagai prajurit, Anies yang dibesarkan dunia akademis, dan Ganjar yang jadi kader PDIP sejak 2004. Lantas, bagaimana tiga bakal capres tadi menyiapkan jalan mereka menuju kursi presiden? Seperti apa gaya komunikasi ketiganya untuk meraih dukungan rakyat?

Prabowo Subianto yang dulu bukanlah yang sekarang

Prabowo pernah sekali jadi calon wakil presiden dan dua kali jadi capres, semuanya kandas. Waktu ia mendampingi Megawati pada 2009, ia dikalahkan pasangan SBY-Boediono. Lalu, pada dua pemilu selanjutnya, berturut-turut Prabowo tumbang oleh Jokowi. Namun, kegagalan demi kegagalan tak membuatnya mundur.

“Saya dibesarkan sebagai pendekar, pejuang,” ucapnya saat ditanya Najwa Shihab mengapa masih nekat maju. Dan seperti lagu dari penyanyi cilik Tegar, Prabowo yang dulu bukanlah yang sekarang. 

Prabowo periode 2014 dan 2019 ibarat Donald Trump yang mengusung jargon “Make America Great Again”. Menggebu-gebu, reaktif terhadap segala kebijakan pemerintah, dan menakut-nakuti rakyat dengan bayangan masa depan bangsa yang suram. 

Misalnya saja, sehabis mendaftarkan diri ke KPU, Prabowo berorasi dari atas sunroof mobilnya. “Kekayaan rakyat Indonesia untuk rakyat Indonesia, bukan untuk bangsa lain. Kita tidak mau menjadi antek bangsa lain. Kita tidak mau menjadi kacung dan budak bangsa lain!” 

Ia juga pernah menyinggung soal Indonesia bakal bubar tahun 2030, mengkritisi utang negara yang membeludak, hingga yang paling epik, Prabowo ditemani Amien Rais rela mengadakan konferensi pers saat Ratna Sarumpaet yang mengaku digebuki.

Hampir lima tahun lewat sejak saat itu, Prabowo kini menjadi politisi yang kian tenang dan matang. Jarang lagi kita dengar ia semeledak dulu. Ia mengaku sudah belajar politik dari Jokowi. Dan saat menanggapi suara-suara sumbang yang menjelekkannya, ia menanggapinya dengan santai. 

“Diolok-olok itu gak sakit. Kita bersyukur kita hidup dengan baik. Kita bersyukur pemberian Tuhan diolok, dihina, dihujat, difitnah,” ungkapnya kepada Najwa sambil memperagakan gestur membersihkan lengan baju yang kotor. “Ada hal-hal lebih penting di dunia ini, di hidup ini, rakyat saya menderita lebih daripada saya disakiti.”

Prabowo juga diuntungkan posisinya sebagai Menteri Pertahanan. Pertama, ia punya banyak kegiatan sebagai menteri, dan kegiatannya bakal terus jadi sorotan dan melambungkan namanya. Misalnya kemarin, dalam forum Shangri-La Dialogue di Singapura, ia mengusulkan proposal perdamaian Rusia-Ukraina. Setelah itu, namanya ramai diperbincangkan publik.

Kedua, sebagai menteri kabinet Jokowi, ia juga kerap berdampingan bersama presiden. Banyak sekali potret kebersamaan Prabowo dan Jokowi yang berhasil terabadikan, baik di dalam maupun luar istana. Dan dalam banyak kesempatan, Jokowi sering mengajak Prabowo untuk menemaninya, misalnya saat menonton laga Timnas Indonesia melawan Argentina di Gelora Bung Karno (GBK).

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo. (Sekretariat Kabinet)

Prabowo, meski jarang berkomentar soal kedekatannya dengan Jokowi, tetapi kerap membagikan momen-momen kebersamaan mereka. Sepanjang bulan Juni kemarin, ia hanya mengunggah 36 foto di Instagram, dan enam di antaranya menunjukkan ia satu frame dengan Jokowi: saat kunjungan kerja ke Malaysia, peresmian rumah sakit di Pantai Indah Kapuk, makan siang di Istana Bogor, dan nonton bola di Stadion GBK.

Nama Jokowi penting untuk meraup dukungan simpatisannya yang masif dan kuat. Maka dari itu, kedekatan dengan Jokowi menjadi nilai tambah bagi setiap capres yang hendak maju. Siapa yang mampu mengambil hati Jokowi, otomatis mendapat tambahan suara para pendukungnya.

Meski begitu, pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menganggap gaya komunikasi Prabowo berbeda dengan Jokowi. “Bahasanya lebih elitis, gayanya juga, jarang turun ke bawah, lebih banyak diplomasi, pertemuan-pertemuan antar pejabat dan kepala-kepala negara di dunia,” ucapnya kepada ERA, Kamis (20/7/2023).

Anies Baswedan, antitesis Jokowi

Anies satu-satunya yang memilih jalan berbeda dari ketiga calon yang ada. Ketika kedua lawannya mempersonakan diri dekat dengan Jokowi, ia justru sebaliknya, menjadi antitesis Jokowi. Dan sebagai seorang akademisi, ia satu-satunya yang rutin menulis gagasannya di media massa.

Kurang lebih sudah ada dua esai Anies yang terbit di media nasional sepanjang tahun ini, “Meluruskan Jalan, Menghadirkan Keadilan” di Kompas dan “Indonesia Darurat Krisis Iklim” di Media Indonesia. Tulisan pertama menyoal demokrasi dan kesetaraan hukum di Indonesia, sedangkan yang kedua menyoal krisis iklim. Keduanya berangkat dari pengalamannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

“Kelebihan Anies, narasinya terukur, sistematis, dan terstruktur cara berpikirnya,” ungkap pengamat politik Pangi. “Mas Anies itu representasinya adalah pemilih rasional, mereka akan lihat rekam jejak. Maka kekuatan Anies ada pada Gen Z dan Milenial yang betul-betul memperhatikan itu.”

