Pengantar Belajar Gaya Hidup Minimalis: Seni Mengikhlaskan Barang

ERA.id - Pernahkah kamu dengar ungkapan less is more atau ‘lebih sedikit, lebih baik’? Ini tak ada hubungannya dengan program Keluarga Berencana yang jargonnya dua anak cukup. Namun, ungkapan tadi belakangan dikenal sebagai aforisme seputar gaya hidup minimalis. Lebih sedikit barang yang kita punya, maka hidup kita akan lebih baik. 

Lalu, ketika mendengar gaya hidup minimalis, apa yang pertama kali melintas di pikiran? Banyak orang mungkin segera menunjuk ke Jepang. Mereka yang besar bersama kartun Doraemon mungkin akan mengingat gambaran rumah Nobita dan berseru, “Itu minimalis!” Barangkali sangat kontras dengan rumah kita yang penuh sesak barang, seakan seluruh rumah adalah gudang.

“Banyak orang luar Jepang menganggap minimalis adalah cara hidup biasa di Jepang. Mereka menganggap banyak rumah di Jepang terlihat seperti surganya gaya minimalis dengan tradisi zen kental dan tidak suka boros,” demikian secuplik paragraf yang saya baca di situs travel Jepang, Japan City Tour.

Menurut tulisan tadi, anggapan itu bisa dimaklumi, walaupun tidak sepenuhnya benar. Katanya, memang gaya hidup minimalis punya tradisi panjang di Jepang sejak berabad-abad lalu. Namun, tidak melulu orang Jepang hidup minimalis. 

Misalnya, banyak keluarga yang hidup pada masa perang atau dibesarkan oleh mereka yang lahir sebelum Perang Dunia II justru kesulitan membuang barang karena terlalu banyak barang di rumah mereka. 

“Yang pasti adalah mudah untuk bergaya hidup minimalis di Jepang bagi mereka yang ingin hidup seperti itu,” tulisnya.

“Anak-anak di sekolah belajar merawat barang-barang mereka dan tidak mubazir sejak kecil; ada toko-toko barang rumah tangga besar seperti Muji dan Nitori yang menjual produk untuk mendukung gaya hidup minimalis; dan dengan rumah kecil di kota, menjaga hal-hal tetap sederhana seringkali menjadi kebutuhan,” lanjutnya.

Tak heran kemudian banyak nama panutan gaya hidup minimalis berasal dari Jepang, seperti Marie Kondo Sang Ratu Beberes hingga Fumio Sasaki penulis buku Goodbye, Things.

Belakangan, seiring harga rumah yang kian tak tergapai, gaya hidup minimalis kembali digandrungi kalangan muda. Forbes pernah menulis, alasan utama di balik minat Gen Z bergaya hidup minimalis karena dorongan menemukan makna hidup. Mereka menganggap konsumsi berlebihan akan menjadi beban finansial dan emosional, sehingga mereka memilih alternatif yang lebih sederhana.

Di sisi lain, sebagian orang memilih gaya hidup ini karena tuntutan. Entah karena keterbatasan biaya atau tempat tinggal. Orang-orang yang hidup di apartemen studio dengan ruang terbatas, misalnya, tentu harus memaksimalkan ruang yang ada. Pada kondisi ini maka less is more. Sedikit barang berarti semakin banyak ruang tersisa.

Dalam artikel Minimalism Glimpsed Everywhere in Japan, diceritakan bahwa orang-orang Jepang sudah memahami hal ini jauh pada zaman Edo. “Ketika banyak keluarga tinggal bersama hanya dalam satu ruangan yang digunakan sebagai kamar tidur pada malam hari dan ruang tamu pada siang hari.”

Itu pula sebabnya mengapa banyak orang Jepang tak punya spring bed dan tidur di atas futon (kasur lipat). Dengan begitu, satu ruangan bisa punya banyak fungsi. Suatu waktu ia jadi kamar tidur, berikutnya jadi ruang makan atau ruang keluarga. Tinggal bereskan futon dan masukkan ke lemari.

