Ketika Warga Rempang "Dipiting" Negara
ERA.id - Pulau Rempang belakangan sedang mencekam. Ribuan warga aslinya terancam terusir dari kampung halaman mereka dan sebagian sudah babak belur digebuki karena memilih bertahan.
Sepanjang mengikuti berita sengketa tanah di Rempang antara warga dengan pemerintah dan investor, ujung-ujungnya saya selalu mendengar lagu lama yang dijadikan alasan kekerasan di sana: Miskomunikasi. Narasi ini dibunyikan langsung oleh Presiden Jokowi hingga Kapolri Listyo Sigit.
Perihal miskomunikasi ini saya jadi teringat mitos Jawa kuno. Konon, aksara Jawa lahir akibat miskomunikasi antara dua ajudan. Alkisah, setelah Ajisaka mengalahkan Dewata Cengkar dan menguasai Medang Kemulan, ia teringat kerisnya di Pulau Majethi yang dititipkan kepada Sembada, salah seorang pelayan setianya.
Ajisaka lantas mengirim abdi kepercayaannya yang lain, Dora, untuk mengambil keris itu. Ia berpesan: Jangan pulang tanpa membawanya. Padahal, sebelumnya Ajisaka juga berpesan ke Sembada sewaktu menitipkan kerisnya: Jangan beri keris itu kepada siapa pun.
Kedua utusan itu lalu bertemu dan saling bertarung tanpa tahu apa-apa. Keduanya pun mati setelah mati-matian menunaikan titah majikan mereka. Ajisaka yang berduka lalu menulis kisahnya di tembok:
Ha Na Ca Ra Ka (Ada utusan)
Da Ta Sa Wa La (Keduanya bertengkar)
Pa Da Ja Ya Nya (Sama saktinya)
Ma Ga Ba Ta Nga (Sama-sama jadi mayat)
Kisah barusan tentu tak bisa dijadikan rujukan sejarah kredibel, namanya juga mitos. Namun, menafsirkannya sebagai pelajaran hidup sah-sah saja.
Sebetulnya, apa yang dikatakan Ajisaka sangat gamblang: Jangan ini, jangan itu. Pesannya tak berisiko menimbulkan multitafsir. Masalahnya, informasi yang keluar dari mulutnya sepotong-sepotong. Ia tak memberitahu Dora soal Sembada, begitu pula sebaliknya. Gara-gara itu timbullah miskomunikasi; dan miskomunikasi pada akhirnya menimbulkan tragedi.
Piting-memiting atau rangkul-merangkul?
Ketika Jokowi bilang masalah di Rempang hanya masalah miskomunikasi dan tak perlu sampai ke presiden, secara tidak langsung pemerintah mengakui komunikasi publik mereka buruk. Dan saat kita membicarakan penguasa, miskomunikasi jelas berakibat fatal.
Jangankan urusan negara, rumah tangga saja bisa ambyar gara-gara komunikasi kurang bagus. Di film Noktah Merah Perkawinan, pasangan Gilang-Ambar digambarkan nyaris cerai gara-gara sang suami membantu finansial mertuanya tanpa bilang-bilang ke istri. Sudah begitu, Gilang enggan-engganan tiap diajak konsultasi rumah tangga.
Dalam lingkup kecil saja, kita sadar komunikasi itu penting. Apalagi di lingkup negara yang isinya ratusan juta kepala. Ironisnya, di saat bersamaan, kita sering menyikapi miskomunikasi sebagaimana menyikapi kesalahan teknis; hanya persoalan remeh-temeh. Padahal, keduanya merupakan masalah serius.
Ketika pemerintah bilang "ah kerusuhan di Rempang itu masalah komunikasi saja", seakan-akan solusinya bisa langsung ketemu dengan dibicarakan baik-baik. Padahal, di Rempang, miskomunikasi yang dijadikan dalih pemerintah masih menyisakan banyak ruang pertanyaan.
Komunikasi macam apa yang mendorong aparat memperlakukan warga Rempang seperti hewan jagal? Mengapa warga dipaksa mengosongkan pulau yang mereka huni turun-temurun selama ratusan tahun? Di atas semuanya, apakah sengketa tanah di Rempang hanya persoalan miskomunikasi?
Katakanlah betul miskomunikasi, situasi seperti apa yang diharapkan dari komunikasi ala militer yang disampaikan Panglima TNI Yudo Margono dengan instruksi "piting warga" ke para anak buahnya?