Jokowi dan Anies Baswedan saat menonton Formula E. (Dok. Anies)

Semenjak ia turun dari kursi DKI 1, otomatis Anies kehilangan banyak publisitas sebagai pejabat negara. Walhasil, ia lebih sering mengunggah kesibukannya sehari-hari, gagasan politik, dan warisan yang ia tinggalkan selama lima tahun memimpin Jakarta di media sosial. “Keunggulannya, beliau punya bantalan sejarah track record panjang, kinerja yang bisa dibanggakan, dibuktikan,” ungkap Pangi.

Pengalamannya jadi gubernur betul-betul dimanfaatkan Anies untuk mempromosikan dirinya, di antaranya dengan memamerkan proyek-proyek yang dulu ia bangun, mulai dari Jakarta International E-Prix Circuit, Jakarta International Stadium (JIS), hingga halte TransJakarta di Bundaran HI.

Sesekali Anies juga menyentil kebijakan pemerintah seperti soal subsidi mobil listrik. “Kita menghadapi tantangan lingkungan hidup, itu menjadi kenyataan bagi kita. Solusi menghadapi masalah lngkungan hidup, apalagi soal polusi udara, bukanlah terletak dalam subsidi mobil listrik,” ucapnya dalam salah satu pidato.

Posisi Anies yang berseberangan dengan Jokowi semakin tampak dari beberapa postingannya yang multi tafsir. Ketika santer isu Kereta Cepat Indonesia China, ia mengunggah foto pulang-pergi Jakarta-Bandung menumpang Argo Parahyangan. “Semoga Argo Parahyangan yang menyenangkan ini tetap bisa kita naiki di tahun-tahun yang akan datang,” tulisnya.

Di sini, Anies mengisi peran oposisi yang sempat kosong di masa Jokowi. “Menjadi antitesis itu jadi penting, tergantung nanti isunya keberlanjutan atau perubahan,” ungkap pengamat politik Pangi. “Kalau rakyat rindu eranya Pak SBY, tentu mereka akan pilih Pak Anies.”

Ganjar Pranowo, The Next Jokowi?

Tuanku ya Rakyat, Gubernur cuma mandat,” begitu bunyi bio media sosial Ganjar Pranowo yang terkenal.

Merakyat menjadi pilihan komunikasi politik Ganjar untuk merebut hati pemilih. “Mas Ganjar itu cenderung representasinya pemilih sosiologis, basisnya adalah dekat dengan rakyat,” ungkap Pangi. “Pemilih sosiologis cenderung memilih Ganjar karena penampakannya sederhana. Dan ini representasi dari kerinduan kepada Pak Jokowi, itu diobati oleh Mas Ganjar.”

Ganjar menyebut model kampanyenya sebagai Nano Strategi yang fokus kepada basis rakyat kecil dan komunitas.

“Saya akan menjadi 'selonong boy' untuk masuk ke gang-gang, untuk melihat posko-posko, untuk bertemu dengan kawan-kawan yang berada di garis depan perjuangan itu,” ucapnya saat konsolidasi PDIP di Senayan bulan lalu.

Secara garis besar, publikasi Ganjar berkisar di kegiatannya sebagai Gubernur Jawa Tengah, kedekatannya dengan rakyat kecil, dan aksinya mencoba kegiatan masyarakat. Beberapa judul video ini akan menggambarkan pendekatan kampanye Ganjar: Cek Lokasi Korban Gempa Bantul, Tingkah Lucu Anak-Anak Bikin Happy, Nyobain Nasi Krawu Khas Gresik, Bermalam di Desa, dan Gubernur Ikut Panen Telur.

Presiden Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. (Antara)

Pola komunikasi seperti ini bukan hal baru dan hanya mengulangi lagu lama yang pernah dimainkan Jokowi: blusukan dan merakyat. Dan menurut pengamat politik Pangi, kesuksesannya tergantung momentum. 

“Kalau lebih besar isu gelombang perubahan, tentu yang dekat dengan rakyat, perhatian sama rakyat, tidak berjarak dengan rakyat, itu tidak relevan,” ucap Pangi. “Tergantung momentum rakyat Indonesia ini merindukan pemimpin yang seperti apa, kalau rakyat itu rindu pada masa Pak Jokowi, mereka akan pilih Mas Ganjar.”

Lalu, berbeda dengan Prabowo, Ganjar yang satu partai dengan Jokowi juga tak malu-malu meminjam namanya untuk kampanye. “Saya orang yang sangat intensif dengan Pak Jokowi. Kami bicara politik luar negeri, dalam negeri, semua," kata Ganjar di hadapan para relawannya di Wisma Serba Guna GBK, Rabu (18/7/2023). Ia juga mengaku Jokowi memintanya memenangkan pilpres dan merancang desain kemeja yang cocok untuknya.

Bakal calon presiden PDIP Ganjar Pranowo memberikan orasi politik. (Antara)

Keintiman dan komunikasi intens dengan Jokowi ini yang hanya dimiliki Ganjar sebagai sesama kader PDIP. Namun, ibarat pisau bermata dua, itu bisa jadi senjata yang tepat guna atau melukai tangan sendiri. Kecenderungan Ganjar untuk bersandar kepada Jokowi bakal berbalik menyerangnya seandainya Jokowi memilih pindah haluan ke Prabowo. Dan menurut banyak pengamat politik termasuk Pangi, apa pun bisa terjadi.

“Masing-masing punya momentum, punya sejarah, dan punya waktunya. Kita gak tahu apa selera rakyat hari ini,” tutup Pangi.