Pak Midun dan Keranda Kanjuruhan
"Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau hendaki tumbuh." Bunga dan Tembok - Wiji Thukul
ERA.id - Miftahuddin Ramli lebih akrab dipanggil Pak Midun oleh orang-orang sekitarnya. Hidupnya boleh dibilang stabil. Pria asal Malang itu bekerja sebagai pegawai negeri di dinas pariwisata Kota Batu. Sekarang mestinya ia sedang sibuk memikirkan simpanan masa tuanya, sebab sekitar empat tahun lagi bakal pensiun.
Namun, alih-alih begitu, tahun ini ia malah memilih pergi ke Jakarta dengan bersepeda. Dan bukan sembarang sepeda, tetapi hasil modifikasi yang bisa mengangkut keranda di belakangnya. Alasannya satu: menolak lupa Tragedi Kanjuruhan.
Pak Midun menghabiskan seluruh jatah cutinya tahun ini buat perjalanan panjang tadi. Walaupun tak ada keluarganya yang jadi korban di malam kelam Oktober tahun lalu, ia tetap merasa getir. Dan kegetiran itu selalu mengganggu tidur nyenyaknya.
“Lebih ke arah saya menjadi orang Malang mungkin, juga saya merasa seperti orang tua dari mereka-mereka yang menjadi korban,” ungkap Pak Midun.
Dari Malang ke Jakarta, ia gowes sepeda lewat rute utara, melewati Sidoarjo, Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban, Rembang, Pati, Kudus, Demak, Semarang, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Cirebon, Jatibarang, Indramayu, Subang, Karawang, dan Bekasi. Jarak tempuhnya lebih dari 700 km.
Berbekal beberapa helai baju ganti, pompa angin, dan doa-doa keluarga korban Tragedi Kanjuruhan, Pak Midun mulai menggenjot sepeda dari rumahnya di Batu pada 3 Agustus 2023.
Keranda hitam yang ia bawa bertuliskan besar-besar: JUSTICE FOR KANJURUHAN. Beberapa pesan dari keluarga korban juga ikut menghiasinya, mulai dari tolak renovasi Stadion Kanjuruhan hingga tuntutan usut tuntas. Kemarin, Minggu (13/8/2023), Pak Midun tiba di Bekasi dikawal kawan-kawan JAKmania.
Hari ini, ia dan sepeda kerandanya sudah bertemu Stadion Gelora Bung Karno. Pak Midun boleh masuk gerbang, tapi sepedanya tidak. Ia akhirnya putar balik ke Bulungan. Setelah semua ini, apa yang bisa kita pelajari?
Dari Pak Midun kita jadi tahu, ternyata bersepeda dari Malang-Jakarta atau sebaliknya itu memungkinkan, dengan waktu tempuh kurang lebih 11 hari. Perlu diingat, estimasi waktu tadi menghitung bobot keranda dan mampir-mampir ke stadion di tiap kota yang disinggahi. Jika dikurangi dua hal itu, mungkin bisa lebih cepat lagi.
Fakta di atas menggugurkan alasan anak rantau yang jarang mudik tiap tahun karena tidak ada biaya. Selama masih ada di pulau Jawa, jarak sejauh apa pun seharusnya bisa ditempuh dengan bersepeda. Jadi sebetulnya yang menghalangi kita pulang ke rumah bukan uang, tapi lebih ke tidak ada waktu atau tidak ada niat.
Dari Pak Midun kita juga jadi tahu, suporter bola Indonesia sebetulnya bisa rukun, walaupun kadang menunggu ada tragedi dulu. Sepanjang perjalanannya, Pak Midun selalu disambut dan dijamu oleh suporter setempat di kota-kota singgah.
Di Surabaya, ia dikawal sejumlah Bonek dari Masjid Agung ke Stadion Bung Tomo. Beberapa suporter Persebaya itu juga membekalinya minum dan rokok. Padahal kita tahu sendiri, Tragedi Kanjuruhan pecah usai laga antara Persebaya vs Arema.
Saat memasuki Cikampek, ia dikawal Viking, pendukung dari Persib Bandung, dan sesampainya di Bekasi, pengawalan Pak Midun dioper ke JAKmania. Sepanjang sejarah kedua klub itu, kita tahu suporter keduanya sering bersitegang, tapi kali ini mereka bahu-membahu mengawal seorang pria tua yang mencari keadilan.
Dari ilustrasi di atas, saya juga jadi ingat pepatah Arab lama: terkadang saudara tidak lahir dari rahim yang sama. Saudara-saudara itu dijumpai Pak Midun selama perjalanannya, dalam bentuk suporter-suporter yang datang menemui dan ikut mengantarkannya ke persinggahan berikutnya.
