Strategi Kepopuleran Pocong di Belantika Hantu Tanah Air
“Perasaan ganjil sering muncul ketika batas antara fantasi dan realita kabur, ketika kita menghadapi kenyataan yang selama ini kita anggap imajiner.” Sigmund Freud dalam bukunya The Uncanny.
ERA.id - Hampir semua teman yang saya tanya, “Hantu apa yang paling seram?” Menjawab: Pocong. Dalam kancah perhantuan Indonesia, pocong selalu menempati posisi teratas. Yang mampu menyaingi kepopulerannya mungkin hanya kuntilanak. Itu pun, boleh dibilang, masih belum sebanding dengan pocong. Bayangkan, akun @poconggg di Twitter saja punya pengikut 4 jutaan. Bahkan di era 4.0 begini namanya bisa jadi branding sendiri. Legend!
Namun, kepopulerannya itu justru menimbulkan tanda tanya besar, kok bisa ya? Apa gara-gara mayoritas penduduk Indonesia muslim? Itu mungkin bisa jadi salah satu alasan, tapi tak mencakup seluruhnya.
Pocong memang identik dengan Islam, sebab, merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), itu berarti: mayat yang dibalut kain kafan. Dari sekian agama yang diakui secara resmi di sini, penguburan jenazah dengan kain kafan ya hanya dilakukan muslim. Wajar kalau pocong akhirnya diasosiasikan dengan mayat orang Islam.
Masalahnya, di banyak negara berpenduduk mayoritas muslim lain, pocong tidak dinisbatkan kepada hantu seperti di Indonesia. Saya misalnya, kurang lebih lima tahun kuliah di Maroko, tak pernah sekali pun menonton film horor yang menampilkan sosok pocong sebagai hantu. Semua teman kampus saya tak ada yang takut pocong. Hantu bagi mereka ya jin yang menjelma berbagai rupa, bisa manusia maupun sosok-sosok menyeramkan, yang jelas bukan pocong.
Lalu, mengapa orang Indonesia takut pocong? Padahal orang-orang bule di luar sana menyebutnya candy ghost ‘hantu permen’ gara-gara perawakannya yang mirip permen bungkusan. Sungguh nama yang begitu menggemaskan untuk sosok pembawa teror di layar kaca kita.
Setelah mencari jawabannya ke mana-mana, saya agak menemukan pencerahan setelah membaca esai suami-istri Justito Adiprasetio dan Annissa Winda Larasati berjudul: Mendekonstruksi Pocong, Hantu Keramat Indonesia: Analisis Diakronis Film Horor Kontemporer Indonesia Mumun (2022).
“Ketakutan masyarakat Indonesia terhadap pocong, hantu utama dalam Mumun (2022), ujungnya mencerminkan dua hal: dinamika sosial budaya kita dalam memandang horor dan hantu dan sukses atau gagalnya perfilman Indonesia dalam (kembali) memproduksi pocong dalam film,” tulis keduanya.
Mereka lalu mengutip Wilkinson dalam bukunya Malay Beliefs (1906), bahwa tradisi kuno di Asia Tenggara, yang mana didominasi oleh Hinduisme dan sinkretisme lokal, percaya kalau roh orang mati tidak langsung pergi ke alam selanjutnya.
“Ini menjelaskan mengapa representasi hantu seperti pocong jarang ditemukan di budaya Islam lain, seperti Timur Tengah, Afrika, atau sebagian wilayah Asia,” lanjut Justito dan Annissa.
Makanya, wajar kalau saya tak pernah ketemu film horor dengan tokoh utama pocong di negara-negara Timur Tengah. Karena dari awal, titik berangkat kita dalam memahami pocong sudah berbeda. Di negara-negara berpenduduk muslim lain, pocong ya dianggap sebagai orang mati saja. Sementara di sini, selain orang mati, pocong juga dianggap sebagai hantu.
Pocong, arwah gentayangan, dan akhirat
Di beberapa daerah di Indonesia, kita sering mendengar kepercayaan bahwa roh orang mati masih bergentayangan di dunia selama 40 hari sejak kematiannya. Lalu ada lagi kepercayaan bahwa ikatan tali pocong mesti dilepas sebelum dipendam tanah agar roh bisa pulang ke akhirat. Jika tidak, roh akan terus terpasung di dunia, bergentayangan menunggu ada yang melepasnya.
