Fenomena Transformasi Prabowo: Pilih Pemimpin Apa Cukup Modal Gemoy?
ERA.id - “Emang boleh se-gemoy ini?”
Begitu tulis mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi sambil membagikan klip video berbagai aksi “menggemaskan” Prabowo di Twitter. Di latar video itu, kita bisa mendengar suara-suara menyorakinya:
Prabowo menanggapinya dengan santai, sesekali menyahuti, “Kamu juga gemoy!” Lalu ia berjoget, berjoget, dan berjoget.
Emang boleh se-gemoy ini? pic.twitter.com/BJuX8ul1DK
— Kang Dedi Mulyadi (@DediMulyadi71) November 4, 2023
Lima sampai sepuluh tahun lalu, saya tak membayangkan melihat mantan letnan jenderal itu menari-nari. Namun, saya maklum kalau dua kali gagal jadi presiden bisa membuat siapa saja melakukan apa pun di percobaan ketiganya.
Prabowo hari ini tampak sangat kontras dengan Prabowo era 2014 dan 2019, di mana ia dulu betul-betul pengejawantahan dari orang berlatar militer: Berapi-api, keras, tegas, dan kaku.
Masih terekam jelas di ingatan saya betapa dulu Prabowo selalu jadi oposisi yang beringas. Ia memprediksi Indonesia bubar tahun 2030 gara-gara kekayaan dalam negeri dieksploitasi asing. Beberapa kali tiap pidato, selalu ada momen ia menggebrak-gebrak meja podium dan marah-marah.
"Berbeda dengan 2019 lalu, terlalu keras, terlalu serius, tidak dapet feel-nya. 2024 ini Prabowo mengubah sikap, lebih luwes, lebih lentur, lebih santuy, lebih banyak bercandanya," ungkap Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin kepada ERA, Rabu (15/11/2023).
Habis merapat ke pemerintah di periode kedua Jokowi, citra Prabowo memang tampak melunak. Puncaknya, menjelang pilpres tahun depan, citra yang lunak itu makin dipoles jadi lebih mudah dikunyah. Tudingan pelanggar hak asasi manusia (HAM) masa lalu lambat laun tertutupi citra barunya sebagai capres gemoy. Hasilnya, Prabowo sukses jadi trending dan bolak-balik lewat di FYP TikTok.
"Gaya kampanye Prabowo ini unik, dan itu dianggap menarik juga oleh anak muda, Prabowo 'Gemoy' Cubianto," komentar Ujang. "Itu menjadi fokus perhatian publik kepada Pak Prabowo. Masyarakat Indonesia kan butuh hiburan."
Pola pengaburan rekam jejak negatif dan penetrasi kampanye lewat media sosial–khususnya TikTok–tersebut mengingatkan saya kepada cara yang dipakai anak diktator Filipina, Bongbong Marcos yang memenangkan pilpres di sana. Kuncinya adalah bagaimana membuat anak-anak muda melupakan masa lalu.
Berebut suara anak muda
Mengapa Prabowo repot-repot menanggalkan citra lamanya dan ikut nyebur bermain gimik yang bagi sebagian orang menggelikan? Kalau melihat pasar pemilih Indonesia tahun 2024 yang didominasi golongan muda, langkah tersebut tak mengherankan.
Berdasarkan data Susenas 2022, lebih dari 116,5 juta atau 56% suara Pemilu 2024 berasal dari generasi milenial dan Z yang berusia kurang dari 44 tahun. Sementara generasi tua yang lahir sebelum 1981 jumlahnya hanya 44%, tak sampai 90 juta pemilih.
Kebanyakan anak muda lebih sering menerima informasi dari media sosial ketimbang media konvensional. Dan pengguna media sosial di Indonesia jumlahnya tak main-main. Di seluruh dunia, Indonesia masuk peringkat kedua jumlah pengguna TikTok terbanyak dengan 112,97 juta pengguna, mayoritas anak muda berusia 18-24 tahun.
Merujuk laporan Indonesia Social Media Statistics 2023, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 17 menit setiap hari untuk bermain media sosial. Inilah ceruk yang dimanfaatkan oleh Prabowo lewat gimik gemoynya.
Hasilnya, menurut pengamat politik Hendri Satrio, cukup efektif menaikkan nama Prabowo. "Berdasarkan hasil survei, citra kakek-kakek gemoy itu menempatkan dia di posisi nomor 1 hasil lembaga-lembaga survei," ujarnya, Rabu.
Tahun lalu, Bongbong menang pemilu di Filipina kurang lebih dengan pendekatan yang sama. Laporan majalah Time menyebutkan bahwa putra diktator Ferdinand Marcos Sr itu memenangi pemilu berkat TikTok, dengan menulis narasi baru soal kepemimpinan ayahnya.
Antara Bongbong dan Prabowo
Marcos menjadi Presiden Filipina sejak 1965 dan terus berkuasa selama 21 tahun, sebelum akhirnya dilengserkan pada 1986 karena kepemimpinannya yang otoriter. Namun, seberapa buruk pemerintahan Marcos?