Di lain sisi, saya lihat masih banyak oknum Aremania Malang yang tidak ikut dalam satu gerbong bersama para korban Tragedi Kanjuruhan. Alih-alih berdiri bersama keluarga korban menyuarakan keadilan, mereka justru asik sendiri melanggengkan api permusuhan terus menyala.
Kemarin misalnya, sehari sebelum ulang tahun Arema tanggal 11 Agustus, sejumlah Aremania tampak menyorakkan yel-yel "Bonek bajingan jancok" di Stadion Gajayana sambil membakar flare.
"Kalau Bonek itu bajingan, mereka yang jingkrak-jingkrak di atas kuburan temannya sendiri disebut apa?" begitu pertanyaan yang kerap saya jumpai di media sosial menanggapi fenomena tadi. Pertanyaan yang saya sendiri bingung menjawabnya.
Dari Pak Midun kita pun diingatkan lagi, bahwa tak butuh waktu setahun bagi para penguasa untuk melupakan nyawa 135 orang. Tragedi Kanjuruhan terjadi awal Oktober tahun lalu, tetapi gaungnya hanya bertahan beberapa bulan.
Maret kemarin, dari enam terdakwa Tragedi Kanjuruhan, baru tiga yang divonis penjara, paling lama hanya 1,5 tahun. Sementara dua sisanya, AKP Bambang Sidik Achmadi dan Kompol Wahyu Setyo Pranoto, divonis bebas oleh hakim di Pengadilan Negeri Surabaya. Salah satu pertimbangan hakim: karena arah angin yang mengubah gas air mata.
Padahal, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) besutan Presiden Jokowi menyimpulkan bahwa aparat Polri dan beberapa pihak keamanan melakukan tindakan berlebihan dengan menyiapkan gas air mata dan menembakkannya ke arah penonton. Namun, apa mau dikata, hakim berkata lain. Sejauh ini pun, ya hanya enam tersangka yang sudah ditetapkan polisi, dan sepertinya bakal berhenti di sana.
Ketua Umum PSSI Erick Thohir hanya bolak-balik janji bakal usut tuntas dengan jawaban normatif bahwa semua bakal diputuskan pengadilan. Sementara pemerintah, ketimbang merenovasi sepak bola Indonesia dari akar-akarnya, lebih memilih jalan pintas merenovasi Stadion Kanjuruhan. Jalan yang ditolak oleh segenap keluarga korban yang meminta agar Kanjuruhan dibiarkan jadi monumen kemanusiaan.
Namun, tampaknya pemerintah ingin mengubur sejarah kelam sepak bola Indonesia ini dalam-dalam daripada menjadikannya pelajaran.
Menjelang 2024, semakin nyatalah amnesia berjamaah para pejabat. Pikiran masing-masing tertuju ke pemilu, ada yang fokus atur strategi agar kekuasaannya bisa terus berjalan meski segera turun jabatan dan ada yang manuver sana-sini cari celah jadi cawapres. Sementara polisi, salah satu aktor paling bertanggung jawab atas Tragedi Kanjuruhan, pasca sidang putusan Sambo dan Teddy Minahasa, sepertinya merasa tak perlu lagi cari nama baik.
Dari Pak Midun juga kita jadi paham, zaman bergulir, tetapi keberpihakan penguasa tak jauh berubah, selalu dekat dengan orang-orang besar. Maka, aksi simbolik yang dilakoni orang-orang kecil selalu dipandang seperti semut di ujung laut, tak penting sama sekali.
Kita saksikan saja, perjalanan Pak Midun ratusan kilometer hanya diapresiasi sesama rakyat jelata: suporter yang muak dengan iklim sepak bola Indonesia dan warga yang tak sudi ada keluarganya mati sia-sia di tangan aparat.
Siapa yang mengawal Pak Midun dari kota ke kota? Siapa yang memberinya tempat istirahat dan makan? Siapa yang mendukungnya selamat pulang-pergi? Dari sekian jawaban yang terbersit, adakah nama pemerintah dan penguasa di antaranya?
Pemerintah dengan mudah lupa, mereka hanya memasang alarm untuk mengingat rakyat selama lima tahun sekali. Karena itu, kita jangan sampai lupa: ada yang tewas diracun di udara; ada orang tua yang anaknya hilang jadi tumbal reformasi, bertahun-tahun mereka berdiri depan istana untuk Aksi Kamisan dan hanya sekali diajak masuk ke dalam; ada Salim Kancil yang tewas digebuki preman gara-gara menolak tambang; ada enam anggota FPI yang tewas ditembak di KM 50 tanpa alasan jelas; dan ada 135 nyawa yang mati karena gas air mata.