Jakarta, era.id - Wahai kawanku, kapan terakhir kali dirimu merasakan hujan? Jika lupa, ini bukan salahmu. Sebab, memang sudah lama sekali hujan enggak turun di Ibu Kota tercinta ini. Dan kita bukan satu-satunya penghuni kota yang merindukan tetesan-tetesan berkah itu. Menurut data, sejumlah wilayah Nusantara mulai alami kekeringan, dan keamanan pangan kini terancam.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data yang memaparkan krisis air di sejumlah wilayah Nusantara, mulai dari Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga Lampung. Kekeringan enggak hanya menyebabkan krisis air bersih, tapi juga mengancam produktivitas pada sektor pertanian. Celaka kita, kawan!
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, dalam tulisan yang dipublikasikan di laman resmi BNPB menuturkan, akibat kekeringan, para petani kini harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mencukupi kebutuhan aliran air di sawah mereka.
"Petani juga mengeluarkan biaya tambahan 800 ribu rupiah untuk sewa pompa air dan membeli solar guna mengaliri sawahnya," tulis Sutopo.
Menurut rincian data BNPB, di antara sebelas provinsi dengan dampak kekeringan terparah, ada seenggaknya 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan, dan 4.053 yang merana akibat kurang dahaga. Saat ini, BNPB terus melakukan pendataan terkait dampak kekeringan yang melanda Nusantara. Artinya, angka sebanyak itu belum final. Kemungkinan, dampak kekeringan bahkan lebih luas dari yang terdata.
Ini cuma ilustrasi dari Pixabay
Sejauh ini, di Provinsi Jawa Barat, kekeringan terjadi di 22 kabupaten/kota yang meliputi 165 kecamatan, 761 desa, dan berdampak pada 1,13 juta penduduk yang kekurangan air bersih. Di Jawa Tengah, sebanyak 854 ribu jiwa penduduk dari 28 kabupaten/kota, 208 kecamatan dan 1.416 desa terdampak kekeringan. Lalu, di Provinsi NTB, sebanyak 1,23 juta jiwa penduduk terdampak kekeringan. Mereka berasal dari sembilan kabupaten/kota, 74 kecamatan, dan 346 desa.
Sungguh, pemerintah harus segera bergerak. Data tersebut celakanya merupakan proyeksi nyata dari kondisi lapangan. Lihat saja masyarakat di Dusun Kalangan, Desa Kalitekuk, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta yang dilanda krisis air bersih lantaran jaringan Sistem Penyediaan Air Minum Dusun (Spamdus) yang mereka bangun sudah enggak berfungsi maksimal sejak hujan menolak turun.
"Sejak dua bulan lalu, debit air Spamdus turun drastis, dari 120-an KK, sampai hanya 7 KK yang bisa mengakses jaringan spamdus," kata Kepala Dusun Kalangan, Kecamatan Semin, Surayah dikutip Antara.
Memang, pemerintah bukannya diam. Di Jawa Tengah, misalnya. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat telah sejak lama bergerak mengirim bantuan air bersih ke sejumlah daerah. Di Purbalingga, salah satu wilayah yang terdampak paling parah, BPBD
bahkan telah mengirim seengaknya 2.094 tangki air untuk masyarakat di 15 kecamatan dan 63 desa dalam kurun waktu Juli hingga Oktober 2018.
Sayang, upaya penanggulangan lewat dropping air bersih nampak belum bisa jadi solusi jitu. Bukan berarti buruk, tapi rasanya sudah waktunya melirik teknologi dan inovasi untuk mengatasi kekeringan supaya enggak jadi agenda tahunan yang terus berulang. Salah satu teknologi yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah kekeringan adalah melalui rekayasa air tanah, Aquifer Storage and Recovery Groundwater (ASRG).
Kelebihan dari teknologi ini adalah dapat dibangun di lingkungan padat penduduk, sekolah, masjid, lapangan, perkebunan, atau sisi kanan kiri landas pacu pesawat. Edi Prasetyo, Geologist Scientist Coordinator Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), lewat tulisan yang dipublikasikan di laman resmi LIPI menjelaskan, teknologi ini juga berguna untuk mengurangi banjir. Sebab, pada prinsipnya, teknologi ini dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menyimpan cadangan air ketika musim penghujan tiba.
ASRG ini dapat dibuat dengan model galeri yang ditanam di tanah pada kedalaman lima meter dengan panjang sekitar 20 meter. Tiap lima meter diberi cabang dengan menggunakan pipa paralon yang diberi lubang. Susunan pipa ini kemudian diletakkan di lapisan gravel dan pasir. Kemudian, ditimbun tanah dengan zona permeable yang lebih tinggi sehingga seluruh air hujan akan masuk ke dalamnya.
Teknologi ASRG ini banyak digunakan di berbagai negara termasuk di Amerika Serikat, Israel, dan Belanda. Di Belanda, teknologi ini berhasil diterapkan. Keberhasilannya adalah menginjeksikan sekitar 380 juta liter (99 juta galon) selama musim hujan dan berhasil diambil kembali sebanyak 300 juta liter (79 juta galon) enam bulan kemudian.
Sementara itu, Di negara maju, pengelolaan air tanah yang hanya berbasis sumur produksi (seperti di Indonesia saat ini) telah lama ditinggalkan. Orientasi penanggulangan kekeringan kini bergeser ke paradigma baru, yaitu pengelolaan terintegrasi air tanah dan cekungannya dengan label groundwater basin management.
Selain itu, teknologi lain yang bisa digunakan untuk menanggulangi bencana kekeringan adalah Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Seperti dijelaskan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam laman resminya, bppt.go.id. Dalam situs tersebut, dijelaskan fungsi dari TMC di antaranya adalah menyusun program penerapan teknologi modifikasi cuaca untuk penambahan curah hujan, pengurangan curah hujan dan kegunaan lainnya.
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) merupakan suatu usaha campur tangan manusia dalam pengendalian sumberdaya air di atmosfer untuk menambah curah hujan (rain enhancement) dan/atau mengurangi intensitas curah hujan (rain reduction) pada daerah tertentu untuk meminimalkan bencana alam yang disebabkan oleh iklim dan cuaca dengan memanfaatkan parameter cuaca.
Sementara itu, tujuan yang bisa dicapai dari teknologi ini antara lain adalah menambah curah hujan guna mengatasi kekeringan, pengisian air waduk/danau untuk kebutuhan irigasi dan PLTA, mengurangi curah hujan untuk mengatasi banjir dan longsor, serta mengurangi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.