Kedua kepercayaan tadi meskipun ada sedikit persinggungan dengan Islam, tapi bukan sepenuhnya berasal dari ajaran Islam. Seperti disebutkan Wilkinson, ada sinkretisme atau perpaduan antar beragam aliran kepercayaan di sana.
Di Islam sendiri, ada sebagian riwayat yang kurang masyhur soal roh orang mati yang masih berkeliaran di rumah setelah kematiannya. Periwayatnya Ad-Dailami, dengan redaksi kira-kira begini, “Apabila seseorang meninggal, maka rohnya dibawa mengelilingi rumahnya selama sebulan, dan di sekitar makamnya selama setahun.”
Namun, seperti sudah disinggung sebelumnya, riwayat tadi kurang populer. Kebanyakan muslim meyakini bahwa roh orang mati tidak lagi tinggal di dunia.
Sementara itu, ikatan tali kafan dalam Islam memang dianjurkan untuk dilepaskan saat jenazah sudah diletakkan dalam kubur. Alasannya, menurut sebagian ulama seperti Ar-Ramli, biar jenazah tidak kesulitan di alam barzakh.
Lalu apa hubungannya antara arwah gentayangan, akhirat, dan popularitas pocong yang menakutkan di Indonesia? Menurut Justito dan Annissa, pocong jadi angker gara-gara kepercayaan masyarakat kita yang meyakini roh orang mati belum meninggalkan dunia.
“Kita memiliki ketakutan atas bangkitnya manusia dalam bentuk lain,” tulis Justito dalam kesempatan lain. “Diakui atau tidak, sistem kepercayaan kita berbeda dengan mereka yang di Timur Tengah, walau mungkin referensi agamanya sama. Pocong dan hantu yang lain di Indonesia berangkat dari sistem kepercayaan sinkretik kita, tentang ruh, tempat keramat, momen-momen ngeri.”
Singkatnya, karena banyak masyarakat kita masih percaya arwah gentayangan, dan kebanyakan masyarakat kita muslim yang dikuburkan dengan dibungkus kafan, jadilah pocong sebagai hantu arus utama di negeri ini.
Kebangkitan film pocong pasca Orde Baru
Sistem kepercayaan masyarakat kita jadi satu alasan mengapa pocong populer di Indonesia, alasan lainnya adalah penyebaran narasi secara masif lewat berbagai media (transmedia storytelling), mulai dari media cetak hingga film.
Di ranah cetak, Justito dan Annissa menyebut majalah Hidayah sebagai media utama yang mempopulerkan pocong pasca jatuhnya Orde Baru. Hidayah sendiri awalnya dibawa dari Malaysia ke Indonesia pada 2001. Dan hanya dalam kurun waktu setahun, oplahnya tembus hingga 100.000 eksemplar, jauh mengungguli oplah majalah sekelas Tempo.
Secara garis besar, Hidayah sukses digandrungi jutaan orang Indonesia lewat formula dua kisahnya. Pertama, kisah husnul khatimah atau akhir hidup yang baik. Kedua dan yang jadi andalan Hidayah, kisah su'ul khatimah yang menceritakan akhir hidup para pendosa dengan berbagai azab yang menimpa mereka.
“Hidayah berulang kali menampilkan pocong dalam sampulnya dengan berbagai kondisi mengenaskan: berlumuran darah, terikat, tenggelam, dan terkekang,” tulis Justito dan Annissa. “Hidayah menjadi platform media pertama dan paling konsisten pasca reformasi yang menautkan pocong dengan horor dan mempromosikannya ke publik Indonesia.”
Setelah itu, banyak film horor bertemakan pocong diproduksi. Berdasarkan penelusuran Justito dan Annissa, sepanjang 2000-2020, ada 37 film horor Indonesia yang menampilkan pocong sebagai hantu utamanya. Padahal, sepanjang 1970-1998 hanya Setan Kuburan (1975) film horor bertemakan pocong yang ada di Indonesia.
Begitulah sekelumit perjalanan bagaimana pocong menjadi hantu terpopuler di negeri ini. Dari masa ke masa, penggambaran pocong di media pun ikut bertransformasi. Mulai dari awalnya berguling, lalu meloncat, hingga terbang. Yang masih sama adalah ketakutan kita dan cerita pocong yang begitu-begitu saja.
“Di Indonesia, mungkin kita telah menyia-nyiakan potensi pocong sebagai alegori atas berbagai trauma dan kekerasan yang dialami oleh bangsa kita,” tutup Justito dan Annissa.