Pasar Sepi, Pedagang Menjerit, Tutup Toko Online Solusinya?

ERA.id - Puluhan tahun silam, Dorothy Vaughan dan tim matematikawan Afro-Amerika-nya nyaris didepak dari NASA setelah komputer generasi ketiga ditemukan. Dorothy sebelumnya melakukan komputasi dan analisis manual untuk proyek-proyek di badan antariksa Amerika tersebut. Siapa sangka peran vitalnya bakal terancam oleh mesin canggih yang bisa menghitung melebihi batas kemampuan manusia.

Namun, ia dan timnya berhasil bertahan lebih lama di sana. Bukan karena menyabotase dan menghancurkan komputer di kantor mereka, tapi dengan mempelajari bahasa pemrograman dan menjadi teknisi dari alat canggih itu.

"Hanya satu yang harus dilakukan: Pelajari apa pun yang kita bisa," ujarnya seperti dapat disaksikan lewat film Hidden Figures.

Saya jadi teringat kisah tadi setelah belakangan sering membaca berita jeritan para pedagang di Tanah Abang. Waktu Rabu (20/9/2023) lalu saya mampir ke sana, saya pun mendengar jeritan itu secara langsung. Beberapa pedagang yang menyadari saya datang untuk meliput kondisi di Blok A berteriak dari lapak-lapak mereka yang tak begitu ramai: Pasar mati! Tutup toko online! 

Teriakan serupa saya temukan waktu menonton video amatir kunjungan Menkop UKM Teten Masduki ke Pasar Tanah Abang sehari sebelumnya. Berkali-kali saya mendengar tuntutan “online shop harus dihapus” dari para pedagang sekitar. Suasananya mirip pas awal-awal ojek online booming di Indonesia dan dikecam banyak tukang ojek pangkalan.

Suasana kosong Pasar Tanah Abang. (ERA/Agus Ghulam)

Sepanjang sejarah, teknologi dan sains selalu bekerja membangun peradaban manusia. Dari hidup nomaden menjadi hidup menetap dengan rumah-rumah permanen; dari berburu ke bercocok tanam; dari pertanian ke industri; dari yang serba manual jadi serba otomatis; dari analog ke digital. Sejarah mengajarkan kita perkembangan teknologi adalah keniscayaan.

Di saat bersamaan, teknologi bukan hanya membangun peradaban baru, tapi juga mengubur peradaban lama di bawahnya. Sama ironisnya dengan bom atom yang dijatuhkan di Jepang dan membunuh ratusan ribu orang, tetapi juga menghentikan Perang Dunia II dengan segala kengeriannya.

Kalau dulu Dorothy dan segenap matematikawan di NASA terancam oleh datangnya komputer IBM, hari ini para pedagang di Tanah Abang merasa terancam oleh kedatangan berbagai toko online dari Shopee hingga TikTok Shop. Lantas, apakah menuntut para pedagang online menutup tokonya dan melarang toko online beroperasi adalah solusinya?

Beradaptasi atau mati

Sejujurnya, Tanah Abang bukan satu-satunya pasar di Jakarta yang mengalami penurunan pengunjung drastis. Kondisi lorong-lorong kosong dan kios-kios digerendel bisa kita temukan di Pasar Santa, Pasar Gembrong, ITC Fatmawati, ITC Ambassador, di mana-mana. Namun, ketika bicara Tanah Abang, gaungnya jadi lebih terdengar hingga ke Istana. Dua menteri sampai terjun menyusuri Pasar Tanah Abang dan mendengar langsung keluhan pedagang.

Hanya saja, kalau boleh usul, pemerintah jangan telan mentah-mentah permintaan mereka tanpa mendengarkan suara pedagang lainnya. Karena antar sesama pedagang di Tanah Abang saja banyak yang bersilang pendapat soal eksistensi toko online. Saya misalnya bertemu dengan Fauzan, pedagang baju yang sudah 23 tahun jualan di sana dan mengaku sangat terbantu dengan adanya toko online.

“Saya bilang yang ngeluh itu bagi orang yang gak ngerti era. Mereka bertahan di offline, kayak gini efeknya,” ungkapnya. “Sebenarnya mereka harus ngikutin zaman, itu sih solusinya.”

Fauzan (kiri), pedagang baju di Tanah Abang. (ERA/Agus Ghulam)

Kami setuju kata Fauzan. Bagaimana pun teknologi bakal terus berkembang sekuat apa pun kita menahan lajunya. Pilihannya hanya beradaptasi atau mati. Dalam hal ini Fauzan memilih beradaptasi: Ia membuka toko online di berbagai platform sambil terus berjualan offline

Hasilnya, ketika beberapa pedagang yang kekeh tak ingin buka toko online memohon-mohon agar jualan mereka laris lagi, Fauzan justru bisa mempekerjakan hingga belasan orang dari kampungnya di Bukittinggi.

Jauh sebelum era lesunya pasar offline tiba, kita sudah lebih dulu menyaksikan jatuhnya era media cetak saat internet dan media sosial menginvasi. Berapa banyak judul majalah yang dulu menemani hari-hari kita dan sekarang tinggal nama? Sebagian memilih pamit seperti majalah Hidayah atau Misteri, sebagian lagi memilih berpindah ke online dan terus eksis seperti majalah Hai.

