Buah Simalakama PDIP dan Setengah Hati Lawan Jokowi

ERA.id - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) semakin terbuka menunjukkan sikap oposisinya terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo. Terbaru, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyinggung penguasa yang baru berkuasa dan bertindak seperti Orde Baru.

“Republik ini penuh dengan pengorbanan, tahu tidak? Mengapa sekarang kalian yang baru berkuasa itu mau bertindak seperti waktu zaman Orde Baru?” ucapnya menggebu-gebu dalam pidatonya di Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Relawan Ganjar-Mahfud di JIExpo, Jakarta, Senin (27/11/2023). 

Hubungan PDIP dengan Jokowi kian bersitegang setelah putra sulung presiden, Gibran Rakabuming Raka dicalonkan mendampingi calon presiden (capres) kubu lawan, Prabowo Subianto. Padahal, baik Jokowi maupun Gibran merupakan kader PDIP dan hingga kini belum resmi diberhentikan keanggotaannya.

Sebelum hubungan keduanya merenggang, capres PDIP Ganjar Pranowo bahkan sering menyebut Jokowi sebagai kader terbaik PDIP. Misalnya dalam acara Konsolidasi Apel Siaga Pileg dan Pilpres di Semarang pada bulan Agustus dan Rakernas IV PDIP di Jakarta pada September lalu.

Jokowi, kata Ganjar, berhasil melakukan terobosan signifikan dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, bendungan, hingga swasembada pangan. Namun, belakangan, Ganjar menyinggung pembangunan era Jokowi yang dinilai sepi.

"Pertanyaannya ada yang protes kenapa bandaranya sepi, pelabuhannya sepi, jalan tolnya kok belum menghasilkan?" ujarnya dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, Rabu (8/11/2023).

Ganjar juga memberikan rapor merah terhadap penegakan hukum di era Jokowi saat memaparkan gagasannya dalam acara Ikatan Alumni (IKA) Universitas Negeri Makassar (UNM) di Makassar, Sabtu (18/11/2023). Sebabnya, banyak intervensi hingga rekayasa hukum dilakukan oleh para pemangku kebijakan.

“Kasus kemarin kan menelanjangi semuanya dan kita dipertontonkan soal itu, dengan kasus ini jeblok, poinnya 5,” ujarnya.

Seperti diketahui, majunya Gibran sebagai cawapres dianggap kontroversial lantaran diuntungkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka peluang capres dan cawapres berusia di bawah 40 tahun, selama pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Putusan itu berujung kepada deklarasi pasangan Prabowo-Gibran dan pemecatan adik ipar Jokowi, Anwar Usman dari jabatan Ketua MK karena dinilai melanggar kode etik.

Sikap PDIP kepada Jokowi dianggap berubah drastis pasca putusan tersebut. Dalam berbagai kesempatan, kedua kubu saling melontarkan sindiran. Megawati, misalnya menyinggung seputar manipulasi hukum di MK dan kegelapan demokrasi. Sementara Jokowi menyampaikan bahwa situasi politik hari ini terlalu banyak drama dan pertarungan perasaan.

Menurut pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago, bukan hal aneh melihat sikap partai politik (parpol) dan politikus kerap berubah-ubah. Hal tersebut disebabkan kehidupan berpolitik tak lagi berlandaskan ideologi. 

“Kian hari hubungan PDIP dengan Jokowi ini makin sengit kan. Jadi memang parpol itu kan sebenarnya ideologinya tidak ada, ideologinya itu transaksional dan pragmatis,” ujar Pangi kepada ERA, Rabu (29/11/2023).

Dan karena sikap pragmatis itu juga,kata dia, masyarakat cenderung skeptis terhadap sikap parpol yang sering mengatasnamakan kepentingan rakyat. Menghadapi manuver politik Jokowi pun, akhirnya PDIP seperti makan buah simalakama. 

“Tidak bisa tidak dikaitkan antara pemerintahan Jokowi dengan PDIP sekarang. Kalau Bu Mega mengatakan misalnya, ‘Lalu mengapa kalian yang baru berkuasa bertindak seperti Orde Baru?’ itu kan menampar wajah sendiri, serba dilematis,” ujar Pangi.

Hilangnya ideologi partai politik

Pangi menilai kebanyakan parpol sekarang “plin-plan”, termasuk PDIP. “Sekarang bilang A, besok bilang B. Malam tahu, pagi tempe,” ujarnya. “Persamaan kepentingannya itu kalau menguntungkan mereka.”

Sebelum gaduh-gaduh isu Gibran menyeberang ke kubu Prabowo, PDIP misalnya sempat membuka peluang Gibran berpasangan dengan Ganjar, selama MK mengabulkan permohonan uji materi mengenai ambang batas usia minimal capres dan cawapres. Hal tersebut disampaikan Puan Maharani usai upacara 17 Agustus kemarin.

“Kita mencermati hal tersebut. Kalau emang kemudian di MK-nya kemudian disetujui ada calon cawapres di bawah 40 tahun, ya bisa saja Mas Gibran yang maju," kata Puan kepada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/8/2023).