Ia dikenal sebagai diktator sekaligus koruptor. Lawan politiknya tak segan-segan ia habisi, seperti Senator Ninoy Aquino yang ditembak mati di bandara pada 1984. Ratusan lawan politiknya yang lain dijebloskan ke penjara militer, termasuk 200-an pastor dan biarawati Katolik yang dituduh subversif.
Menurut penelitian David Chaikin dan JC Sherman (2009), Marcos dan kroni-kroninya menilep uang negara hingga USD10 miliar. Sederhananya, masa kekuasaan Marcos ibarat Orde Baru di Indonesia.
Hampir 40 tahun setelah jatuhnya sang diktator, wajah Marcos Sr. berubah sepenuhnya menjadi pemimpin yang membawa masa kejayaan ke Filipina. Di TikTok, rezim Marcos digambarkan penuh stabilitas, ekonomi Filipina tumbuh, dan masyarakat aman.
Melansir dari Time, investigasi media Filipina melaporkan kalau Bongbong mendapat keuntungan dari kampanye disinformasi yang terkoordinasi di media sosial, khususnya dalam bentuk video. Beberapa content creator dibayar hingga USD4,7 ribu per bulan untuk menaikkan konten politik.
Sementara itu, mayoritas pemilih di Filipina berusia di bawah 40 tahun yang ingatannya tak tersambung dengan kekejaman rezim Marcos dulu. Hasilnya, Bongbong terpilih jadi presiden. Menurut survei Pulse Asia, 72% pemilih usia 18-24 tahun mendukung keluarga Marcos.
Pola yang sama bisa kita saksikan sedang dilakukan Prabowo dengan sedikit adaptasi. Bila Bongbong membangun narasi baru soal keberhasilan ayahnya, maka Prabowo membangun narasi baru soal personanya sendiri. Lantas, apa yang berusaha ia tutupi?
Generasi milenial akhir dan Z mungkin terlewat mengenali Prabowo ketika ia masih aktif di militer. Sejujurnya, kariernya bagus, sebelum ia dipecat usai Soeharto lengser gara-gara keterlibatannya dalam Tim Mawar yang menculik beberapa aktivis menjelang reformasi–sebagian dipulangkan, sebagian hilang tanpa kabar.
Dalam surat pemecatan yang beredar, setidaknya ada delapan kesalahan Prabowo sebagai perwira yang berujung rekomendasi pemberhentiannya, salah satunya perintah merampas kemerdekaan orang lain dan penculikan. Surat bernomor KEP/03/VIII/1998/DKP tersebut dibenarkan oleh bekas anggota Dewan Kehormatan Perwira yang menyidang Prabowo, Fachrul Razi.
Prabowo sendiri saat debat capres di Balai Sarbini, mengaku penculikan aktivis saat itu dilakukannya untuk mengamankan negara, untuk melindungi kepentingan yang lebih besar. Ia juga sempat meminta maaf kepada mantan aktivis Budiman Sudjatmiko atas apa yang terjadi pada 1998.
Kalau ada yang mau ditutupi Prabowo dari gimik gemoynya yang belakangan tenar, salah satunya soal tudingan masa lalu pelanggaran HAM yang terus menghantuinya itu.
Drama dan gimik politik yang tak perlu
Saya setuju dengan Jokowi saat bilang kalau situasi politik hari ini terlalu banyak dramanya. Namun, itu rata terjadi di ketiga kubu, termasuk Prabowo yang berpasangan dengan anak Jokowi, Gibran. Sejujurnya, pemilihan Gibran sebagai cawapres sendiri sudah penuh drama.
Jokowi juga menegaskan agar mengisi lebih banyak ruang politik dengan adu ide dan gagasan. Namun, yang ditawarkan oleh pasangan Prabowo-Gibran juga lebih banyak gimiknya, mulai dari gimik gemoy sampai gimik anak muda.
Sebelumnya, mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy memang pernah menyampaikan dalam wawancara bersama Total Politik, kalau ada calon peserta Pilpres 2024 yang menggunakan strategi pemenangan ala Bongbong.
“Saya mendapat informasi salah satu kandidat ini menggunakan strategi pemenangan yang konsultannya dibawa ke mari, yaitu konsultan kemenangan Bongbong Marcos,” ucap Romy. “Nanti dilihat aja polanya.”
Ia memang tak menyebut nama, tapi memberikan tanda-tanda yang bisa dibaca, seperti penyampaian konten yang sifatnya slapstick, enteng, riang, jenaka, yang semuanya tak berhubungan dengan kualitas kepemimpinan.
“Terus kemudian penetrasinya lewat TikTok,” lanjut Romy.
Hari ini sering kita saksikan konten-konten seperti yang disebutkan tadi berseliweran di beranda media sosial, dan tentu kontra produktif dengan apa yang diidam-idamkan Jokowi sebagai pertarungan gagasan. Prabowo pun sewaktu ada kesempatan menyampaikan gagasannya di panggung UGM, lebih banyak mengumbar banyak gimik seperti joget.
Masalahnya, apa pengguna TikTok peduli dengan isi kepala dan rekam jejak calon pemimpinnya? Atau bagi mereka, yang penting memilih pemimpin yang dapat mewakili kelucuan netizen dan mukanya gampang dijadikan meme?