Hari ini, semua media berebut ke digital. Mereka dipaksa dan harus mengikuti arus zaman. Bagaimana jadinya kalau dulu pengusaha media memboikot internet dan memaksa semua orang membaca media cetak? Indonesia mungkin masih sama dengan zaman Orde Baru.

Maka dari itu, saya harus bilang menyuntik mati toko online bukan jawaban atas masalah yang dikeluhkan beberapa pedagang di Tanah Abang. Berapa banyak pun yang ditutup, percayalah selalu akan muncul opsi baru. Sama halnya ketika situs-situs porno diblokir pemerintah, masyarakat justru berpindah menontonnya di Twitter.

Para pedagang–khususnya pakaian–yang masih anti membuka toko online harusnya sadar, dunia tak hanya berputar di sekeliling mereka, apalagi setelah pandemi. Tiga tahun orang-orang terbiasa dikurung dalam rumah dan apa-apa dialihkan ke online. Dan itu jelas waktu yang sangat cukup untuk membentuk kebiasaan baru masyarakat. 

Sebelum memaksa toko online tutup, ada baiknya pertanyaan ini dijawab dulu: Mengapa kita harus membeli langsung di tempat jika bisa online? Apalagi sekarang berbagai kebutuhan konsumen sudah cukup tercover. Kita bisa mengecek review untuk memastikan barangnya sesuai; kalau pesanan tidak cocok masih bisa di-retur; kalau tidak bisa kita tinggal memberi rating rendah ke penjual.

Di tengah segala kemudahan tadi, sulit rasanya pasar grosir macam Tanah Abang bertahan jika pedagangnya enggan beradaptasi dengan teknologi. 

Jangan dihapus, tapi diregulasi

Saya setuju toko online tetap ada, tapi juga harus diregulasi oleh pemerintah agar persaingan bisnisnya sehat. Setidaknya, menurut saya, ada tiga yang harus jadi perhatian kita: Indikasi penyalahgunaan data konsumen, predatory pricing, dan monopoli.

Yang pertama misalnya terkait isu "Project S" oleh TikTok yang bisa jadi ancaman produk dalam negeri dan UMKM lokal. 

TikTok sebagai media sosial sudah menguasai pasar Indonesia dengan lebih dari 100 juta pengguna dalam negeri menurut data We Are Social. Selain itu, jangkauan iklannya kepada penduduk kita adalah yang terbesar dibandingkan platform sejenis. Hingga awal 2023 saja, menurut daya ByteDance, iklan di aplikasi TikTok mencapai 56,8% dari masyarakat Indonesia di atas 18 tahun.

Perusahaan asal China itu lalu merangkap sebagai e-commerce di samping media sosial. Dalam satu aplikasi, pengguna bisa saling berinteraksi sekaligus bertransaksi online. Masalahnya, TikTok diduga mengambil data kebiasaan belanja masyarakat lalu memproduksi sendiri barang yang diminati mereka untuk dijual kembali. 

Proyek ini disebut-sebut sebagai "Project S". Dan jika kabar itu benar, tentu bakal jadi ancaman karena TikTok bisa bebas menaikkan produk mereka sendiri dan menenggelamkan produk lain. 

Isu ini pertama kali mencuat di Inggris pertengahan Juni lalu. Waktu itu, TikTok membuka fitur Trendy Beat di sana yang isinya barang-barang jualan produksi anak perusahaan Byte Dance yang menaungi TikTok. Di Indonesia, MenKop UKM Teten Masduki memastikan TikTok tak akan menjalankan proyek tersebut.

Yang kedua, predatory pricing alias jual rugi, yaitu ketika penjual menjual produk dengan harga semurah-murahnya di bawah harga pasaran, bahkan tidak mengambil untung dari penjualan produknya demi menghilangkan persaingan. TikTok Shop disinyalir rentan dengan praktek ini. Namun, pada kenyataannya, banyak barang juga dijual sangat murah di beberapa e-commerce lain. 

Terakhir masalah monopoli. Maksud saya di sini adalah ketika para selebriti mulai turun gunung dan ikut menjajah lahan orang-orang kecil, seperti saat mereka mengambilalih tayangan YouTube dari para content creator lokal. Hari ini, saya berkali-kali menonton selebriti yang sudah mapan masih live jualan di TikTok seperti Baim Wong. 

Fauzan, pedagang yang saya temui di Pasar Tanah Abang, mengaku kalau saingan terberatnya sekarang adalah para artis itu. "Mereka katakanlah jualan sampah aja ada yang beli, banyak yang nonton, kan pengikutnya banyak," ujarnya. "Nah kita ini yang pedagang betulan jadi tenggelam."

Kini, pemerintah resmi melarang jual-beli di TikTok seperti disampaikan Pak Jokowi dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Kementerian Perdagangan juga telah meneken revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 yang melarang platform social commerce memfasilitasi transaksi perdagangan pada 25 September kemarin. 

Dalam revisi permendag itu, social commerce hanya boleh mempromosikan barang atau jasa, tetapi dilarang membuka fasilitas transaksi bagi pengguna. Apakah langkah ini bakal cukup ampuh menghidupkan geliat pasar dan UMKM lagi? Mari kita nantikan bersama.