Kisah Putri dari Koja: Hidup yang Redup di Pinggiran Jakarta
ERA.id - Bertahun-tahun hidup di Jakarta, ribuan hari pulang-pergi kerja di kota ini, hingga akhirnya berdamai dengan macetnya ibu kota, kami pikir cukup membuat kami mengenal Jakarta. Namun, setiap harinya ada saja hal baru yang tersingkap dan membuat kami menemukan Jakarta yang berbeda. Rabu, 27 Juli lalu, kami lagi-lagi menemukan Jakarta yang baru di Koja, dari kehidupan seorang wanita yang dipanggil Putri.
Nama lengkapnya Diah Risti Kusuma Putri. Banyak orang menyebutnya setengah waras setengah gila. Waras karena ia masih sangat mampu berkomunikasi dengan baik. Gila karena ia tak lagi peduli akan seperti apa hidupnya setelah ditinggal mati sang ibu. Rumahnya dibiarkan berantakan dilumat waktu hingga pasokan air dan listriknya dicabut. Sementara Ramlah Harahap, tetangga dekat Putri, kerap menangis saat memikirkan nasib anak kawan karibnya itu.
“Ibunya baik, ngomongnya lembut, gak pernah macem-macem, harmonis, gak pernah ada ribut,” ujar Ramlah di rumahnya.
Ibu Putri seorang guru di sekolah swasta Ade Irma Suryani, Tebet. Sementara ayahnya bekerja sebagai petugas tata usaha di sebuah yayasan sekolah China. Dan kini keduanya telah meninggalkan Putri sebatang kara di Koja. Sang ayah meninggal duluan pada 2009, lalu disusul ibunya pada 2015.
Waktu kami ke sana minggu lalu, rumah bernomor E-13 yang ditinggali keluarga Putri sejak 1984 itu sudah tinggal puing-puing. Belakangan, tim Creator Bersatu, yang dulu memviralkan rumah mewah Tiko, bersama sejumlah warga merobohkan sebagian rumah Putri buat dipugar ulang. Mereka hanya menyisakan sepetak ruangan yang dipakai Putri beristirahat.
Menurut pengakuan mereka, nantinya di rumah itu bakal dibangun warung dan tempat parkir umum untuk menghidupi Putri. Meski begitu, Ramlah yang mengenal Putri sejak ia baru lahir pada 1981 tampaknya merasa kurang sreg dengan rencana tadi. “Nanti siapa yang ngawasi kalo udah jadi?” ucapnya.
Ia bukannya abai dengan kondisi Putri. Dulu, sewaktu Ramlah masih jadi Ketua RT setempat, berkali-kali ia menemui Pak RW hingga lurah dan menceritakan kehidupan Putri yang kian mengenaskan. Beberapa kali petugas datang mengecek rumahnya dan menemui Putri. Namun, mereka tak bisa berbuat banyak. Putri sempat mau dievakuasi ke tempat yang lebih layak, tetapi ia menolak karena merasa diperlakukan seperti lansia.
“Saya bilang sama Pak RW, karena rumah dia udah ancur,” cerita Ramlah. “Kita juga gak bisa nyalahkan Pak RW, dia bilang, ‘Bu, kalo saya betulin itu, nanti banyak yang ngiri, kan banyak yang rumahnya jelek-jelek.’ Ya sudah.”
Anak rumahan yang kehilangan arah
“Kalau Putri, dibilang kaya tidak, tapi lumayan. Waktu masih kecil yang saya dengar, waktu si Putri umur lima tahun, kalau budenya pergi ke Singapura dia diajak,” cerita Ramlah.
Meski mengaku mengenal Putri sejak kecil, Ramlah tidak tahu pasti apa pekerjaan Putri selama ini. Yang ia tahu, wanita itu belum pernah menikah.
“Bagus dia. Dia diem, baik, enggak pernah main ke mana-mana. Kalau pulang sekolah sama pembantunya. Kalau ada ibunya ya sama ibunya di rumah,” lanjut Ramlah. “Memang dia anak rumahan.”
Karena lebih sering di rumah itulah Ramlah tak begitu paham kesibukan Putri di luar. Ia hanya mengenalnya sebagai anak manis baik-baik, setidaknya selama sang ibu masih berada di sisinya.
