Deklarasi Juanda Jalan Maritim Nusantara

Jakarta, era.id - Wacana membangun Nusantara sebagai negara maritim tidak lahir begitu saja. Peran penting sektor maritim tak dapat diabaikan bagi negara kepulauan seperti negeri tercinta, Indonesia.

Peran penting sektor maritim untuk Indonesia sudah diketahui sejak lama, bahkan jauh sebelum Republik ini terbentuk, ketika Tanah Air masih terdiri dalam bentuk kerajaan-kerajaan. 

Menurut Peneliti satu-satunya di DPR RI, Poltak Partogi Nainggolan dalam Politica (2015), dilejaskan bahwa fokus kerajaan-kerajaan di Nusantara dalam pengembangan dan kontrol atas sektor maritim memberikan pengaruh besar terhadap kejayaan sampai ke mancanegara.

Sebaliknya, "Surutnya peran mereka kemudian terjadi akibat mundurnya kerajaan besar berbasis kekuatan maritim seperti Sriwijaya dan Majapahit, dan munculnya kerajaan-kerajaan kecil berbasis di darat," tulisnya.

Perkembangannya semakin buruk saat negara-negara barat mulai bercokol di Nusantara. Masuknya negara-negara barat seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda, membuat pudarnya perhatian pada sektor maritim dan terhadap pentingnya peran laut.

Hal ini terus berlangsung sampai periode dimana Republik Indonesia akhirnya terbentuk. 

Walupun Republik Indonesia telah terbentuk, namun kemerdekaan belum 100 persen diraih. Baru "tanah" Indonesia saja yang merdeka, sedangkan "air"nya masih jauh panggang dari api. 

Pasca kemerdekaan, aturan perlautan Republik Indonesia masih mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda yakni Teritoriale Zeeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).

Dalam peraturan itu, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekililingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekililing sejauh 3 mil dari garis pantai. Artinya kapal-kapal asing boleh melintas dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau di Nusantara. 

Kemudian Bangsa Indonesia mulai menyadari bahwa sebagai kesatuan wilayah Indonesia dibawah peraturan TZMKO sangat merugikan bangsa Indonesia.

Maka pada hari ini, tanggal 13 Desember 61 tahun lalu (1957) Pemerintah Indonesia yang pada saat itu dipimpin oleh Ir. Djuanda mengeluarkan pengumuman pemerintah yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda. 

Laut Indonesia Berdaulat 

Deklarasi ini menyatakan bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic State). Sehingga seperti ditulis Danar Widiyanta dalam Upaya Mempertahankan Kedaulatan dan Memberdayakan Pulau-Pulau Terluar Indonesia Pasca Lepasnya Sipadan dan Ligitan (2010), bahwa 13 Desember 1957 adalah tonggak sejarah kelautan Indonesia yang kemudian dikenal dengan Wawasan Nusantara.

Deklarasi ini kemudian dilembagakan melalui Undang-undang No 4 tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Dalam beleid tersebut mengukuhkan batas wilayah Indonesia adalah 12 mil dari garis pantai pulau-pulau terluar. 

Deklarasi Djuanda menjadi dasar dalam hukum laut internasional seperti tercantum dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang dikenal dengan United Nations Convension on the Law of the Sea (UNCLOS) yang ketiga tahun 1982 yang selanjutnya disebut Hukum Laut (HUKLA) 1982.

HUKLA 1982 ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985. Akibatnya luas wilayah Indonesia berlipat ganda dari 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2 dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tetapi pada waktu itu belum diakui secara internasional. 

Dengan berdaulatnya laut Indonesia, maka telah sampailah negara Republik Indonesia menjadi negara kepulauan berporos maritim. Sekarang cita-cita tersebut dipertaruhkan lewat visi Nawacita besutan Presiden Joko Widodo yakni "Indonesia sebagai poros maritim dunia".