Bakti Panjang Dokter untuk Negeri

Jakarta, era.id - Bertepatan dengan hari jadi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), hari ini, 24 Oktober didaulat menjadi Hari Dokter Nasional yang setiap tahunnya dirayakan oleh para dokter di Indonesia. Selain menjalani tugasnya sebagai 'penyembuh' orang sakit, peran dokter dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia juga cukup vital. Sejarah perjalanan dokter terbilang panjang sejak zaman londo.

IDI sendiri berdiri pada tahun 1950. Sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter yang termaktub dalam Undang-Undang (UU) Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, IDI mulai memainkan peran tak hanya sebagai penyembuh, tapi juga sebagai sebuah gerakan perjuangan dalam linimasa perjuangan Indonesia. Perjuangan itu dimulai pada tahun 1901.

Tahun itu, pemerintah Belanda banjir kritik tentang sikapnya yang tidak memperhatikan nasib rakyat Hindia Belanda (Indonesia), khususnya pada bidang kesehatan. Hal itu memaksa Ratu Belanda mengatakan "Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan otonomi dari penduduk Indonesia," ucap Ratu Wilhelmina seperti dikutip Annisa Adiyati dalam Doctor Tjipto Mangoenkoesoemo’s Roles In The Health Sector During The National Movement Era (1905-1914) (2015).

Diawali ketika wabah penyakit cacar tiba-tiba melanda daerah Onderneming milik Belanda di daerah Banyumas, Jawa Tengah pada tahun 1847. Penyakit cacar air menyebar sangat luas sampai-sampai banyak buruh perkebunan yang terjangkit, menyebabkan dokter Belanda kewalahan dan merasa tidak mungkin untuk dapat menanggulangi wabah penyakit tersebut.

Fenomena itu memaksa pemerintah Belanda memutar otak guna mencari solusinya. Kepala Dinas Kesehatan pada saat itu, Dr. W. Bosch mengusulkan agar mendidik beberapa anak bumiputra menjadi pembantu dokter Belanda. Merujuk Diwa Wulan Sari dalam Peran Dokter-dokter Bumiputera Alumnis Stovia Di Bidang Politik yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan Sejarah (2013), dari usul tersebut, melahirkan sekolah dokter Djawa sebagai jalan keluar mencetak dokter-dokter baru.

Setelah selesai dibicarakan, keluar keputusan Gubernemen pada 2 Januari 1849 Nomor 22 yang pada intinya berisi bahwa rumah sakit militer akan dididik kurang lebih 12 pemuda Jawa untuk menjadi dokter pribumi. Dan setelah pendidikan, mereka wajib masuk dinas pemerintahan sebagai mantri cacar. Program ini bukan tanpa syarat. Mereka yang dapat mengikuti pendidikan ini harus berasal dari keluarga baik-baik, pandai menulis dan membaca bahasa Melayu dan Jawa.

Dua tahun kemudian, pemerintah Belanda membentuk lagi sekolah kedokteran, yakni Sekolah Dokter Djawa di Weltevreden. Orang yang bisa daftar di sekolah ini harus berusia minimal 16 tahun, dengan masa pendidikan selama dua tahun. Pada waktu itu, orang yang mengikuti pendidikan tersebut belum tersemat gelar dokter, sampai pada keluarnya keputusan Gubernemen pada 5 Juni 1853. Namun, saat itu pekerjaan dokter masih sebatas mengurus soal cacar. 

Kurikulum yang menentukan masa pendidikan selama dua tahun itu ternyata tidak cukup memuaskan untuk dapat memberi perawatan kepada pengidap cacar air. Hal itu membuat ditambahnya masa pendidikan menjadi tiga tahun. Usul tersebut disetujui pada tahun 1864. Pada tahun itu, para lulusan bekerja pada pemerintahan Hinda-Belanda dengan status pegawai rendahan. Dan untuk sementara waktu belum memakai atribut sebagaimana adanya dokter pada zaman itu. 

Pertambahan masa pendidikan itu menimbulkan pertentangan. Pemerintah Belanda khawatir karena melihat adanya potensi dari profesi sebagai Dokter Djawa itu digunakan untuk kepentingan gerakan politik kaum pribumi. Akibat kekhawatiran itu, pemerintah Hindia-Belanda akhirnya mencabut izin praktik sebagai Dokter Djawa. Seiring berjalannya waktu, kurikulum terus dibenahi oleh para pengurus Dokter Djawa School. 