"Umpamanya masyarakatnya 1.000, kita keluarkan 1.000. Satu miting satu kan selesai. Gak usah pake alat, dipiting aja satu-satu. Tau dipiting?" ujarnya seperti terlihat dalam cuplikasi video dari Puspen TNI.
Buat memastikan saja pertanyaan Panglima, kalau kita buka KBBI, memiting berarti "mengapit atau menjepit dengan kaki atau lengan". Contoh penggunaannya dalam kalimat seperti ini: Dengan cepat ia menubruk musuh itu lalu memiting batang lehernya.
Namun, menurut TNI, piting memiting dalam bahasa prajurit artinya setiap prajurit "merangkul" satu masyarakat agar terhindar dari bentrokan.
Sayangnya, pernyataan Panglima tadi didokumentasikan utuh, lalu disebarkan ke media sosial untuk dikonsumsi publik (walau kini sudah tak bisa lagi diakses umum). Kenyataan bahwa video tersebut sempat diunggah kemudian dihapus membuktikan bahwa TNI sendiri merasa itu bermasalah.
Ditambah, jika kita lihat video-video yang beredar dan menunjukkan situasi Rempang yang mencekam seperti warga berlari kesetanan; bapak-bapak tua memegangi kepalanya yang berdarah-darah; atau anak-anak sekolah kabur menghindari serangan gas air mata; maka bayangan yang tergambar di kepala kita saat mendengar Panglima TNI bilang piting ya seperti yang ada di kamus, bukan pengertian "merangkul masyarakat".
Di mana ada tanah, di situ ada investasi
Bukan sekali-dua kali pernyataan yang berkonotasi negatif keluar dari mulut pejabat. Sebelumnya, Jokowi juga pernah berpidato akan mengejar dan menghajar para penghambat investasi seperti pemberi izin yang lambat dan berbelit-belit. Luhut Binsar Panjaitan juga pernah mengancam akan “buldoser” mereka yang menghalang-halangi investasi masuk ke Indonesia.
Baik Jokowi maupun Luhut tentu mengungkapkan kiasan. Sebab lucu membayangkan presiden kita kejar-kejaran di jalan atau Pak Luhut naik buldoser dan melindas orang-orang. Meskipun ada saja yang ucapannya sejalan dengan aksinya, misalnya Susi Pudjiastuti. Saat ibu itu bilang “tenggelamkan”, ia betul-betul menenggelamkan kapal asing yang menangkap ikan ilegal di perairan Indonesia.
Apa pun itu, kebiasaan pejabat yang ringan mulut memberi ancaman terbuka–dengan atau tanpa kiasan–harusnya dikritisi. Pertama, mereka punya kuasa untuk melakukannya. Kedua, mereka punya kuasa untuk membenarkannya. Dan keduanya bisa kita saksikan dalam kasus Rempang.
Jokowi memang tidak terjun langsung ke lapangan untuk mengosongkan Pulau Rempang yang sudah “dijual” ke investor. Namun, kaki tangannya mulai dari pemerintah daerah, kepolisian, hingga tentara, menyisir pulau itu sejak Agustus dengan pentungan dan gas air mata. Setidaknya 43 warga ditangkap karena dituduh memicu kerusuhan saat demonstrasi.
Sementara itu, orang dalam pemerintahan rangkul-merangkul menjadikan warga Rempang sebagai "tersangka". Menteri ATR Hadi Tjahjanto bilang mereka tak punya sertifikat tanah; Menko Polhukam Mahfud MD bilang pemerintah telah memberikan hak guna usaha pulau tersebut kepada sebuah perusahaan sejak 2001; Menteri Investasi Bahlil Lahadalia bahkan mencurigai keterlibatan asing dalam penolakan warga atas penggusuran mereka.
Ironisnya, semua alibi tadi dibangun di atas gembar-gembor pemerintah Jokowi yang menargetkan 126 juta sertifikat tanah rampung dibagikan ke masyarakat pada 2024. Ini mengingatkan saya dengan pernyataan lama Jokowi bahwa apabila di tengah tanah konsesi ada kampung yang sudah bertahun-tahun hidup di sana, maka tanah tersebut harus diberikan kepada masyarakat.
Hari ini, janji tinggal janji. Di Rempang, ada 16 kampung tua yang dihuni warga asli dari suku Melayu, Orang Laut, dan Orang Darat, yang diyakini bermukim di sana sejak tahun 1834. Namun, bagi pemerintah, selama tak ada sertifikat tanah, selalu ada alasan untuk menggusur mereka ke tempat asing demi proyek strategis nasional yang konon mampu memperbaiki ekonomi. Ekonomi siapa?