Bangga Jadi Bangsa Indonesia, tapi Bukan Berarti Harus Overproud!
ERA.id - “Seratus tiga puluh lima juta penduduk Indonesia…” nyanyi Bang Rhoma pada 1976. Sejak lagu itu rilis hingga hari ini, bangsa kita sudah beranak-pinak banyak-banyak. Bang Rhoma saja punya tujuh anak. Kalau lagu itu dinyanyikan sekarang, maka perlu beberapa revisi ulang. 135 juta kini hanya mendekati jumlah pengguna Youtube di Indonesia dan masih jauh dari total penduduknya.
Indonesia mungkin masih dihitung negara berkembang, tapi kita bisa bersaing dengan negara-negara maju kalau bicara populasi penduduk. Saingan kita paling-paling cuma tiga: India, China, dan Amerika. Selebihnya bertekuk lutut.
Bukan hanya banyak di atas peta, pasukan Indonesia juga berlimpah di internet. Pengguna internet di sini terbanyak keempat sedunia. Jumlah pengguna Youtube juga berada di urutan keempat–hanya kalah dari India, Amerika, dan Brasil. The power of Indonesian netizen bukan isapan jempol belaka. Orang luar sadar hal itu dan mereka tampak memanfaatkannya dengan optimal.
Hanya berbekal konten berisi keyword Indonesia, orang-orang bule berhasil mengonversi nasionalisme warga lokal menjadi ladang viewers dan adsense. Di Youtube, kita bisa menemukan banyak konten reaction terhadap video orang-orang Indonesia. Formula begini bukan hanya dilakukan pemain-pemain kecil, tapi juga yang sudah ternama, misalnya gitaris Rusia Igor Presnyakov.
Igor ini salah satu nama besar dalam dunia fingerstyle di Youtube selain Sungha Jung. Pengikutnya hampir tiga juta. Dulu, videonya selalu jadi rujukan pencinta gitar. Aransemen gitarnya terhadap lagu-lagu long-lasting seperti Nothing Else Metter atau Sweet Child O' Mine ditonton jutaan orang. Hingga lima tahun lalu, seorang gitaris fenomenal asli Indonesia turun gunung, namanya Alip_Ba_Ta.
Tak butuh waktu lama Alip jadi perbincangan. Video-videonya minimal diputar ratusan ribu penonton. Igor pun sampai sering mampir ke kolom komentarnya, memuji-muji permainan cemerlang Alip. Dan terhitung sejak kemunculannya, Igor mulai sering memainkan lagu-lagu Indonesia. Bukan hanya itu, beberapa kali juga ia mendaur ulang permainan gitar Alip.
Coba tebak video apa yang paling banyak ditonton di channel Igor sekarang? Tak lain aransemennya terhadap lagu dari band Indonesia Armada, Asal Kau Bahagia. Video-videonya yang menyertakan nama Alip juga selalu menjangkau jutaan penonton. Hingga sekarang pun Igor masih sering tampil mengenakan baju batik.
Itu hanya satu contoh dari sumbangsih besar netizen Indonesia. Di luar Youtube, nama Indonesia juga masih seksi dipinjam untuk mendulang traffic. Contohnya di Twitter, akun The Spectator Index yang isinya meliputi berita-berita internasional, belakangan mulai sering memakai keyword Indonesia. Hampir setiap hari selalu ada unggahannya yang menyebut nama Indonesia.
Satu contoh lagi, pembalap MotoGP Aleix Espargaro, berhasil menggaet 1 juta pengikut di Instagram setelah menantang netizen Indonesia untuk mengikutinya. “Hai penggemar Indonesia, jika saya mencapai 1 juta pengikut sebelum hari Minggu, setelah balapan saya akan melemparkan helm balap saya ke tribun!” tulisnya. Hanya butuh dua hari, pengikutnya sudah tembus sejuta.
Overproud!
