Alasan Ilmiah Kenapa Kakek-Nenek Lebih Sayang Cucu
ERA.id - Kata penulis George Saunders dalam pidatonya Congratulations, By the Way, orang-orang tua punya tiga manfaat bagi anak muda: Meminjamkan duit; jadi bahan lelucon; dan menceritakan penyesalannya dalam hidup. Terkadang, bagi saya, peran mereka yang lansia ketambahan satu lagi: Main bareng cucu. Dan sering kali, bagi cucu, kakek-nenek jadi taman bermain terbaik mereka.
Saya pribadi banyak lupa bagaimana kedekatan saya dengan kakek-nenek. Mereka terlanjur wafat ketika usia saya masih sangat belia dan ingatan saya masih samar-samar. Namun, ketika akhirnya saya punya anak, saya bisa melihat bagaimana orang tua saya bermain bersama cucu mereka. Dan rasanya sudah lama sekali kehangatan seperti itu saya alami.
Mertua saya juga demikian. Setelah istri saya melahirkan dan rasa sakitnya membaik, saya perhatikan mereka lebih sering berlama-lama dengan cucu pertama mereka. Seminggu awal pasca kelahiran, anak saya tidur bersama kakek-neneknya. Ibu mertua saya baru mengetuk pintu kamar lewat tengah malam ketika anak saya merengek minta susu. Sehabis istri menyusui, anak saya dibawa lagi ke kamarnya.
“Sudah ditaruh di sini saja sampai setahun,” begitu ujar ibu mertua saat tiba waktunya saya memboyong kembali istri dan anak saya ke Jakarta.
Sampai hari ini, hampir tiap malam mertua saya menelepon ke rumah. Pertanyaannya selalu sama, “Mana cucu Uti?”
Ibu saya jarang menelepon karena tiap akhir pekan kami menginap di tempatnya. Namun, di rumah yang selalu dicari ya cucunya. Agaknya, bagi ibu saya, lebih baik istri saya menengok mertuanya sambil membawa anak ketimbang suami. Dan di rumah orang tua, ayah-ibu selalu berebut bermain dengan anak saya yang baru bisa tengkurap dan merangkak dua langkah.
Cerita serupa sering saya dengar dari orang-orang sekitar, betapa kakek-nenek acap kali lebih sayang ke cucu ketimbang anaknya. Kadang, orang tua selain merasa terbantu juga kerepotan sendiri karena pola pengasuhan yang berbeda. Kakek-nenek cenderung lebih permisif dan luwes kepada cucunya, murah hati membelikan apa pun yang dibatasi orang tua, dan membiarkan cucunya melakukan apa saja. Tak heran kalau banyak cucu memfavoritkan kakek-nenek mereka.
Awalnya, saya kira alasan sikap kakek-nenek itu semata-mata rasa penyesalan mereka yang kurang bermain dengan anak-anak mereka dulu. Ternyata, ada penelitian yang membahas ikatan khusus antara nenek dan cucu. Penelitian yang dipimpin James Rilling, penulis utama dan profesor di Departemen Antropologi Universitas Emory itu membuka mata saya lebih lebar mengapa kakek-nenek cenderung lebih sayang ke cucunya.
Ikatan emosional nenek dengan cucu
Dalam penelitian berjudul "Korelasi Saraf dari Pengasuhan Nenek" yang terbit di jurnal The Royal Society, Rilling dan rekan-rekannya meneliti 50 nenek yang memiliki cucu berusia antara 3-12 tahun. Para nenek diminta untuk melihat foto cucu dan anak mereka, lalu otak mereka dipindai untuk melihat respon sarafnya terhadap foto tersebut. Selain itu, mereka juga diminta mengisi kuesioner untuk mengukur tingkat keterlibatan dan keterikatan terhadap cucu mereka.
Hasilnya sungguh menarik. Ketika nenek melihat foto cucunya, itu mengaktifkan area terkait empati emosional (kemampuan untuk mengalami emosi yang dirasakan orang lain) dan motorik. Sementara ketika melihat foto anaknya, hasil penelitian menunjukkan aktivasi yang lebih kuat di area otak yang terkait dengan empati kognitif (kemampuan memahami tindakan orang).
"Itu menunjukkan bahwa nenek cenderung merasakan apa yang dirasakan cucu mereka saat berinteraksi dengan mereka. Jika cucu mereka tersenyum, mereka merasakan kebahagiaannya. Dan jika cucu mereka menangis, mereka merasakan rasa sakit dan kesedihan anak itu," kata Rilling.
Sementara kepada anak mereka yang sudah dewasa, nenek cenderung memahami secara kognitif apa yang mereka pikirkan, apa alasan dari sikap mereka, tetapi tidak berbagi terlalu banyak sisi emosional.
"Anak-anak kemungkinan telah mengembangkan sifat untuk dapat memanipulasi bukan hanya otak maternal, tetapi juga otak maternal khusus," kata Rilling.
"Anak dewasa tidak memiliki 'faktor' lucu yang sama, sehingga mereka mungkin tidak menimbulkan respons emosional yang sama," lanjutnya.
Selain karena faktor lucu anak kecil, para peneliti juga mencatat kalau perbedaan respons emosional ini mungkin berhubungan dengan kebebasan yang dimiliki kakek-nenek kepada cucunya ketimbang orang tua kepada anaknya, di mana orang tua masih terbebani kewajiban ekonomi untuk membesarkan anaknya.
"Banyak dari mereka mengatakan betapa menyenangkannya tidak terbebani oleh tekanan waktu dan keuangan seperti yang mereka alami ketika membesarkan anak-anak mereka," kata Rilling. "Mereka dapat menikmati pengalaman menjadi nenek lebih daripada ketika mereka menjadi orang tua."
Membaca penelitian tadi, saya jadi merefleksikan pengalaman pribadi sebagai anak dan orang tua. Ketika bermain bersama anak, terkadang saya masih kepikiran apakah saya bisa membesarkannya dengan layak? Sudahkah saya memberinya kehidupan yang baik? Apakah gaji saya cukup untuk tabungan masa depannya? Dan pikiran-pikiran itu terkadang membebani pundak saya.
Saya berasumsi orang tua saya juga berpikir demikian sewaktu membesarkan saya hingga menikah dan membangun rumah tangga sendiri. Sementara kepada cucu-cucunya, mereka bisa bermain lebih lepas karena ada saya sebagai orang tua.
Jujur, saya juga kerap khawatir dengan perbedaan pola asuh kami. Saya khawatir didikan saya ke anak teralihkan didikan kakek-neneknya yang cenderung memanjakan. Untungnya, saya agak lega membaca tulisan lain berjudul “Seberapa Pentingkah Keluarga?” oleh Rebecca Seal dan David Coal.
Di situ disebutkan bahwa keterlibatan pengasuhan nenek berkaitan dengan fungsi kognitif; peningkatan prestasi akademik; dan penurunan masalah emosional anak-anak. Dipikir-pikir lagi, sebelum orang tua saya jadi kakek-nenek, mereka juga pernah mengasuh saya hingga sebesar ini. Lalu mengapa saya mesti khawatir?