'Sim Salabim' Jadi Ketum PSI dan Segudang Tanya di Baliknya
ERA.id - Belum lewat seminggu sejak Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merilis video pendek berdurasi sekitar 40 detik yang memperlihatkan sosok Kaesang Pangarep bergabung ke partai muda tersebut, dan kini putra bungsu Presiden Joko Widodo itu sudah resmi diangkat sebagai Ketua Umum menggantikan Giring Ganesha, eks vokalis Nidji. Pengangkatan itu hanya berselang dua hari setelah Kaesang bergabung sebagai kader PSI.
"Terus terang, saya masuk politik karena terinspirasi Bapak saya. Saya ingin mengikuti jejak beliau, berpolitik untuk kebaikan," ujar Kaesang seusai diperkenalkan sebagai Ketua Umum PSI yang baru dalam Kopdarnas PSI.
Ia juga membandingkan hujatan yang diterimanya setelah menerima kartu tanda anggota (KTA) PSI dengan serangan terhadap sosok ayahnya. "Dosisnya masih rendah, nggak sebanding dituduh PKI, antek China, anti Islam, plonga plongo, ijazah palsu," ujarnya dikutip dari kanal Youtube PSI, Senin (25/9/2023).
"Kepada seluruh kader, pengurus, dan simpatisan PSI, saya menyerukan agar menjalankan politik dengan hati yang bersih dan penuh kegembiraan," lanjutnya disambut kemeriahan rombongan peserta berjaket merah.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum PSI pertama yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina DPP PSI, Grace Natalie membanggakan partainya karena dinilai berhasil melakukan kaderisasi sekaligus regenerasi sembari menyinggung partai-partai tua.
"Kami cukup bangga di usia yang baru sembilan tahun ini, tidak hanya kaderisasi yang telah kami lakukan, tapi juga regenerasi," ujarnya. "Kalau kita berkaca pada partai-partai yang lain ada yang umurnya sudah lebih banyak, kaderisasinya kami yakin juga lebih baik, tetapi belum juga melakukan regenerasi."
Sayangnya, banyak orang dari berbagai latar belakang punya pendapat berbeda dengan Grace menyikapi pilihan politik PSI ini. Mulai dari kalangan aktivis, pakar hukum, sastrawan, hingga pengamat politik ramai-ramai mengemukakan kekecewaan dan keheranan mereka.
Eks aktivis 1998 Sammy Notaslimboy mengaku bingung dengan pengangkatan Kaesang sebagai Ketua Umum PSI. Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho menilai kaderisasi di PSI gagal karena mengangkat orang baru tanpa pengalaman organisasi dan menyalip kader lain yang merintis dari awal. Sementara sastrawan Okky Madasari berkomentar bahwa hal tersebut merupakan "catatan sejarah tentang perjuangan keluarga dalam mempertahankan kekuasaan".
Senada dengan komentar di atas, pengamat politik Ray Rangkuti sepakat apa yang dilakukan PSI merupakan hal paling menggelikan di ruang politik saat ini.
"Seperti sim salabim. Baru sehari bergabung langsung didapuk menjadi ketua umum," ujarnya kepada ERA, Selasa (26/9/2023). "Tujuannya jelas: Meraih suara pada pemilu 2024 yang akan datang."
Berbagai respons negatif terhadap pengangkatan Kaesang sebagai ketua umum sangat beralasan, mengingat PSI dulu lantang bersuara menolak politik dinasti dan mengaku hadir untuk menanggalkan kepentingan politik lama dan citra buruk partai politik terdahulu. Setelah sembilan tahun berdiri, seberapa jauh PSI berubah? Masihkah partai rintisan itu berjalan sejalan dengan slogannya "hadir kerja untuk rakyat"?
PSI: Partai muda rasa tua
Dalam laman website resminya, PSI menulis bahwa mereka adalah "kekuatan politik baru yang ingin mengembalikan politik ke tempat yang terhormat". Mereka bertekad mengakhiri "sengkarut politik" dan melahirkan negarawan yang berpikir dan bertindak untuk kepentingan bangsa. Misi pertama mereka: Menggalang kekuatan nasional melalui sebuah kepemimpinan politik yang ideologis, terorganisir, dan terstruktur.
Di mata pengamat politik Ray Rangkuti, apa yang dipertontonkan PSI kemarin justru bertolak belakang dengan semua gembar-gembor tadi dan patut dikomentari. "Bagaimana tidak, orang yang baru sehari ditetapkan sebagai anggota, tetiba sudah ditetapkan jadi ketua umum," ujarnya.
Padahal, menurutnya, mekanisme pemilihan ketua umum harusnya melibatkan semua anggota dan tidak asal-asalan. Maka dari itu, Ray menyebut PSI dijalankan seperti perusahaan keluarga yang memilih ketua umum bukan karena sederet alasan ideal, melainkan semata-mata demi meraup suara. Dan demi kepentingan itu, kualitas-kualitas personal diabaikan lalu ditukar dengan "kualitas bapakisme".
"Kaesang adalah anak Presiden, dan PSI hendak meraup suara pemilih yang memilih berdasar popularitas Pak Jokowi," ujar Ray.
Hal tersebut menjadikan PSI tak ubahnya partai-partai lama yang bersandar kepada popularitas ketimbang ideologi. Padahal, sejak awal berdiri mereka mencitrakan diri sebagai partai baru dan anak muda sebagai antitesa partai-partai lama yang berisi ide-ide usang dan orang-orang tua.