Dari ilustrasi-ilustrasi tadi, kita sudah punya sedikit gambaran tentang bagaimana gaya hidup minimalis. Praktisi minimalisme Fumio Sasaki bilang itu adalah praktek menyederhanakan hidup dengan mengurangi kepemilikan barang berlebihan untuk mengetahui apa saja yang benar-benar penting dan berguna bagi kehidupan. 

Di Indonesia, salah satu pesohor yang secara terbuka mengaku menerapkan gaya hidup ini adalah stand up comedian Raditya Dika. Lima tahun lalu, ia mengunggah video di channel YouTube-nya yang menjelaskan alasannya menjual seluruh koleksi jam tangannya. 

“Walaupun gua belum sepenuhnya minimalis, cuman gua jadi tau beberapa patokan-patokan mereka untuk menentukan barang mana yang (penting) dalam hidup atau tidak. Salah satunya adalah jika barang tersebut tidak dipakai selama 90 hari atau tidak ada gunanya dalam 90 hari, maka barang tersebut wajib disingkirkan,” celoteh Radit.

Komedian itu mengaku awalnya tertarik dengan gaya hidup minimalis setelah menonton dokumenter Netflix, Minimalism. Kemudian saat mencari tahu lebih lanjut, ia merasa dalam beberapa aspek, gaya hidup itu tanpa sadar sudah dilakukannya sejak lama. 

Di antara kita mungkin sudah ada yang mencoba gaya hidup minimalis. Sementara sebagian masih mencari tahu dan bertanya-tanya dari mana harus memulainya. Kami pun ngobrol bareng Cynthia Suci Lestari, pendiri Lyfe With Less alias komunitas minimalis pertama di Indonesia yang berjalan sejak Desember 2018. 

Mau hidup minimalis, mulai dari mana?

Komunitas Lyfe With Less berbasis di Jakarta. Cynthia mengawalinya dari akun Instagram @lyfewithless yang kini sudah punya lebih dari 130 ribu followers. Ia pun bercerita awalnya melakoni gaya hidup minimalis karena perubahan nasib tak terduga.

Sebelumnya, ia hidup dengan prinsip YOLO, you only live once. Kalau ada yang bisa dibeli hari ini, kenapa tidak? Dan karena waktu itu sedang zamannya gempuran tren kecantikan dan fast fashion, ia jadi menumpuk produk-produk kecantikan dan pakaian di kosan.

“Tiba-tiba secara gak disengaja, aku harus jadi sandwich generation. Ayahku bangkrut, sehingga aku terpaksa harus ngutang KPR rumah di saat gak ada tabungan, dan lagi foya-foyanya banget,” kenang Chyntia. 

“Dari situ akhirnya aku mutusin buat ngurangin hampir 80 persen isi kosan. Terus juga cut spending aku kurangin banget. Seminggu sekali doang hang out. Gak liburan-liburan lagi. Dan ternyata lumayan banget hasil jualan barang bekasku,” sambungnya.

Lama-lama, ia menemukan kesenangan dalam beberes sehingga itu menjadi hobi barunya. Kebiasaan tadi berlanjut ke ranah digital dengan mengurangi following di media sosial dan intensitas menatap layar hp. 

“Kemudian juga ada relationship pertemanan yang gak aku temenin lagi, karena pada saat itu tendensinya mengarahkan ke over konsumsi. Dari situ aku baru sadar kalau hidup dengan barang yang penting-penting aja, pertemanan yang esensial, dan juga sosmed yang teratur, itu jauh bikin hidup lebih tenang,” ujarnya.

Dari situ ia juga belajar satu hal, bahwa barang hanya sebatas barang. Semua itu tak bisa membantu apa pun ketika ia punya masalah. Kemudian ia mulai mencari-cari apa korelasi antara beberes dengan kesehatan mental.

