Parlemen AS Loloskan RUU untuk Blokir TikTok

ERA.id - Parlemen Amerika Serikat (AS) meloloskan rancangan undang-undang (RUU) untuk memblokir TikTok di sana atau memaksa induk perusahaan, ByteDance menjual media sosial tersebut.

Menurut laporan EndGadget, Kamis (14/3/2024), apabila peraturan ini berlaku maka ByteDance harus sudah menjual TikTok dalam tenggat waktu enam bulan atau media sosial tersebut akan diblokir di toko aplikasi maupun website di AS.

Kini kelanjutan RUU itu akan ditentukan oleh Senat. Senator Rand Paul menyatakan bahwa dia akan menggagalkan RUU itu di tengah dukungan tokoh lain yang berharap aturan tersebut segera disahkan.

Apabila disetujui Senat, RUU itu akan ditandatangani oleh Presiden Joe Biden dan secara resmi mulai berlaku sebagai undang-undang.

TikTok mengatakan bahwa RUU itu tidak konstitusional dan berpotensi dapat mengganggu keberlangsungan para kreator konten dan pelaku bisnis yang bertumpu kepada media sosial tersebut.

"Kami berharap Senat akan mempertimbangkan fakta-fakta yang ada, mendengarkan konstituen mereka, dan menyadari dampaknya terhadap ekonomi, 7 juta pelaku bisnis kecil dan 170 juta rakyat Amerika yang menggunakan layanan kami," kata juru bicara TikTok dikutip dari Antara.

Minggu lalu, TikTok mengirimkan notifikasi kepada para penggunanya yang mendorong mereka untuk meminta parlemen agar menggagalkan RUU ini.

Sejumlah pegawai di gedung parlemen mengatakan bahwa kantor mereka menerima banyak sekali panggilan dari para pengguna TikTok yang mayoritas adalah remaja. Parlemen menuding TikTok mencoba untuk mengganggu proses legislasi dari rancangan peraturan ini.

Kelompok aktivis yang memperjuangkan kebebasan berpendapat dan hak-hak digital juga menyuarakan penentangan terhadap RUU ini.

Menurut mereka, undang-undang data pribadi dinilai lebih efektif dalam menjaga data pengguna di AS daripada peraturan yang hanya menindak satu aplikasi tertentu.

Sejumlah politikus AS menganggap TikTok sebagai ancaman bagi keamanan nasional karena dimiliki oleh ByteDance, perusahaan yang berbasis di China dan dikhawatirkan akan membagikan data penggunanya ke Pemerintah China.