"Hasil yang baru tidak mungkin dicapai melalui cara lama. PSI hadir bersama semua yang baru: ide baru, gagasan baru, cara baru, orang baru dan mesin yang baru," tulis PSI dalam website-nya. Namun, ibarat menelan ludah sendiri, kini PSI melanjutkan cara-cara lama dalam kegiatan politik mereka seperti meminjam nama-nama besar untuk mendulang suara pemilih.
"PSI menukar hal-hal ideal dalam berpolitik untuk semata mengejar suara. Satu perilaku yang mencerminkan standar etika politik PSI yang biasa-biasa saja," ujar Ray.
Salah satu pembeda antara PSI dengan parpol lain adalah kepemimpinan mereka yang cepat berganti. Di tengah banyaknya ketua umum partai lain yang lama berkuasa dan seakan tak tergantikan, mengapa regenerasi PSI yang sudah dua kali berganti ketua umum dianggap bermasalah oleh banyak orang?
"Saya kurang tau persis, seperti apa mekanisme internal partai dalam hal menunjuk seseorang untuk dapat menjadi ketua umum. Bila merujuk ke suasana ini, maka sangat patut kita geli melihatnya," ungkap Ray. "Cara ini mengabaikan banyak aspek dalam memilih ketua umum yang mestinya hadir dalam organisasi apa pun."
Politik dinasti dan hilangnya kesakralan partai politik
Kader PSI Raja Juli Antoni dulu pernah menyampaikan bahwa politik dinasti telah membunuh demokrasi.
"Saya kira salah satu gerakan yang harus didorong sekuat mungkin oleh LSM dan parpol mulai melihat manusia sebagai manusia. Jadi manusia bukan dilihat dari hubungan biologis atau genetisnya," ujarnya seperti bisa dibaca dalam artikel yang terbit di website PSI pada Kamis (25/6/2015). "Jangan biarkan politik dinasti membunuh demokrasi!"
Ia menambahkan bahwa politik dinasti digunakan untuk memproteksi kepentingan keluarga, bisnis keluarga, dan kepentingan kekuasaan.
"Menurut saya buruk sekali. Jadi tidak ada alasan bagi kita tidak memerangi politik dinasti," pungkasnya. Delapan tahun kemudian, ia berdiri sebagai Sekretaris Jenderal PSI di samping Kaesang yang baru ditunjuk sebagai Ketua Umum PSI.
Langkah Kaesang dinilai sebagai politik dinasti oleh pengamat politik Feri Amsari. Sebagaimana putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming yang sudah lebih dulu bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan terpilih menjadi Wali Kota Solo.
"Jokowi betul-betul hendak menjadikan keluarganya sebagai rezim baru kekuasaan. Suatu hal yang terkesan dipaksakan," ujar Feri kepada ERA, Selasa (26/9/2023).
Kaesang sendiri berkali-kali menyebut nama ayahnya dalam pidatonya kemarin. Ia naik ke atas panggung mengenakan kemeja bermotif kotak-kotak seperti yang jadi ciri khas Jokowi sewaktu berkampanye di Pilkada DKI Jakarta.
"Saya ingin mengikuti jejak beliau, berpolitik untuk kebaikan," ungkap Kaesang. Ia juga berterima kasih kepada ayahnya atas jalan yang dipilih Kaesang sebagai politikus; membicarakan kelakuan sehari-hari ayahnya di rumah; hingga memuji ayahnya sebagai presiden yang tidak pernah lelah menjalankan amanah.
"Semoga ke depan kita bisa berkolaborasi," tambah Kaesang disambung teriakan "Jokowi! Jokowi!" dari para peserta.
Selain kritik soal dinasti politik, banyak pihak juga menilai PSI bukannya melakukan kaderisasi dan regenerasi dengan menunjuk Kaesang sebagai ketua umum, tetapi sebaliknya.
"Ini menunjukkan partai kita tidak memiliki demokrasi internal yang patut kecuali mengandalkan dominasi keluarga-keluarga orang kuat," ujar Feri.
Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PSI, pemilihan dan pengesahan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) termasuk ketua umum dilakukan dalam Kongres Nasional yang diadakan setiap lima tahun sekali. Sementara PSI baru sembilan tahun berdiri dan sudah melakukan pergantian ketua umum sebanyak tiga kali.
PSI pertama-tama dipimpin oleh Grace Natalie. Lalu pada 2020, ia yang harus merampungkan pendidikan di Singapura menunjuk Giring Ganesha sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PSI. Tiga tahun kemudian, tiba-tiba posisi ketua umum dioper ke Kaesang yang baru bergabung dan disahkan dalam forum Kopdarnas.
Grace menyebut penunjukan Kaesang menjadi ketua umum baru merupakan tindak lanjut dari aspirasi kader PSI di daerah. Ia pun mengaku sebelum memulai Kopdarnas, seluruh ketua dari 38 provinsi berkumpul dan sepakat menyerahkan tongkat estafet kepada Kaesang.
Berdasarkan keterangan tersebut, pengangkatan Ketua Umum PSI terbaru melangkahi prosedur formal organisasi yang menyerahkan regenerasi kepengurusan lewat forum Kongres Nasional yang berwenang menilai laporan pertanggungjawaban pengurus sebelumnya hingga mengesahkan struktur kepengurusan yang baru.
"Bahkan untuk organisasi yang paling sederhana sekalipun, ada tata cara, waktu, sarat dan pelibatan anggota di dalam pemilihan ketua umumnya," ujar pengamat politik Ray Rangkuti. "Ini, seperti orang Mandailing menyebutnya: Belum masak tandan pisang, dia sudah jadi ketua umum."