Privilege Anak Presiden dan Ancaman Demokrasi Kita
ERA.id - “Ketika pada suatu pagi terbangun dari mimpi buruk, Gregor Samsa mendapati dirinya berubah menjadi seekor serangga raksasa yang menjijikan di ranjangnya.”
Begitu Kafka membuka novel legendarisnya, Metamorfosis. Kejadian yang nyaris serupa saya kira dialami Gibran. Bedanya, kalau Gregor berubah jadi kecoak dalam semalam, maka Gibran berubah jadi calon wakil presiden.
Pengumuman Gibran sebagai cawapres Prabowo akhirnya memang sebuah keniscayaan. Usai Mahkamah Konstitusi mengetok palu mengabulkan gugatan mahasiswa antah berantah terkait batas usia capres-cawapres.
Seandainya kita bisa mundur sembilan tahun, lalu memberitahu pendukung die hard Jokowi dan Prabowo kalau pada 2023 nanti Prabowo bakal menggandeng anak Jokowi, niscaya kita bakal dibilang orang gila. Skenario itu terlalu liar untuk dibayangkan otak Denny Siregar hingga Goenawan Mohamad.
Nyatanya, ungkapan lawas mantan PM Inggris, Lord Palmerston bahwa “kita tidak punya kawan dan lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan” masih terus relevan ratusan tahun lamanya. Seperti curhatan Puan Maharani yang habis ditinggal Jokowi, “Teman jadi lawan, dan lawan tambah banyak.”
Saya–tumben–setuju kata Puan, kalau tahun 2023 ini seperti frasa Italia yang pernah dikutip Sukarno, vivere pericoloso atau ‘hidup menyerempet bahaya’. Menyaksikan berbagai drama politik dengan Jokowi sebagai mata badainya, rasanya reformasi diseret ke masa Orde Baru lagi.
Dimulai dari pengangkatan Kaesang sebagai Ketua Umum PSI, lalu gugatan batas usia 40 tahun bagi capres-cawapres ke MK, hingga deklarasi Gibran sebagai cawapres, sulit untuk membayangkan tak ada “cawe-cawe” politik dari Jokowi.
Seiring majunya Gibran ke pilpres tahun depan, isu politik dinasti kian berembus kencang menerpa pemerintahan Jokowi. Jokowi sendiri menampik dirinya ikut terlibat. Selain itu, narasi lain mulai berdengung untuk mengaburkan isu kejanggalan pemilihan Gibran sebagai cawapres.
Alih-alih mempertanyakan putusan MK yang sarat kepentingan politik, para pendengung justru menaikkan isu kemenangan anak muda di belakangnya. Berbagai dalil disiapkan untuk memaklumi dagelan politik yang terjadi. Beberapa di antaranya akan saya paparkan habis ini, sekaligus bagaimana cara kita yang masih waras memutar balik dalil-dalil mereka.
Kemenangan anak muda atau kemenangan anak presiden?
Sebelumnya, MK menerima beberapa permohonan uji materi soal batas usia capres-cawapres dalam Undang-Undang Pemilu yang menyebutkan usia minimal 40 tahun. Total ada tujuh permohonan yang masuk. Dan sebagian pemohon punya kaitan dengan Jokowi seperti PSI.
Secara umum, mereka meminta batas usia minimal capres-cawapres diturunkan di bawah 40 tahun, atau menambahkan pengecualian bagi mereka yang punya pengalaman sebagai kepala daerah. MK mengabulkan permintaan yang terakhir. Gibran yang baru berusia 38 tahun otomatis bisa mencalonkan diri karena pengalamannya sebagai Wali Kota Solo.
Bahkan sebelum pembacaan putusan MK, sudah banyak yang menggiring opini bahwa seandainya MK mengabulkan permohonan uji materi, itu bakal menguntungkan bagi masyarakat–khususnya generasi muda. Karena dengan demikian, kesempatan mereka untuk maju dalam pilpres kian terbuka. Biasanya, narasi ini juga diimbangi dengan role model pemimpin muda dunia seperti Jacinda Ardern.
Yang bermasalah dari narasi kemenangan anak muda ini adalah kesimpulan yang ditarik tanpa menghiraukan proses hukum yang janggal. Seolah-olah gugatan batas usia capres-cawapres muncul secara organik atau jatuh dari langit. Padahal, banyak pertanda menunjukkan sebaliknya, bahwa semua itu hanya upaya memuluskan jalan Gibran yang masih belum cukup umur berdasarkan UU Pemilu.
Pertama, fakta bahwa Ketua MK Anwar Usman adalah adik ipar Jokowi. Sedangkan dalam Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa hakim konstitusi dilarang ikut memeriksa perkara apabila ia dan keluarganya punya kepentingan atas putusan itu.
Wakil Ketua MK Saldi Isra–salah satu hakim yang menolak gugatan–menyebut putusan MK berubah setelah Anwar Usman ikut rapat. Padahal sebelumnya mayoritas menolak.
Kedua, menurut pengakuan Saldi Isra juga, MK terkesan terburu-buru dan seperti berpacu dengan waktu saat menangani perkara tersebut. Akhirnya, putusan MK dibacakan tanggal 16 Oktober, tepat tiga hari sebelum masa pendaftaran capres-cawapres dibuka.
Ketiga, pemohon yang dikabulkan gugatannya oleh MK, Almas Tsaqibbiru, tak punya alasan legal untuk menguji pasal tersebut selain karena mengidolakan Gibran–alasan yang absurd. Gugatan tadi juga sempat dicabut oleh kuasa hukum Almas, lalu selang sehari, pemohon membatalkan pencabutan itu. Padahal, dalam peraturan MK disebutkan bahwa permohonan yang sudah ditarik tidak bisa diajukan kembali.
Setelah membaca semua itu, entah kita terlalu polos atau terlalu–meminjam bahasa Rocky Gerung–dungu kalau masih merasa putusan MK wajar-wajar saja tanpa tendensi politik apa pun.
Tidak hanya Gibran yang punya kesempatan, tapi hanya Gibran yang bisa
Ini argumen lanjutan yang dipakai para pendengung setelah mengarahkan orang agar percaya putusan MK adalah kemenangan anak muda, yaitu: Kesempatan bukan hanya milik Gibran.
Memang sekarang capres-cawapres tak terbatas usia 40 tahun, selama punya pengalaman sebagai kepala daerah. Dan dengan logika tadi, benar bahwa bukan hanya Gibran yang bisa maju.
Hingga hari ini, menurut data Kementerian Dalam Negeri, dari 485 kepala daerah yang masih menjabat, kurang lebih ada 42 orang yang berusia di bawah 40 tahun, termasuk Gibran. Berarti ia sebetulnya punya 41 pesaing lain untuk mengisi posisi cawapres, termasuk adik iparnya sendiri, Bobby Nasution.
Namun, pertanyaan saya, dari sekian puluh kepala daerah muda tadi, berapa banyak yang kalian tahu namanya? Saya pun kalau tidak mengecek data Kemendagri hanya mengenal Gibran, Bobby, dan Emil Dardak.
Meski secara aturan semua kepala daerah berkesempatan maju, tapi untuk 2024 nanti hanya Gibran yang diuntungkan sejak namanya menjadi kandidat kuat pendamping Prabowo.
Selain itu, kita juga masih punya presidential threshold yang membatasi pilihan capres-cawapres. Partai politik atau gabungan parpol harus punya 20% suara sah nasional dalam pemilu legislatif untuk mengajukan capres-cawapres. Dengan aturan tadi, tidak semua nama punya kesempatan yang setara.
Selama punya kapasitas, kenapa tidak?
Selanjutnya, kritik atas politik dinasti sering diserang balik dengan dalil kapabilitas. Selama punya kemampuan, kenapa tidak? Kalau Gibran terbukti punya kapabilitas dan berkualitas, tidak salah juga dong mencalonkannya?
Sekarang begini, pertanyaan saya, menurut kalian Gibran dipilih jadi cawapres Prabowo karena pengalamannya memimpin Solo atau karena ia anak Jokowi? Sebelum itu, Gibran bisa terpilih sebagai Wali Kota Solo karena reputasi politiknya atau karena–lagi-lagi–ia anak Jokowi? Coba jawab dengan jujur.
Kalau ada yang ngotot menjawab karena pengalamannya sebagai kepala daerah, apa sih yang bisa disimpulkan dari dua tahun menjabat? Gibran harusnya masih akan menjabat hingga 2026 nanti. Ia pun baru pertama kali jadi kepala daerah. Belum pernah juga masuk ke legislatif.
Bandingkan ketika pertama kali Jokowi maju nyapres, ia sudah punya sembilan tahun pengalaman sebagai kepala daerah–dua kali di Solo dan sekali di Jakarta. Sementara Gibran baru teruji sebagai pengusaha.
Dari sekian program pembangunan prioritas di Solo selama Gibran menjabat, banyak di antaranya merupakan program kementerian alih-alih pemerintah daerah. Misalnya pembangunan elevated rail, Pura Mangkunegaran, Taman Balekambang, Pasar Jongke Solo, dan revitalisasi Koridor Gatsu dan Ngarsopuro yang merupakan proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Maka bagi saya, dalil kapabilitas hanya riasan yang digunakan untuk menutupi alasan utama pemilihan Gibran, yaitu menarik suara simpatisan Jokowi. Sama halnya dengan PSI yang tiba-tiba mengangkat Kaesang sebagai ketua umum. Dan ini jelas bukan preseden yang baik untuk demokrasi kita.
Jangan sampai hari ini demokrasi kita menjadi seperti yang ditakutkan Bung Hatta terjadi, ketika sistem politik melahirkan para pemimpin yang mengidap waham nabi suci dan ingin berkuasa selamanya.