"Tragedi Berdarah" Orde Baru: Kasus Kerusuhan Tanjung Priok
ERA.id - Presiden Soeharto menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal Indonesia pada awal 1980-an, di masa pemerintahan Orde Baru. Artinya, semua organisasi di Indonesia harus berlandaskan Pancasila dan tidak boleh ada ideologi lainnya. Apabila berlandaskan ideologi lain maka organisasi itu akan dituding anti-Pancasila.
Saat itu, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menerima peraturan ini. Bagi NU, isi Pancasila tak bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi Muhammadiyah, ini adalah bentuk penghargaan. Karena, perumusan Pancasila juga melibatkan sejumlah tokoh Muhammadiyah.
Namun, penerimaan dari NU dan Muhammadiyah tak menghentikan kekerasan TNI terhadap mereka yang diduga, belum diadili atau terbukti, menentang prinsip asas tunggal tersebut. Muslim Tanjung Priok pun protes. Konflik memanas pada 7 September 1984.
Wilayah Tanjung Priok, yang khas dengan bau laut dan ikannya, memang bukanlah wilayah yang dianggap maju secara ekonomi. Nama "Tanjung Priok" diduga berasal dari nama Mbah Priok, seorang ulama yang dipercaya merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW sehingga wilayah yang namanya berasal dari seorang ulama ini pun secara alami memiliki banyak umat muslim. Pada tahun itu, mayoritas penduduk Tanjung Priok tinggal di lingkungan kumuh dan bekerja sebagai kuli.
Sehari sebelumnya, Bintara Pembina Desa (Babinsa) datang ke musala kecil bernama As-Sa'dah untuk memerintahkan penurunan pamflet dalam musala yang dianggap provokatif karena berisi seruan mengenai masalah kaum muslim.
Pihak musala tak mengindahkan perintah mereka
Akhirnya, keesokan harinya pada 7 September 1984, anggota ABRI beragama Katolik Sersan Satu Hermanu, datang untuk mencabut paksa pamflet itu.
Namun, tindakannya menyinggung pihak musala. Pasalnya, ia tak lepas sepatu saat masuk dan dinding musala disiram air got. Bahkan, al-Qur'an pun diinjak olehnya. Marah, warga membakar motor sang sersan.
Konflik belum berakhir. Tiga hari kemudian, warga berpapasan dengan salah satu anggota Komando Rayon Militer (Koramil) yang menyiram air got ke dalam musala. Cekcok tak bisa dihindari.
Untungnya, Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman, dua orang Takmir Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat, bisa melerai. Mereka membawa sang anggota Koramil dan seorang prajurit lagi ke sekretariat Takmir Masjid agar bisa menyelesaikan perkara secara kekeluargaan.
Syarifuddin dan Sofyan menyarankan perkara disudahi mengingat suasana jamaah serta rakyat sekitar yang berkumpul semakin panas. Kedua prajurit menolak. Akhirnya, motor salah seorang prajurit itu dibakar oleh warga yang marah besar.
Sialnya, Syarifuddin dan Sofyan menanggung konsekuensi dari pembakaran itu. Mereka ditangkap bersamaan dua orang lainnya: Ahmad Sahi, pimpinan musala, dan Muhammad Nur, pelaku pembakaran motor.
Penangkapan ini, tentu saja, semakin membuat rakyat geram. Mereka menuntut pembebasan keempat orang tersebut.
12 September 1984, diadakan ceramah terbuka tempat berbagai orang menyampaikan permasalahan yang melanda Indonesia. Amir Biki merupakan salah satu orang itu, yang menggaungkan ultimatum pada aparat. Ia mengancam akan mengerahkan massa apabila keempat tahanan dari Tanjung Priok tidak dibebaskan malam itu juga.
Sebanyak 1.500 massa berkumpul usai ancaman Amir, bergerak dengan kompak menuju Kantor Polsek dan Koramil. ABRI siaga. Sebelum massa yang mendukung ultimatum Amir itu tiba di tujuan, mereka telah dikepung oleh angkatan bersenjara dari segala arah. Suasana mencekam. Lalu, terdengar suara tembakan memecah langit.
Senjata kemudian diacungkan ke arah ribuan massa yang bergerak. Dalam sekejap, terdengar tembakan beruntun dari segala arah. Teriakan pun ikut mengiringi suara timah panas itu. Ratusan demonstran tersungkur berlumuran darah begitu saja. Panik dan ketakutan, massa yang tersisa berusaha mencari jalan kabur. Namun, mereka dikepung. Kemudian, bukan lagi senapan yang menembaki mereka, melainkan sebuah bazooka.
Jalanan berubah menjadi lokasi pembantaian. Ratusan orang terbaring berlumurah darah. Ada yang masih hidup, ada yang sudah mati.
"Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!" teriak salah satu tentara yang didengar warga yang berhasil bersembunyi dari tembakan buta ABRI.
Mereka yang terluka diangkut ke dalam truk oleh tentara untuk dibawa ke Rumah Sakit Militer di Jakarta Pusat. Rumah sakit lain, sementara itu, diancam untuk jangan menerima korban dari Tanjung Priok.
Penembakan berhenti. Setelah jalanan bersih dari korban, pemadam kebakaran datang untuk membersihkan genangan darah yang mewarnai jalanan. Sejam kemudian, Pangab Jenderal LB Moerdani datang memeriksa lokasi kejadian. Daerah itu kemudian diubah menjadi daerah operasi militer.
Kata Moerdani, ada 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka dalam tragedi ini. Namun, ini kemungkinan angka yang dipalsukan. Menurut Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak), ada sekitar 400 korban tewas dalam penembakan bengis itu, termasuk Amir Biki. Ini belum termasuk mereka yang luka.
Soeharto sendiri tak menyesal sama sekali atas penembakan yang menewaskan banyak warga sipil ini.
"Peristiwa Tanjung Priok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin di sana. Melaksanakan keyakinan dan syariat agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak. Terhadap yang melanggar hukum, ya tentunya harus diambil tindakan," katanya.
Referensi:
Jonathan, K., Taslim, N. Y., & Dinata, C. M. (2022). Kasus Kerusuhan Tanjung Priok Tahun 1984 Sebagai Pelanggaran HAM di Indonesia. Nusantara: Jurnal Pendidikan, Seni, Sains dan Sosial Humaniora