Mahasiswi Undip Semarang Bunuh Diri, DPR Sorot Pendidikan Kedokteran

ERA.id - Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto mengatakan, menyorot kasus Aulia Risma Lestari, mahasiswi program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Prodi Anastesi Universitas Diponegoro Semarang, yang diduga bunuh diri.

Katanya, hal itu menunjukkan kalau reformasi pendidikan kedokteran perlu segera dilaksanakan. Kejadian tersebut, katanya, menjadi catatan buruk dunia pendidikan dan kedokteran.

“Meninggalnya salah satu calon dokter spesialis anastesi ini menciderai keinginan bangsa ini untuk melakukan reformasi di bidang kesehatan. Saya turut berduka cita atas meninggalnya dr Aulia,” kata Edy lewat keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis kemarin.

Dari pemberitaan yang beredar, polisi menyebutkan bahwa Aulia tidak kuat menghadapi seniornya yang memerintah sewaktu-waktu dan minta banyak hal.

Edy menilai, kecurigaan ini juga harus menjadi perhatian tidak hanya kepolisian tapi juga Kementerian Kesehatan dan Kemendikbudristek.

Menurutnya, alibi pembentukan karakter calon dokter yang berujung pada perundungan adalah sebuah kesalahan. "Tidak zamannya lagi senior menekan juniornya. Meminta ini itu. Biarkan mahasiwa kedokteran ini mengenyam pendidikan dengan merdeka karena beban akademiknya saja sudah berat," saran Edy.

Edy mendorong agar polisi, Kemenkes, dan Kemendikbudristek menyelidiki kasus tewasnya Aulia, apalagi Kemenkes mengakui adanya dugaan perundungan dan kelebihan jam kerja.

Selain itu, dia meminta agar penyelidikan motif Aulia menyuntikkan obat penenang dan berakhir tewas harus diusut tuntas. Apalagi, ujarnya, polisi telah menemukan buku harian korban yang menceritakan beratnya tuntutan menjadi mahasiswa kedokteran serta aksi seniornya.

Selain itu, dia meminta pemerintah dan organisasi profesi kedokteran mengakui adanya praktik ini lalu serius melakukan perbaikan.

Dia merujuk pada Instruksi Menteri Kesehatan (Imenkes) Nomor HK.02.01/Menkes/1512/2023 tentang Upaya Pencegahan dan Penanganan Perundungan di Rumah Sakit Pendidikan Dalam Lingkungan Kemenkes. Menurutnya, harusnya aturan ini dibarengi dengan peraturan dari Kemendikbudristek juga.

“Pengawasannya juga harus jalan. Jangan hanya membuat aturan saja. Saya anggap meninggalnya Aulia ini sebagai nihilnya pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan dokter,” tuturnya.

Dia menjelaskan, adanya kasus ini juga menjadi desakan harus segera dibentuk kolegium dan konsil kedokteran yang sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Lembaga ini  berhak melakukan transformasi dalam menyusun standar pendidikan, standar proses dan penilaian, serta menguji kompetensi.

"Jangan biarkan senior yang menjadi penentu proses pembelajaran dan kelulusan residen dokter spesialis dan akhirnya seniornya melakukan tindakan sewenang-wenang karena merasa punya kuasa,” ujar Edy.