Australia Bebaskan Pelaku Pembunuhan yang Dijatuhi Hukuman Mati di Malaysia, Kenapa?

ERA.id - Seorang polisi Malaysia yang dijatuhi hukuman mati akibat kasus pembunuhan wanita Mongolia telah dibebaskan oleh pemerintah Australia. Pembebasan itu dilakukan setelah ia ditahan selama sembilan tahun.

Sirul Azhar Umar bersama petugas polisi lainnya, Azilah Hadri, dijatuhi hukuman mati setelah dinyatakan bersalah di Malaysia atas pembunuhan Altantuya Shaariibuu, seorang penerjemah sekaligus rekan mantan PM Malaysia, Najib Razak.

Sirul ditangkap atas pemberitahuan Interpol dan ditahan di pusat penahanan imigrasi Australia sejak Januari 2015, setelah meninggalkan Malaysia sesaat sebelum putusan dijatuhkan.

Pembebasannya terjadi hanya beberapa hari setelah keputusan penting Pengadilan Tinggi Australia yang melarang penahanan imigrasi tanpa batas waktu, yang berujung pada pembebasan puluhan pencari suaka.

Menurut laporan Reuters, Sirul saat ini tinggal bersama putranya di Canberra. Namun otoritas Australia menolak mengomentari masalah tersebut.

Pejabat tinggi kepolisian Malaysia Razarudin Husain membenarkan kabar pembebasan Sirul dari tahanan Australia dan mengatakan polisi akan berdiskusi dengan Jaksa Agung dan pengadilan mengenai kemungkinan ekstradisi.

Malaysia pada bulan April meloloskan reformasi hukum untuk menghapuskan hukuman mati wajib, sehingga memungkinkan orang yang menghadapi hukuman tersebut untuk meminta peninjauan kembali hukumannya.

Berdasarkan hukum Australia, seseorang tidak dapat dideportasi jika menghadapi hukuman mati. Azilah, salah satu terdakwa Sirul, masih menjalani hukuman mati di Malaysia.

Pembunuhan Altantuya telah menjadi pusat skandal politik selama bertahun-tahun. Menurut catatan pengadilan, dia dibunuh di hutan di pinggiran ibu kota Malaysia pada tahun 2006. Namun pertanyaan tentang siapa yang memerintahkan pembunuhan tersebut tidak pernah terjawab.

Sirul bertugas sebagai anggota keamanan pribadi Najib pada saat pembunuhan terjadi. Kelompok masyarakat sipil menuduh pembunuhannya terkait dengan perannya sebagai penerjemah dalam pembelian dua kapal selam Prancis oleh Malaysia pada tahun 2002.

Najib, yang saat itu menjabat menteri pertahanan dan kemudian menjadi perdana menteri, telah berulang kali membantah tuduhan adanya hubungan dengan Altantuya atau korupsi dalam pembelian kapal selam tersebut.