Sepergian ibunya, Putri bagai kapal kehilangan nahkoda. Semangat hidupnya ikut surut bersamaan dengan jasad sang ibu yang terkubur dalam peti mati. Ia yang selama ini jarang main-main keluar makin mengurung diri dalam rumah. Baginya, di sanalah tempat paling aman dan nyaman di dunia.
Ramlah bercerita, pada suatu masa pernah ada seorang lelaki dari luar kampung yang sering berkunjung ke rumah Putri. Sekian waktu berlalu, lelaki itu tak pernah datang lagi, dan Ramlah mendapati Putri sudah mengandung benih di rahimnya. Namun, bayi itu keburu keguguran di kandungan sebelum sempat dilahirkan. Ramlah yang mengingat masa-masa itu matanya berkaca-kaca.
Putri kini tinggal sebatang kara di Koja. Sisa keluarganya hanya tinggal sepupu di Jakarta yang tak pernah lagi berkunjung. Yang datang ke rumahnya kini hanya tetangga sekitar atau pewarta berita seperti kami. Ketika kami tunjukkan foto wanita muda yang beredar di internet dan disebut-sebut sebagai Putri semasa remaja, ia menggeleng.
“Bukan,” katanya. “Bukan saya.”
Hidup dalam gelap ditemani lilin-lilin kecil dan Alkitab
Jika dihitung mundur, umur Putri belum seberapa tua, ‘baru’ 42 tahun. Namun, ia terlihat sepantaran dengan Ramlah yang usianya lebih tua belasan tahun. Alisnya ia cukur habis dan digambar ulang dengan pensil alis. Sementara rambutnya lebat dan mengembang seperti model 90-an. Putri memang mengaku pernah tampil sebagai Gadis Sampul dan sempat jadi model majalah. Model bikini dan majalah dewasa katanya.
Ketika kami singgah ke rumahnya ditemani Ramlah, ia masih tidur di ranjang reyotnya yang ditiban kasur Palembang warna merah dan hanya berbalut pakaian dalam. Kepalanya ia sangga menggunakan bantal yang dibungkus karung beras.
Saat masuk ke sana, kami sekilas merasa seperti berada di kolong jembatan. Air menggenang di bawah ranjang; kompor minyak tergeletak di samping kaleng berisi air; dan rak lemari plastik warna-warni teronggok di pojokan.
Putri lalu menemui kami setelah memakai celana panjang garis-garis dan jaket berwarna sand green yang lengannya digulung. Entah mengapa sebelah tangannya mengenakan sarung tangan kain hitam, sedangkan jari manis kirinya terbungkus besi keemasan sepanjang buku jari. “Ini emas 22 karat,” katanya dengan sorot mata seperti almarhum Farida Pasha saat memerankan Mak Lampir.
“Angkatan saya, model yang saya kagumi cuma satu: Dolly Parton,” Putri mengungkapkan sosok yang jadi inspirasinya sambil mengembuskan asap rokok tak acuh. “Kalau Pamela Anderson belum, Dolly Parton tuh paling seksi.” Kami hanya bisa mengangguk.
Ia juga mengajak kami berkeliling sisa-sisa rumahnya yang masih berdiri, meski tak banyak lagi yang bisa dilihat selain reruntuhan dan beberapa orang sibuk merobohkan tembok-tembok yang tertinggal.
Sejak rumah itu tak lagi dialiri air dan listrik, maka tetangga-tetangga sekitarlah yang membantu Putri terus hidup. Tiap harinya mereka mengirimi Putri makan hingga air buat mandi, jauh sebelum kisahnya diviralkan banyak YouTuber dan mengundang simpati massa.
Di beberapa sudut rumah, beberapa lilin yang sudah terpakai tampak berdiri teguh menggantikan lampu-lampu yang mati. Setiap malam hanya temaram lilin yang menemani Putri tidur sendiri di kamarnya. Bersebelahan dengan lilin yang menempel di atas meja usang, terhampar sebuah Alkitab keluaran Lembaga Alkitab Indonesia. Kitab suci bersampul kulit itu sudah lusuh dan pinggiran halamannya tampak kusam.
Kedua orang tua Putri memang sudah bertahun-tahun meninggalkannya, tetapi keimanan di hatinya masih belum padam. Mungkin itu juga yang membuatnya masih hidup sampai hari ini. Seperti sebuah firman Tuhan yang sempat kami baca dalam Alkitab tadi: Ia tidak melupakan kita waktu kita dikalahkan; kasih-Nya kekal abadi (Mazmur 136:23).