Salah Kaprah Dunia Medis Indonesia Tangani Gigitan Ular

Yogyakarta, era.id - Tanpa kita sadari, sebagian besar rumah sakit dan puskesmas yang ada di negeri ini ternyata salah total menangani korban gigitan ular. Apa yang sudah dilakukan rumah sakit di tanah air ternyata jauh dari standar WHO.

Kesimpulan ini disampaikan pakar toksinologi Tri Maharani. Toksikologi sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang efek merugikan berbagai bahan kimia dan fisik pada semua sistem kehidupan. Toksikologi didefinisikan sebagai efek merugikan pada manusia akibat paparan bermacam obat dan unsur kimia lain serta penjelasan keamanan atau bahaya yang berkaitan dengan penggunaan obat dan bahan kimia tersebut. 

"Sebagian besar masih menggunakan metode tradisional dalam memberikan pertolongan pertama pasien tergigit ular berbisa," kata Tri di sela acara "The 5th International Symposium on ASEAN Marine Animals and Snake Environment Envenoming Management (AMSEM) 2018" di Yogyakarta, seperti dikutip kami kutip dari Antara, Selasa (23/10).

Tri Maharani yang juga Presiden Toxinologi Society of Indonesia ini bilang, cara tradisional masih lebih banyak digunakan untuk menangani korban gigitan ular. Mulai dari mengikat di atas bagian tubuh yang terkena gigitan, menyedot darah, hingga menyayat bagian yang terkena gigitan.

Asal kamu tahu, ternyata penanganan gigitan ular berbisa semacam itu, salah besar. Malah menurut dokter spesialis biomedik ini, metode itu memberikan risiko lebih besar bagi pasien.

"Tanpa standar yang jelas, penanganan semacam itu lebih lama membuat pasien sembuh, bahkan bisa mengakibatkan kecacatan, hingga meninggal," lanjut Tri.

Tri bahkan berani menyebut rumah sakit maupun puskesmas yang sudah menerapkan standar WHO dalam penanganan kasus ini, masih kurang dari 40 persen. 

"Seperti di Yogyakarta saja masih banyak rumah sakit yang masih menggunakan cara tradisonal, paling hanya beberapa saja yang telah menerapkan standar WHO seperti RSUP Sardjito, Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, serta RS Bethesda. Padahal seharusnya kan semuanya bisa menerapkan mulai dari puskesmas," jelas Tri.

Tri kemudian memaparkan data dari Remote Envenomation Consultant Service (RECS) tahun 2017. Kata dia, jumlah pasien meninggal dunia akibat penanganan yang tidak tepat mencapai 35 orang atau 4,8 persen dari sebanyak 728 kasus pasien terkena gigitan ular berbisa. Kasus akibat akibat gigitan ular mencapai 135.000 kasus per tahun di atas kanker yang mencapai 133.000 per tahun.

Makanya dia berharap seluruh fasilitas kesehatan mulai dari puskemas hingga rumah sakit berbagai tipe, dapat menerapkan strandar WHO dalam menangani pasien tergigit ular.

Pertolongan pertama sesuai standar WHO yakni dengan membersihkan bagian yang terkena gigitan, membalut kencang bagian yang terkena gigitan, serta diberikan serum anti bisa ular. Selain penangannya di atas, perlu ada pendataan kasus gigitan ular berbisa secara sistematis seperti pada penyakit berbahaya lainnya seperti TBC.

"Kasus gigitan ular ini sebenarnya merupakan salah satu dari 10 penyakit terbanyak di Indonesia namun selama ini cenderung diabaikan," kata Tri yang juga Koordinator RECS Indonesia ini.

Kegiatan "The 5th International Symposium on ASEAN Marine Animals and Snake Environment Envenoming Management (AMSEM) 2018" yang berlangsung di Yogyakarta 23 hingga 26 Oktober diikuti puluhan tenaga medis dan ahli toksinologi dari negara-negara anggota ASEAN untuk bertukar pengalaman mengenai penanganan gigitan ular dan hewan laut berbisa lainnya.

 

Tag: