Didukung Aktivis 98, Ratusan Mahasiswa Nyatakan Musuhi Pelanggar HAM dan Politik Dinasti
ERA.id - Ratusan orang terdiri dari aktivis, mahasiswa berbagai kampus, masyarakat, hingga akademisi menolak pelanggar hak asasi manusia (HAM), politik dinasti, dan neo Orde Baru (Orba) dalam konsolidasi prodemokrasi di Jakarta, Minggu (21/1).
Dalam acara bertajuk “Apa Saja Boleh Beda, Musuh Kita Tetap Sama: Pelanggar HAM, Politik Dinasti & Neo Orba” tersebut, para peserta diskusi menyatakan bahwa ketiga unsur di atas sebagai musuh bersama.
Mahasiswa perwakilan Jawa tengah dan Yogya, Zuhud menyatakan, bila kondisi hari ini demokrasi sedang dikorupsi rezim sementara orde baru sudah selesai pada tahun 1998.
"Ini ditentukan dengan putusan MK dengan tujuan untuk meloloskan anak presiden untuk menjadi cawapres di 2024 kemudian kalau kita bicara soal pelanggaran ham, politik dinasti dan neo orba maka saya sampaikan kami mahasiswa indonesia akan terus menjaga demokrasi kita," kata Zuhud dalam acara tersebut, Minggu (21/01/2024).
Zuhud mengakui bahwa ia sering mendengar ada luka lama yang dibuka lima tahun sekali tapi ia menegaskan sebagai mahasiswa Indonesia menyatakan itu bukan luka lama tapi luka yang selalu menganga.
"Dan orang itu menyalahi aturan untuk jadi capres. Luka ini sudah lama dan kasus ini sudah lama, tapi sampai hari ini negara belum bisa membereskan sampai hari ini," ujarnya.
Sebagai mahasiswa perwakilan Yogya, Zuhud mengajak untuk mengkonsolidasikan untuk menolak neo orba yang hari ini terlihat jelas.
Dalam demokrasi, tutur Zuhud, HAM ini yang paling dijamin, tapi pelanggaran ham sampai hari ini belum dibereskan, maka tentunya pemimpin yang masih terikat pelanggaran ham berat harus ditolak.
"Saya notice ini bukan untuk mendukung calon tapi memberi peringatan pada pemerintah, untuk bereskan masalah HAM," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti, awalnya mengira bahwa setelah putusan MKMK yang menyatakan pelanggaran etik berat terhadap Ketua MK, Anwar Usman, akan ditindak lanjut oleh penguasa untuk menjaga demokrasi agar tidak jatuh lebih dalam.
“Kenyataannya, meskipun MK dalam hal ini MKMK menyatakan putusan MK itu sebagi putusan yang melanggar etika berat, tidak ada kemauan untuk menjaga, memelihara, apalagi untuk meningkatkan kualitas demokrasi,” ujarnya.
Menurut Ray, bukannya menjaga demokrasi, rezim malah bersama-sama terus menerus menggerogoti prinsip-prinsip berdemokrasi sebagaimana terlihat dalam banyak peristiwa.
“Salah satu yang mengemuka sekarang adalah netralitas aparatur negara. Apakah itu TNI, Polri, ASN termasuk di dalamnya kepala-kepala desa dan aparatur kepala desa yang seolah-olah berlomba-lomba untuk menyatakan sikap [mendukung capres-cawapres tertentu],” katanya.
Ia menjelaskan, Presiden yang paling bertanggung jawab soal netralitas TNI, Polri, dan ASN. Pasalnya, dia satu-satunya yang menggunakan jasa mereka untuk kepentingan layanan publik.
“Jadi kalau aparatur negara secara terbuka kelihatan dan beramai-ramai melakukan tindakan yang tidak netral, itu bisa dinyatakan bahwa presidennya seperti tutup mata untuk mempertegas kembali sikap netralitas,” ujarnya.