Namun, setelah putusan MK diketok dan Gibran berpasangan dengan Prabowo, PDIP menjadi salah satu kubu yang paling getol menyuarakan ketidakadilan dalam penegakan hukum. 

Perubahan sikap parpol tersebut, menurut Pangi, merupakan hal biasa dalam kehidupan berpolitik di negeri ini. Apalagi setelah Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, di mana parpol mulai cenderung bergantung kepada tokoh daripada nilai untuk memenangkan suara elektoral.

“Partai itu cenderung ideologis kalau punya nilai-nilai perjuangan. Ini saya lihat sejak 2014 itu partai memang tidak jelas arahnya mau ke mana, ideologinya ke mana, yang jelas mereka cenderung pragmatis, transaksional,” ujar Pangi.

Ketua umum parpol, tambahnya, kelihatan tidak punya prinsip dan kehilangan harkatnya. Jika menengok ke belakang, maka situasi politik sekarang ini berbanding terbalik dengan pemilihan presiden (pilpres) sebelum 2014, di mana mayoritas pesertanya merupakan ketua umum parpol. 

Pada Pilpres 2004, hanya Wiranto capres yang bukan ketua umum. Nama Wiranto pun bukan ujug-ujug muncul dari luar partai, tetapi hasil dari konvensi Partai Golkar.

Adapun Susilo Bambang Yudhono (SBY) yang memenangi pilpres waktu itu merupakan Ketua Umum Partai Demokrat. Ia juga bersaing dengan Ketua Umum PDIP Megawati, Ketua Umum PAN Amien Rais, dan Ketua Umum PPP Hamzah Haz.

Lima tahun berikutnya, pada Pilpres 2009, mayoritas capres-cawapres merupakan ketua umum parpol. Hanya ada satu nama yang berasal dari luar partai: Boediono. Ia mendampingi petahana SBY yang masih menjabat sebagai Ketua Umum Demokrat.

Pasangan SBY-Boediono bertanding melawan Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra) dan Jusuf Kalla (Ketua Umum Partai Golkar) yang berpasangan dengan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto.

Ketika diwawancara dalam program Bukan Begini Bukan Begitu, Jusuf Kalla mengaku waktu itu ia nekat melawan SBY untuk menjaga harkat partai. 

"Sebenarnya itu hanya karena saya tahu susah menang, tapi karena saya ketua partai, ada harkat partai,” ujarnya. 

Setengah hati lawan Jokowi

Terlepas dari pernyataan-pernyataan keras yang kerap dilontarkan kubu PDIP, banyak pengamat politik seperti Pangi dan Faizal Assegaf menilai Megawati dan kader-kadernya tampak setengah hati melawan kubu Jokowi.

Pertama, hingga hari ini PDIP belum secara tegas dan resmi memberhentikan keanggotaan Gibran yang maju sebagai cawapres di koalisi lain. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto hanya menyampaikan nasib Gibran di PDIP sudah “tutup buku”.

Menanggapi hal tersebut, Puan menyebut tidak perlu meributkan lagi soal status Gibran di PDIP dan lebih baik fokus menuju pemilu. “Jadi sudahlah, hal-hal teknis administrasi, menurut saya itu tidak perlu kita pro kontra-kan kembali,” ujarnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (21/11/2023).

Sementara menurut Pangi, PDIP masih menghitunguntung-rugi jika harus menyampaikan pemecatan Gibran secara terbuka.

“Pasti partai juga menghitung, mengkalkulasi, bahwa dengan memecat itu tentu harus dilihat sisi keuntungan dan manfaatnya. Lebih banyak mudarat atau tidaknya?” ujar Pangi. 

Namun, tambahnya, PDIP harus tegas dan berani mengambil keputusan dari awal untuk memperlihatkan posisinya kepada masyarakat. Termasuk soal kader-kader mereka yang masih ada dalam kabinet Jokowi.

“Memang harusnya menarik semua menteri, lalu memecat Jokowi dan Gibran, itu bagus. Untuk memperlihatkan posisi sebetulnya, sehingga PDIP tidak lagi bertanggungjawab terhadap pemerintahan Jokowi,” ujar Pangi.

Seperti diketahui, setidaknya masih ada enam menteri dalam kabinet Jokowi yang mengantongi kartu tanda anggota (KTA) PDIP, yaitu:

  1. Tri Rismaharini selaku Menteri Sosial;
  2. Yasonna Laoly selaku Menteri Hukum dan HAM;
  3. Teten Masduki selaku Menteri Koperasi dan UMKM; 
  4. Azwar Anas selaku Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (PANRB);
  5. Bintang Puspayoga selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA);
  6. dan Basuki Hadimuljono selaku Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

“Kalau menteri PDIP itu masih ada di pemerintahan Jokowi, Gibran dan Jokowi tidak dipecat, bagaimana mungkin orang tidak mengiyakan bahwa kekuasaan hari ini bagian dari kekuasaan PDIP?” tandas Pangi.