Juvenile Justice, Bullying, dan Masa Depan Pendidikan Kita
"Memang benar remaja dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungannya. Namun, pada akhirnya, mereka sendiri yang memilih melakukan kejahatan dari berbagai pilihan yang ada."
ERA.id - Saya teringat kalimat yang diucapkan Hakim Sim Eunseok dalam drama Juvenile Justice tadi setelah membaca banyak kasus perundungan di sekolah.
Hakim Sim diceritakan bekerja di pengadilan anak dan menanggung trauma setelah anaknya mati akibat kenakalan remaja. Dua pembunuh anaknya divonis ringan karena masih di bawah umur; proses peradilannya berjalan dalam hitungan menit; dan setelah itu tak ada yang berubah.
Drama Korea Juvenile Justice menyajikan tontonan bagaimana upaya keadilan ditegakkan bagi korban dan pelaku kejahatan remaja. Salah satu yang jadi sorotan adalah kasus perundungan yang disebut-sebut marak terjadi di negeri ginseng itu.
Dalam penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, laporan kasus perundungan pelajar di Korea Selatan sebetulnya tergolong rendah. Dalam sebulan, kurang dari 15% pelajar yang tercatat mengalami perundungan di sana. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Berdasarkan data PISA, lebih dari 40% pelajar Indonesia jadi korban perundungan setidaknya beberapa kali dalam sebulan. Belakangan, waktu membaca berita siswi SD di Gresik dicolok matanya hingga buta oleh kakak kelas gara-gara menolak dipalak, saya kira kasus perundungan di negeri ini masih mengkhawatirkan.
Terbaru, beredar rekaman seorang siswa SMP di Cilacap tertunduk-tunduk saat dihajar siswa sepantarannya. Perutnya disikat dengan lutut berkali-kali hingga tersungkur. Kepalanya ditendang dan diinjak seperti bola hingga terkapar tak berdaya. Lalu pelaku penganiayaan melakukan selebrasi seperti habis mencetak gol. Sementara siswa-siswa lain yang masih berseragam hanya duduk-duduk menonton di pagar.
Maraknya kasus perundungan yang terjadi seharusnya menjadi alarm tanda bahaya sekaligus indikasi bahwa pendidikan kita tidak sedang baik-baik saja. Bolak-balik pendidikan karakter ditekankan dalam berbagai kurikulum, bolak-balik juga masalah perundungan tak terselesaikan. Malah, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), angkanya meningkat kisaran 30-60 kasus per tahun. Siapa yang patut disalahkan?
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya
Suatu malam, dalam perjalanan pulang kerja naik kereta, saya menyaksikan seorang ibu muda duduk di pojokan sibuk bermain HP. Anaknya selonjoran di lantai, sesekali berlarian ke sana kemari, ia tak dapat tempat duduk. Sepanjang perjalanan, ibu muda itu melakukan panggilan video dengan temannya, cekikikan, dan baru memperhatikan anaknya menjelang sampai stasiun terakhir.
Saya punya seorang anak balita, terkadang saya berpikir apakah sudah meluangkan cukup waktu untuk menemaninya bermain dan belajar kehidupan. Melihat ibu muda tadi, saya pun merasa lebih banyak menatap layar HP di rumah ketimbang asyik dengan anak sendiri. Seketika saya merasa bersalah. Sering saya dengar ungkapan "orang tua adalah cermin bagi anak", tetapi apakah saya sudah menjadi cermin yang jernih?
Dalam buku Seri Pendidikan Orang Tua (2017) terbitan Kementerian Pendidikan yang saya baca, anak bisa menjadi pelaku perundungan karena meniru perilaku buruk orang dewasa; mencari perhatian; merasa jenuh dan kesepian; hingga merasa cemburu dengan yang dimiliki anak lain. Semua alasan itu berawal dari rumah. Orang tua tak bisa serta merta lepas tangan dengan apa yang terjadi di luar rumah, karena pendidikan tak hanya berlangsung di bangku sekolah.
Kalau sampai orang tua di rumah tak tahu-menahu anaknya menjadi pelaku atau korban perundungan di sekolah, berarti ada yang salah dalam komunikasi orang tua dengan anak dan wali murid dengan guru.
Lagi-lagi saya ingin mengutip kata-kata Hakim Sim dalam Juvenile Justice. "Mereka bilang butuh seluruh desa untuk membesarkan seorang anak. Dengan kata lain, kehidupan seorang anak bisa hancur jika seluruh desa mengabaikan anak tadi."
Penegakan hukum dan pencegahan
Anak-anak Indonesia berada dalam naungan Undang-Undang Perlindungan Anak. Maka dari itu, perlakuan hukum mereka juga berbeda dengan orang dewasa dan diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Adapun anak yang melakukan tindak pidana disebut dengan "anak yang berkonflik dengan hukum". Mereka adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun. Seperti dalam kasus penganiayaan David Ozora yang melibatkan anak di bawah umur berinisial A.
Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa banyak anak pelaku perundungan bebas dari hukuman pidana? Hal itu disebabkan dalam UU Pidana Anak ada cara penyelesaian perkara anak yang disebut "diversi" atau pengalihan proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi harus dilakukan jika tindak pidana baru pertama kali dilakukan dan ancaman pidana penjaranya di bawah tujuh tahun.
Baru ketika tidak ada kesepakatan antara pihak korban dan pelaku, peradilan pidana anak dilanjutkan. Dan perlu diketahui, hukuman pidana penjara anak dapat dijatuhkan paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
Jadi, apakah anak pelaku perundungan bisa dipidanakan? Bisa. Apakah bisa dipenjarakan? Bisa. Sebab dalam UU Perlindungan Anak, pelaku kekerasan terhadap anak terancam pidana penjara paling lama 3,5 tahun.
Maka dari itu, sepatutnya anak-anak sekolah diperkenalkan sejak dini bahwa berapa pun usia mereka, tetap tak terlepas dari jerat hukum. Mereka harus didoktrin bahwa setiap kejahatan akan dihukum dan pelaku kejahatan akan mendapat konsekuensinya. Sama seperti anak-anak diajarkan untuk melindungi diri, mereka juga harus diajarkan untuk tidak menjadi penjahat. Jangan biarkan anak-anak kita meremehkan perundungan dan menyepelekan hukum.
Selain itu, pemerintah secara khusus telah menerbitkan peraturan untuk mencegah dan menangani kekerasan di sekolah yang tercantum dalam Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023. Dalam aturan tersebut, sekolah wajib melakukan sepuluh hal untuk mencegah kekerasan terjadi, di antaranya membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) dan menyediakan dana untuk kegiatan pencegahan.
Apakah sekolah-sekolah di Indonesia sudah serius menjalankan mandat melindungi peserta didiknya? Kalau melihat beberapa kasus perundungan belakangan ini, saya agak ragu.
Misalnya, kasus siswi SDN 236 Gresik yang dicolok matanya dengan tusuk bakso hingga buta sebelah, sampai saat ini belum menemukan titik terang. Peristiwanya terjadi di sekolah, dan penyelidikan polisi terhambat karena tidak ada rekaman CCTV. Sekolah tadi punya CCTV, tapi diketahui terakhir aktif pada 1 Juni 2023, lebih dari sebulan sebelum kejadian penusukan.
Kalau perangkat keamanan standar seperti kamera pengawas saja tidak digarap dengan serius oleh sekolah-sekolah dan hanya dijadikan pajangan, bagaimana kita mau merasa aman melepas anak kita pergi sekolah?