Sejujurnya, meskipun Indonesia salah satu negara besar, namanya masih sayup-sayup terdengar di telinga orang luar. Pandji Pragiwaksono yang sekarang menjajal karier stand up comedy di New York juga mengakuinya. Banyak orang di sana baru pertama kali mendengar Indonesia dari Pandji–kalah dengan popularitas negara Asia Tenggara lain seperti Thailand, Singapura, atau Filipina.
Di satu sisi, maraknya konten-konten seputar Indonesia yang jadi trending tentu meningkatkan awareness kita di mata dunia, tetapi di lain sisi juga ironis. Bagaimana tidak menyedihkan kalau nama Indonesia naik bukan karena prestasinya, melainkan konten-konten receh seperti trending "Om Telolet Om" atau berita-berita menggelikan seperti Lina Mukherjee dipenjara gara-gara baca basmalah sebelum makan babi.
Pertanyaannya, Indonesia ini sedang dihargai orang luar atau ditertawakan? Kok rasanya tidak jauh berbeda dengan kita menertawakan konten-konten khas Vrindavan di India. Padahal India juga terkenal dengan industri perfilmannya yang mapan dan menelurkan banyak ilmuwan hingga pemimpin-pemimpin teknologi dunia. Sementara Indonesia?
Setelah dijajah Belanda dulu, bangsa ini sempat mengidap gejala inferiority complex, minder, tidak percaya diri. Bertahun-tahun kita dicekoki hegemoni kulit putih atas warga lokal dan membuat kita merasa kurang dari segala sisi. Yang dari luar selalu tampak lebih baik.
Di zaman media sosial seperti sekarang, di mana siapa pun bisa eksis dan unjuk diri, situasi jadi berbalik. Bangsa ini menemukan kembali kepercayaan dirinya, sebab kita menang di jumlah. Sementara dunia maya ini segalanya tentang angka. Agaknya rasa percaya diri kita jadi kebablasan.
Kita berbangga diri dengan content creator bule yang banyak memproduksi konten seputar Indonesia, padahal mereka hanya sejenak meminjam nama Indonesia agar kunjungan ke channel mereka terus naik.
Kita terjebak dalam kebanggaan semu dan jadi gagap dengan apa pun yang mengatasnamakan "karya anak bangsa". Misalnya, belum lama ini sempat ramai isu soal bahan bakar air pengganti minyak yang dibikin oleh bapak-bapak Cilacap bernama Aryanto Mishel. Alat buatannya yang konon mampu mengubah air jadi bahan bakar diberi nama Nikuba. Klaimnya seliter air sanggup menempuh jarak 450 km.
Nikuba ini sebetulnya isu lama yang tahun lalu pernah viral. Dulu viralnya karena Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meragukan kinerja alat itu. Sementara Aryanto yang mengaku sebagai penemunya juga ogah-ogahan diajak membuktikan secara ilmiah.
Karya anak bangsa itu kembali ramai usai Aryanto diberitakan diundang Ducati dan Ferrari ke Italia untuk kerja sama. Ramai-ramai media nasional meliputnya dengan giat dan berbusa-busa. “Dibantai di RI Tapi Dilirik Ferrari”, “Mengenal Kecanggihan Nikuba yang Ditolak di Indonesia”, dan berbagai judul bombastis lain menghiasi internet.
Padahal, hingga hari ini, klaim-klaim Aryanto tak pernah dibuktikan. Media dan netizen hanya mengelu-elukannya berdasarkan pengakuan sepihak dan keburu senang dengan embel-embel karya anak bangsa yang dilirik luar negeri.
Waktu kemarin Presiden Jokowi bilang “kita tidak sadar sudah dijajah secara ekonomi”, bagi saya bukan hanya itu. Kita juga sudah dijajah secara pola pikir, lihat saja betapa rasa nasionalisme kita dipakai jadi ladang adsense dan traffic content creator luar, dan kita merasa senang-senang saja sambil menulis komentar: Hidup Indonesia!