“Ternyata yang aku lakuin itu bukan beberes, tapi decluttering. Karena decluttering itu adalah kegiatan memilah dan mengeliminasi. Jadi aku tuh gak sekadar ngeberesin barang, tapi juga mengeliminasi segala distraksi-distraksi dalam hidup aku yang gak penting,” ucapnya.

Setelah mengurangi banyak barang miliknya, ia merasa kamarnya jauh lebih lapang. Hati dan pikirannya sekaligus terasa lebih lega. “Lebih happy sih rasanya. Karena kan kita cuma mikirin yang penting aja buat kita. Secara praktikal, aku juga merasa hidup itu lebih sat set. Ngerjain apa-apa itu gak lama. Termasuk relasi dengan benda itu rasanya lebih mudah untuk milih barang dan lebih cepat.”

Waktu awal-awal memulai Lyfe With Less, Cynthia mendapati masih banyak orang di sekitarnya berpikir gaya hidup minimalis adalah pilihan yang ekstrem. Padahal, setelah bertahun-tahun ia jalani, gaya hidup minimalis justru sangat mudah diterapkan.

Ia pun menjelaskan beberapa langkah mudah untuk memulai hidup sebagai minimalist. Pertama, kita bisa menetapkan tujuan dulu, seperti ingin hemat pengeluaran; mengurangi beban saat beberes rumah; atau ingin hidup tenang tanpa was-was ketinggalan tren.

Selanjutnya, decluttering atau mengeliminasi benda-benda yang selama ini menjadi clutter atau 'bikin kacau' dalam hidup. Kita bisa mulai dari isi lemari, misalnya mengidentifikasi apakah ada pakaian dengan warna atau model serupa dan jumlahnya melebihi kebutuhan. Lalu coba ke dapur, jangan-jangan jumlah peralatan makan kita kebanyakan. 

Soal decluttering ini, Chyntia menceritakan aturan 80/20 atau Hukum Pareto. Hukum ini awalnya ditemukan ekonom Italia, Vilfredo Pareto tahun 1890-an. Ia mengamati 80 persen tanah di Italia hanya dimiliki 20 persen populasi. Di kebunnya, 80 persen buah-buahan yang dihasilkan juga hanya berasal dari 20 persen tanamannya. Tercetuslah ide itu.

Dalam kepemilikan barang, aturan 80/20 diterjemahkan bahwa pada umumnya, hanya 20 persen dari barang milik kita yang dipakai untuk 80 persen keperluan sehari-hari. 

Aturan ini bisa mempermudah proses eliminasi barang saat decluttering. Kita dapat mengenali barang mana saja yang paling sering dipakai dan kurang berfungsi atau bahkan tidak dipakai sama sekali. Misalnya, kita hanya tinggal berdua, tetapi jumlah cangkir di rumah ada 10 buah. Maka kita bisa mengurangi sisanya yang tak diperlukan. 

Setelah memilah-milah barang mana yang perlu dan tidak, kita bisa lanjut memanfaatan barang yang sudah kita punya. Cynthia berpesan gaya hidup minimalis bukannya soal bikin rumah estetik atau tidak. Jadi kita tidak perlu membeli barang baru dengan warna seragam, misalnya. Alih-alih begitu, kita bisa memanfaatkan toples bekas jadi tempat bumbu dll. 

“Jadi yang benar itu belajar jadi minimalis, bukan belanja jadi minimalis. Misalnya pengen jalanin minimalism terus bajunya jadi item semua, itu gak kayak gitu,” kelakar Cynthia.

“Terus pakai sampai habis, sehingga mengurangi laju over konsumsi dan kita jadi bertanggung jawab dengan apa yang kita beli. Lalu pakai sampai rusak biar menghindari mindset lempar beli baru. Dan terakhir, bijak berkonsumsi, salah satunya adalah beli sesuai kebutuhan. Jangan beli based on trend atau diskon-diskonan,” tutupnya.

>