Sosok Tommy, Anak Emas Soeharto dengan Segudang Kontroversi

ERA.id - Trah Orde Baru tidak lengkap tanpa membahas sepak terjang Soeharto.

Bukan hanya sang presiden, sorotan juga tertuju pada keturunannya, tak terkecuali si putra bungsu Hutomo Mandala Putra alias Tommy.

Sosok Tommy diingat sebagai dalang penembakan seorang hakim. Tommy Soeharto, lahir pada 15 Juli 1962 sebagai putra termuda Presiden Soeharto dan Ibu Tien. Sejak kecil si bungsu sudah menandakan memiliki hidup yang menarik.

Tommy kecil pernah cedera di momen G30S/PKI terjadi. Saat itu, Tommy sedang dirawat karena tersiram sepanci sup buntut masakan ibunya.

Soeharto pulang di tengah malam 1 Oktober 1965 untuk istirahat setelah berhari-hari menemani Tommy. Beberapa jam kemudian, ia mendapat telepon soal dugaan pembunuhan para jenderal oleh PKI.

Usai Supersemar, karier Soeharto semakin gemilang dan naik menjadi Presiden Kedua Republik Indonesia. Senada dengan hidup sang anak, Tommy Soeharto

Dikutip dalam biografi milik Bu Tien, Tommy diduga kuat sebagai anak favorit Soeharto dan Tien. Hal ini dikarenakan kemiripannya pada sang ayah dibandingkan saudaranya.

Tommy dianggap lebih lincah daripada Sigit dan Bambang Soeharto. Saat ia beranjak dewasa, Tommy menumbuhkan kumis dan hampir tak pernah terlihat tanpa kacamata RayBan yang membuatnya begitu mirip dengan sang ayah.

Soeharto dekat dengan Tommy

Layaknya anak pejabat lainnya yang lahir kaya raya dan dimanja orang tuanya, tak butuh waktu lama untuk Tommy menumbuhkan sifat buruk.

Ia dikenal senang dekat dengan wanita, terutama aktris. Si Bungsu juga dekat dengan kehidupan malam seperti dugem dan judi. Bahkan pada satu malam, Tommy pernah merugi hingga $1 juta.

Memasuki masa dewasa, Tommy semakin dekat dengan reputasi keluarganya. Ia terlibat dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ia juga terlibat dalam berbagai kasus pengemplangan pajak.

Salah satu kasus yang paling terkenal adalah pembunuhan seorang hakim yang memvonisnya. Kejadian itu terjadi tahun 1999, setahun sejak lengsernya Soeharto. Artinya, Tommy sudah tidak sekebal hukum seperti dulu.

Dikutip dari Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Mahkamah Agung, Tommy sedang terlibat kasus tukar guling antara PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Bulog bersama Ricardo Gelael, ayah tiri aktor Fachri Albar. Pada September 1999, Tommy divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lalu, jaksa penuntut umum mengajukan kasasi.

Namun, tiba-tiba pada 22 September 2000, Majelis Kasasi menjatuhkan vonis bersalah atas korupsi di mana Tommy dan Ricardo harus dipenjara selama 18 bulan. Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita bertugas menjadi Ketua Majelis Kasasi saat itu.

Selain masa kurungan, Syafiuddin juga mewajibkan Tommy dan Ricardo untuk membayar denda Rp30,6 miliar. Jelas, masa kurungan yang pendek dan denda yang sedikit untuk kekayaan total Tommy yang mencapai triliunan.

Namun bukannya langsung ditahan, Tommy justru masih bisa pergi menemui Presiden Keempat Gus Dur. Pertemuan ini ia lakukan untuk membujuk sang presiden agar memenuhi grasinya.

Gus Dur menolak permohonan Tommy. Pada 3 November 2000, Tommy kabur agar tidak dibui. Kaburnya Tommy pun berhasil, sampai-sampai Polri  mengirim surat resmi pada Interpol untuk membantuk mencari putra bungsu diktator itu. Di Indonesia, Polri membentuk tim khusus pencari Tommy, Tim Kobra, yang diketuai Tito Karnavian.

Hakim Syafiuddin Terbunuh

Kamis 26 Juli 2001, Hakim Syafiuddin Kartasasmita dibunuh. Di itu, Syafiuddin berangkat kerja menuju MA bersama supirnya dengan mobil Honda CRV. Ketika melewati  Jalan Pintu Air Serdang Kemayoran Jakarta, mobil sang hakim disalip. Kendaraan yang menyalip mobil Syafiuddin adalah motor RX King, dengan penumpang 2 orang.

Tiba-tiba saja, penumpang motor yang dibonceng mengeluarkan senjata api dan menghujani Syafiuddin beserta supirnya dengan timah panas. Sang hakim pun terkena tembak di rahang, dada, dan lengan.

Beruntung, sang supir selamat. Namun, Syafiuddin merenggang nyawa karena luka tembakannya parah dan mengenai posisi vital. Pada 6 Agustus 2001, polisi menggeledah kediaman Tommy dan menemukan senjata api serta bahan peledak. Namun, keberadaan Tommy masih misterius.

Polisi lalu menetapkan Tommy Soeharto sebagai tersangka pembunuhan berencana Syafiuddin. Dugaan polisi semakin kuat saat kedua penembak sang hakim, Mulawarman dan Noval Hadad, ditangkap. Mereka mengaku diperintah Tommy untuk membunuh Syafiuddin dengan bayaran Rp100 juta.

Pada 9 Agustus 2001, masa toleransi polisi untuk Tommy menyerahkan diri habis. Perintah tembak di tempat dikeluarkan untuk Tommy. Pada 28 November 2001, Tommy ditangkap sedang tertidur pulas di sebuah rumah di Tangerang tanpa perlawanan berarti.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis si Anak Emas Soeharto ini 15 tahun penjara atas kepemilikan senjata dan pembunuhan berencana. Rupanya, ada dugaan selain Syafiuddin yang menjatuhkan vonis bersalah pada Tommy, sang hakim juga menolak uang suap sejumlah $20,000.

Selama sidang, Tommy sering tidak hadir. Bahkan, seperti Adiguna Sutowo, Tommy sering membayar massa untuk berperilaku seperti pendukungnya di luar ruang sidang, menyerukan pesan-pesan agar ia dibebaskan.

Selama 3 minggu pertama ia dipenjara, ia dikurung di Rutan Cipinang, Jatinegara, Jakarta Timur. Tommy juga menghabiskan hukumannya di Blok H yang terkenal mewah!

Ia kemudian dipindahkan ke Nusa Kambangan. Mewahnya, di selnya, terdapat sofa, TV, kulkas, AC, dispenser, laptop, dan ponsel.

Tommy pun seringkali bepergian keluar penjara ke Jakarta dengan alasan kesehatan. Namun, ia justru sering terlihat bermain golf di lapangan-lapangan golf eksklusif Jakarta. Pada Juni 2005, masa tahanan Tommy dipangkas dari 15 tahun menjadi 10 tahun.

Namun, pemangkasannya belum selesai sampai di situ. Setahun kemudian, Tommy dibebaskan dari penjara setelah mendapat pemangkasan 10 tahun lamanya.

Banyak orang menilai, remisi Tommy ini murni karena kekayaan dan pengaruh keluarganya. Pada dekade 2010-an, Tommy mulai muncul lagi ke dunia politik dengan menghadiri acara Peringatan Supersemar. Acara tersebut kental sebagai glorifikasi Orde Baru.

Laporan: Farah Tifa dan Galih Ridwan