PBB Temukan Bukti Perbudakan Terorganisir di Korea Utara, Kerja Paksa Tanpa Digaji
ERA.id - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkap adanya sistem kerja paksa yang terorganisir di Korea Utara. Sistem ini sebagian besar dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan berupa perbudakan.
Berdasarkan laporan kantor hak asasi manusia PBB, di negara yang tertutup dan otoriter itu ditemukan adanya kasus yang dikendalikan dan dieksploitasi melalui sistem kerja paksa yang ekstensif dan berlapis-lapis.
"Kesaksian dalam laporan ini memberikan gambaran yang mengejutkan dan menyedihkan mengenai penderitaan yang diakibatkan oleh kerja paksa terhadap orang-orang," kata ketua hak asasi manusia PBB Volker Turk dalam sebuah pernyataan, dikutip AFP, Rabu (17/7/2024).
Laporan itu menyebutkan banyak orang yang dipaksa kerja dalam kondisi yang tidak manusiawi. Bahkan mereka tidak mendapat gaji, kebebasan memilih, perwatan medis, hingga tidak mendapat makanan dan tempat tinggal.
"Orang-orang ini dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak dapat ditoleransi seringkali di sektor-sektor berbahaya dengan tidak adanya gaji, kebebasan memilih, kemampuan untuk pergi, perlindungan, perawatan medis, waktu istirahat, makanan dan tempat tinggal," jelasnya.
Selain itu, banyak di antara mereka yang mengalami penyiksaan berupa pemukulan secara rutin. Sejumlah perempuan yang bekerja juga menghadapi risiko kekerasan seksual.
Seorang saksi yang mengaku sempat melakukan kerja paksa pada tahun 2015-2023 mengaku sering kali dipukul bila pekerjaannya tidak memenuhi target. Mereka berhasil melarikan diri dari Korea Utara dan memilih tinggal di luar negeri.
"Jika kami tidak memenuhi target harian, kami dipukul dan makanan kami dipotong," kata salah satu korban.
Tuduhan terbaru ini menyusul laporan penting yang diterbitkan oleh tim penyelidik PBB satu dekade lalu yang mendokumentasikan kerja paksa dan pelanggaran hak asasi manusia yang merajalela seperti kelaparan yang disengaja, pemerkosaan dan penyiksaan di Korea Utara.
Laporan baru ini memusatkan perhatian pada sistem yang dilembagakan, dengan enam jenis kerja paksa yang berbeda, termasuk selama wajib militer minimum 10 tahun di negara tersebut.
Ada juga pekerjaan wajib yang ditugaskan oleh negara dan penggunaan "Shock Brigade" yang revolusioner, atau kelompok warga yang diorganisasi oleh negara yang dipaksa melakukan "pekerjaan manual yang berat", seringkali di bidang konstruksi dan pertanian.
Proyek-proyek tersebut dapat berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun, yang mana selama waktu tersebut para pekerja harus tinggal di lokasi dan hanya menerima sedikit atau tanpa imbalan sama sekali.
Selain itu, terdapat pula temuan kerja paksa lainnya, termasuk mobilisasi anak-anak sekolah, dan pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang yang dikirim ke luar negeri untuk mendapatkan mata uang asing bagi negara.
Warga Korea Utara misalnya dilaporkan dikirim untuk membantu membangun fasilitas menjelang acara Piala Dunia sepak bola di Rusia dan Qatar.
"Mereka yang dikirim ke luar negeri kehilangan hingga 90 persen gaji mereka kepada negara, bekerja di bawah pengawasan terus-menerus, dan paspor mereka disita, dan hampir tidak ada waktu istirahat," demikian laporan itu.
Diketahui sistem tersebut 'bertindak sebagai sarana bagi negara untuk mengontrol, memantau dan mengindoktrinasi penduduk', kata laporan itu, seraya menambahkan bahwa dalam beberapa kasus tingkat kontrol dan eksploitasi dapat mencapai ambang batas kepemilikan.
"Ini mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa perbudakan," kata badan itu.
Lebih lanjut, kekhawatiran paling serius terjadi di tempat-tempat penahanan, di mana para korban kerja paksa secara sistematis harus bekerja di bawah ancaman kekerasan fisik dan dalam kondisi yang tidak manusiawi.
Laporan hari Selasa menyerukan Korea Utara untuk mengakhiri kerja paksa dalam segala bentuknya, mengakhiri perbudakan dan praktik-praktik serupa perbudakan, dan menghapuskan penggunaan pekerja anak, di antara daftar panjang rekomendasinya.
Mereka juga meminta Dewan Keamanan PBB untuk merujuk situasi tersebut ke Pengadilan Kriminal Internasional.