Hari Obesitas Sedunia 2024: Gaya Hidup dan Lingkungan Bisa Picu Kegemukan
ERA.id - Hari Obesitas Sedunia 2024 selalu diperingati pada 4 Maret setiap tahunnya. Momen ini pun dapat dijadikan pengingat untuk mengentaskan masalah obesitas di masyarakat, terutama di Indonesia yang prevalensinya terus meningkat.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018, prevalensi obesitas di kalangan orang dewasa meningkat dari 10,5 persen pada 2007 menjadi 21,8 persen pada 2018.
Peningkatan ini memperlihatkan kebutuhan mendesak akan strategi yang efektif untuk memerangi masalah kesehatan terkait kelebihan berat badan.
Seperti kita tahu, obesitas dan obesitas sentral merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengkhawatirkan di Indonesia.
Terlepas dari tingkat keparahan dan keterkaitannya dengan sejumlah penyakit tidak menular seperti diabetes, kardiovaskular, hipertensi dan stroke.
Sayangnya, masih banyak miskonsepsi terkait obesitas yang beredar di masyarakat, terutama dalam hal penyebabnya yang kebanyakan mengira berasal dari faktor makanan saja.
Menurut Wakil Ketua Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI), Dr. dr. Gaga Irawan Nugraha, Sp.GK (K), obesitas tak cuma dipicu dari makanan saja, melainkan gaya hidup, pengaruh otak hingga lingkungan.
"Pemahaman akan keseimbangan energi merupakan hal yang penting untuk menentukan langkah-langkah yang efektif untuk mengatasi obesitas. Dan untuk dapat mengerti konsep keseimbangan energi, penting untuk terlebih dahulu memahami bagaimana otak meregulasi nafsu makan dan faktor-faktor lain yang memengaruhi,"
Demikian kata dokter Gaga dalam diskusi Hari Obesitas Sedunia oleh Novo Nordisk Indonesia dalam keterangannya.
Penyebab obesitas bukan hanya dari makanan
Masalah obesitas tak cuma terjadi akibat seseorang memiliki berat badan berlebih, tetapi lingkungan yang membiarkan kondisi itu juga memengaruhi.
Dalam penanganan awal, dokter Gaga menyarankan agar ketika kita memiliki rekan, keluarga atau orang terdekat yang sudah berada dalam "tanda-tanda" kegemukan, untuk segera dibawa ke fasilitas kesehatan agar mendapatkan penanganan yang tepat.
"Sangatlah penting untuk tidak meremehkan kompleksitas ilmiah dari penyakit ini. Dokter biasanya akan memberikan tiga pilar penanganan obesitas, yaitu intervensi perilaku dengan bantuan psikolog, terapi anti obesitas dengan bantuan obat hingga metode pembedahan," paparnya.
Dokter Gaga menambahkan, meski pun terapi gizi medis dan aktivitas fisik merupakan dasar untuk mengelola obesitas, hal ini tidak cukup bagi banyak pasien.
Selain faktor lingkungan, dokter lulusan Universitas Padjajaran (Unpad) tersebut juga mengingatkan pengaruh otak yang tak bisa diabaikan, khususnya pada pasien obesitas dalam memutuskan untuk mengonsumsi sesuatu.
Menurutnya, otak merupakan pusat pengaturan nafsu dan perilaku makan seseorang, sehingga memengaruhi sinyal lapar, kesenangan mengonsumsi makanan hingga keputusan untuk makan. Kerangka ini setidaknya dapat memberikan panduan bagi tenaga kesehatan untuk memberikan perawatan yang holistik bagi penderita obesitas.
"Kita perlu menyediakan penanganan obesitas yang lebih komprehensif di Indonesia, beralih dari yang tadinya berfokus hanya pada indeks massa tubuh (IMT, atau body mass index, BMI) menjadi berfokus pada penanganan komplikasi terkait obesitas," ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, dr. Riyanny Meisha Tarliman, Clinical, Medical, and Regulatory Novo Nordisk Indonesia mengatakan, pentingnya untuk memberikan pemahaman ke masyarakat terkait obesitas guna meningkatkan kesadaran masyarakat hingga menekan jumlah kasusnya di Indonesia dari waktu ke waktu.
"Menghadirkan informasi ilmiah terkait obesitas merupakan salah satu upaya kami dalam mengedukasi masyarakat tentang obesitas," pungkasnya.