Kembali Kanak-Kanak Lagi, Ini Kisahku Menjadi Wibu di Usia 30 Tahun

Kalian sedang membaca rubrik Stori yang merupakan berita dengan pendekatan jurnalisme sastrawi. Dalam tulisan kali ini, kami bertemu Gilang, pekerja kantoran berusia 30 tahun yang di sela kesibukannya kerap menjadi cosplayer anime dan menghidupi mimpi masa kecilnya. Kisah Gilang dituturkan ulang dalam format sudut pandang orang pertama oleh penulis ERA Agus Ghulam. Selamat berpetualang di dunia wibu!

ERA.id - Ketika aku lahir pada 1993, Jepang yang dulu datang mengaku sebagai saudara tua sudah lama minggat dari negeri ini, meninggalkan cerita-cerita penjajahan mereka di buku sejarah yang kubaca sejak sekolah dasar. 

Namun, antara Jepang sebelum tahun 1945 dan Jepang yang kukenal dari tontonan Minggu pagi, keduanya bagai saudara tiri yang berbeda. Dulu mereka datang membawa teror; membuat trauma nenek moyangku. Sementara kini mereka datang membawa kebudayaannya lewat manga dan anime Jepang. Dan itu tampaknya berhasil menaklukanku.

Semua berawal dari Si Botak Hagemaru. Hagemaru, bocah sekolah yang lidahnya selalu menjulur ke atas itu, dengan kepala plontos, alis tebal, dan matanya yang lebar berbinar-binar, betul-betul memaku bokongku di depan televisi tiap Minggu pagi. Jauh sebelum Shin-chan jadi beken, Hagemarulah yang membuatku suka Jejepangan.

Sayangnya, butuh usaha berlebih untuk bernostalgia dengan Hagemaru. Sejak ia pamit dari layar kaca, tak ada lagi tayangan ulang versi Indonesia-nya di internet. Yang ada hanya episode-episode dubbingan dari Malaysia. Melihat Hagemaru bercakap-cakap dengan teman sekolah dan keluarganya berbahasa Melayu, aku malah jadi keingat Upin Ipin.

Gilang Satria berbincang-bincang dengan teman cosplayer di Mall Bassura. (ERA/Muslikhul Afif)

Hagemaru, Pokemon, Yu-Gi-Oh!, Digimon, HunterXHunter, kartun-kartun itulah yang membuat masa kecilku lebih berwarna dan kelak menemani masa depanku yang terasa agak kesepian. Terkadang, sampai hari ini, aku berandai-andai dunia yang kutinggali seperti yang kusaksikan di Pokemon; bertabur makhluk-makhluk ajaib yang bisa dijadikan teman. 

Manusia juga sebenarnya makhluk yang ajaib, tapi seringkali mereka bertindak egois. Semakin dewasa, perlahan-lahan mereka tak lagi menikmati hidup seperti waktu kecil. Teman-teman masa kecilku juga beranjak dewasa, aku pun begitu, dan orang dewasa sering dianggap tabu untuk bertingkah kekanak-kanakan. 

Aku dipaksa membenci hujan, sedangkan anak-anak kecil girang bermain hujan-hujanan. Bayangkan ketika usiaku menyentuh kepala tiga dan masih asyik bermain cosplay, bagaimana pandangan orang-orang dewasa terhadapku? Pasti tak jauh-jauh dari asumsi masa kecil kurang bahagia; buang-buang waktu; hingga dianggap freak.

Namun, seiring waktu, makin jarang terdengar selentingan-selentingan miring terhadap hobiku. Entah karena orang-orang mulai belajar menghargai atau memang aku yang mulai tak peduli dengan asumsi orang. Meski aku berkostum sayap dan sering memakai wig saat cosplay, setidaknya aku tak hidup dengan berpura-pura menjadi orang lain. Namaku Gilang, panggil saja aku wibu semaumu, dan inilah perjalananku hingga menjadi cosplayer aktif seperti sekarang.

Dari Hagemaru ke Boku no Hero Academia

"Aku ingin hidup di dunia di mana pahlawan punya banyak waktu luang."

Begitulah secuplik dialog tokoh Hawks dalam anime Boku no Hero Academia yang musim pertamanya tayang di Indonesia pada 2018. Anime itu sendiri diangkat dari manga yang mengisahkan dunia di mana orang-orang mulai lahir dengan kemampuan super masing-masing, istilahnya quirk. Hawks lahir dari keluarga broken home dengan sayap di punggungnya, dan ia bebas mengendalikan setiap helai bulu yang tumbuh di sayapnya.

Dari sekian banyak tokoh yang ada di anime itu, Hawks menjadi gacoanku. Ia menjadi pahlawan yang selalu menebar kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya, di sisi lain, pahlawan sejuta umat itu menanggung beban deritanya sendiri tanpa membagi-baginya ke orang lain. 