Medio 1890, pemerintah Hindia-Belanda mengembalikan izin praktek dokter Djawa. Hal tersebut terpaksa dilakukan karena ada permintaan dari para pengusaha perkebunan di Deli (Sumatera) yang membutuhkan tenaga-tenaga medis lebih baik, tetapi murah, karena para dokter Eropa sukar didapat dan gajinya mahal.

Sampai pada tahun 1902, berdiri sekolah pendidikan kedokteran, School tot Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA) yang namanya sering kita dengar dan identik dengan sekolah yang melahirkan tokoh-tokoh yang berperan penting dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebut saja Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, Gunawan Mangoenkoesoemo, Soeraji, dan Cipto Mangunkusumo. Mereka adalah tokoh perintis organisasi Budi Utomo, yang bertujuan mencerdaskan masyarakat Indonesia pada saat itu.

Pengembangan kurikulum pendidikan yang semakin tinggi tak hanya meningkatkan pengetahuan pada ilmu-ilmu kedokteran, namun juga ikut menambah pengetahuan umum para siswanya. Berkumpulnya para pemuda Jawa, menumbuhkan rasa kesatuan dalam menghadapi ketidak-adilan kehidupan masa pemerintahan Hindia-Belanda.

Dokter terjun politik

Selain menjalankan profesi sebagai dokter, para siswa STOVIA banyak yang berperan aktif dalam kegiatan sosial politik. Wahidin Soedirohoesodo, misalnya. Wahidin dikenal sebagai siswa pandai hingga pada 1872 dirinya didaulat menjadi pengajar di Dokter Djawa School. Sampai pada tahun 1901, dirinya melepas pekerjaannya sebagai pengajar dan menjadi redaktur surat kabar Retnodhoemilah.

Lewat posisinya sebagai redaktur surat kabar tersebut, Wahidin mulai melakukan propaganda dan memancing kesadaran masyarakat Jawa, bahwa pendidikan merupakan kebutuhan penting yang harus terpenuhi. Perjuangan Wahidin terus berlanjut. Ia terus mempropagandakan programnya, dengan  tujuan membuka kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan sebelum akhirnya mencapai kemerdekaan.

Sebenarnya, usaha yang dilakukan Wahidin tidak cukup berhasil. Namun, dengan pembawaannya yang tenang dan meyakinkan, Wahidin mampu menimbulkan kepercayaan pada setiap orang yang dijumpainya. Dan yang paling penting, Wahidin berhasil meyakinkan murid-murid STOVIA untuk turut dalam pergerakannya. Soetomo dan Soreadji, adalah tokoh yang akhirnya menjadi bagian dari pergerakan itu.

"Yang membuat saya terkejut dan tertarik ialah perangai dan pikiran dokter tua ini. Ia mampu memusatkan kegiatannya dan mengatasi rintangan-rintangan yang terus menerus mengalangi cita-citanya," kata Soetomo dalam Peran Dokter-Dokter BUmiputera Alumni Stovia (2013).

Kemudian, pada 20 Mei 1908, setelah mendengar gagasan yang dimiliki Wahidin, para siswa STOVIA yang dipelopori Soetomo mendirikan organisasi pertama, yakni Budi Utomo. Seruan kelompok STOVIA ini dengan cepat tersebar di seluruh Jawa. Pasca-berdirinya Budi Utomo, banyak kemudian bermunculan organisasi lain. Salah satunya, pada tanggal 25 Desember 1912, berdirilah sebuah organisasi politik pertama di Indonesia. Organisasi ini terang-terangan memiliki tujuan untuk mencapai kemerdekaan bagi Indonesia, organisasi itu kita kenal dengan Indische Partij.

Indische Partij adalah partai politik pertama di Hindia Belanda, didirikan oleh tiga serangkai, yaitu Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Melalui partai ini, Ernest Douwes Dekker mendesak pemerintah untuk mengubah garis kebijaksanaan yang ditempuh. Organisasi ini mempunyai cita-cita untuk menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia, baik golongan asli maupun golongan Indo, Cina, Arab dan sebagainya.

Selain peran penting dalam menciptakan kesehatan di Bumi Pertiwi, peran dokter dalam pergerakan politik saat itu juga sangat krusial sebagai pembangun persatuan dan kesatuan bangsa.