Dialognya di awal tadi sekilas terkesan abai dan kurang bertanggung jawab; bayangkan saja ada seorang polisi bilang cita-citanya ingin polisi punya banyak waktu luang. Namun, pesan tersiratnya yang kubaca justru Hawks ingin orang-orang di dunia hidup bahagia hingga tak lagi memikirkan untuk berbuat jahat: Sebuah negeri utopis. Dunia yang dalam hati juga kurindukan. Mungkin itulah mengapa aku mengidolakan Hawks meski ia hanya tokoh rekaan.

Gilang Satria cosplay sebagai Hawks dalam Boku no Hero Academia. (ERA/Muslikhul Afif)

Sebetulnya, aku sempat mengambil jeda agak lama dari menonton anime dan membaca manga. Kira-kira mulai tahun 2012 aku lebih fokus mengikuti sepak terjang grup saudari AKB48 yang baru datang di Indonesia, JKT48. Aku mulai membuka channel Youtube sendiri dan membuat konten-konten seputar idol group hingga bincang-bincang dengan personel JKT48.

Boku no Hero mengembalikan kenanganku dengan Hagemaru di masa silam. Aku bisa melihat anak kecil dalam diriku tertawa cekikikan kala menontonnya. Teringat sejak tahun 2009, aku sering mengikuti event-event cosplay anime dan Jejepangan. Tiba-tiba aku membayangkan asyik juga jika bisa bermain peran seperti masa kecil dulu. 

Dan saat banyak anggota-anggota JKT48 favoritku pensiun, aku mulai menekuni kembali hobi menonton anime; makin dekat dengan komunitas cosplay; dan akhirnya memutuskan membeli kostumku sendiri.

Beruntung aku punya kakak lelaki yang mendukung hobiku. Ketika aku memutuskan membeli sayap ala-ala Hawks dari gaji bulananku, ia yang pertama kali tak mempersoalkannya. Ketika banyak keluarga membercandaiku saat mencoba-coba wig warna kuning di rumah, kakakku juga yang membesarkan hatiku. 

Sering ada orang bertanya, mengapa sudah gede masih hobi bermain kostum seperti badut? Justru karena aku merasa semakin dewasa, aku sadar kelak akan tiba waktunya aku harus lebih banyak meluangkan waktu dengan anak-istri dan meminggirkan semua hobi ini. Sebelum itu, aku ingin menuntaskan semua rasa penasaran yang belum terpenuhi. Dan cosplay rasanya bakal menjadi akhir perjalanan yang menyenangkan untuk mengucapkan selamat tinggal pada masa kecilku.

Mengapa aku betah dalam komunitas cosplay dan wibu?

Orang-orang sering mengira, komunitas wibu adalah kumpulan orang kurang kerjaan yang buang-buang waktu. Padahal, seperti komunitas lain, kami hanya menghidupi hobi kami dan berkumpul dengan pencinta hobi yang sama. Tak jauh berbeda dengan komunitas motor; komunitas buku; komunitas pencinta tanaman; dan komunitas apa pun yang melintas di benakmu.

Di luar event-event Jejepangan, aku dan teman-teman komunitas membangun hubungan lewat berbagai kegiatan: Main futsal; karaoke; hingga kemah ke alam. Memang sering kali kita mengobrolkan anime-anime yang ditonton sepanjang pekan; manga-manga yang kita baca; atau pengisi suara favorit. Namun, tak jarang pula obrolan kita berkisar kehidupan masing-masing; jalan seperti apa yang ditempuh hingga kita menjadi diri kita yang sekarang.

Komunitas wibu terkadang bahkan mempertemukan jodoh. Aku kenal salah satu senior cosplayer, Bang Ian, akhirnya menikahi sesama cosplayer bernama Omayra. Tiap ada acara, mereka berdua kerap datang berpasangan dengan kostum yang serasi.

Komunitas cosplayer Boku no Hero Academia. (Istimewa)

Selain itu, hobi cosplay juga menghidupi banyak orang dari industri ini. Cosplayer sepertiku tentu butuh perancang kostum hingga penjahit, dan event-event cosplay selalu melibatkan banyak pihak seperti dalam event lain. Beberapa temanku bekerja sebagai pembuat kostum cosplay; ada yang menyewakan kostum; ada yang menjadi fotografer dan videografer; hingga ada yang khusus memproduksi pernak-pernik merchandise.

Aku sendiri, di samping nyambi jadi cosplayer, sering juga mendokumentasikan acara di sela-selanya. Awalnya aku masih pakai hp android, tapi kini syukurnya mampu membeli kamera sendiri. Uangnya kutabung dari hadiah-hadiah ikut lomba cosplay hingga gaji sebagai staf IT di Cikini.

Kalau ditanya mau sampai kapan menjadi cosplayer? Jujur aku belum bisa menjawabnya. Jangankan begitu, setiap beranjak tidur saja aku masih ragu bakal bangun besok pagi. Dan setiap terbangun, aku hanya berpikir Tuhan masih memberiku waktu sehari lagi. 

>