Dapatkah Bioplastik Jadi Solusi Sampah di Indonesia?

Jakarta, era.id - Persoalan limbah plastik merupakan masalah klasik yang sulit dicari jalan keluarnya. Meskipun sudah ada berbagai upaya baik dari pemerintah maupun swasta dalam menanggulangi permasalahan ini, namun tampaknya belum ada hasil yang memuaskan.

Bulan lalu, kematian paus jenis Sperm wale yang terdampar di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) geger. Kabar tersebut menjadi buah bibir lantaran di dalam perut hewan mamalia itu terdapat tumpukan sampah plastik seberat 5,9 kg. 

Memang belum ada vonis dari para pemangku kepentingan bahwa paus itu mati karena memakan sampah plastik. Tapi, kejadian itu membuktikan bahwa paus tersebut telah menelan sampah plastik yang ada di lautan. Hal itu menjadi bukti bahwa laut Indonesia masih dipenuhi oleh sampah.

Kondisi polusi plastik di laut Indonesia mengkhawatirkan. Seperti dikatakan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Indonesia penyumbang sampah terbanyak kedua di laut. Menurutnya jika sampai tahun 2030 sampah tidak dikurangi, maka akan lebih banyak sampah daripada ikan.

Jika dilihat angkanya, Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) pernah mencatat, dalam setahun, ada sekitar 3,2 juta ton limbah plastik. Sedangkan menurut data World Economic Forum 2016, ada sebanyak 10 miliar lembar per tahun atau setara 85 ribu ton kantong plastik yang dibuang ke lingkungan. 

Seiring memburuknya persoalan yang mempertaruhkan kelangsungan lingkungan hidup mahkluk hidup tersebut, mendorong lahirnya sebuah inovasi. Kevin Kumala, pemuda asal Bali berhasil menciptakan plastik ramah lingkungan. Bahkan saking ramahnya, ia menciptakan bioplastik degradable yang mudah larut dan bisa diminum. Kini inovasi buatannya banyak dipakai di seluruh dunia. 

Inspirasi itu datang sepulang dirinya ke Indonesia usai menyelesaikan pendidikannya di Amerika Serikat pada 2009 lalu. Seperti dikutip merdeka.com, dirinya terkejut melihat perubahan yang terjadi di Pantai Bali. Ia bersama rekannya melakukan penelitian selama tiga tahun untuk dapat menciptakan Bioplastik yang terbuat dari komoditas nabati.

Karena ini bicara soal bahan pengganti plastik, maka ongkos produksinya juga harus dibuat kompetitif dengan plastik konvensional. Demi menemukan bahan yang pas dan murah, Ia bersama rekanannya itu mencoba berbagai bahan mulai dari jagung, kedelai hingga singkong. Maka terciptalah plastik ramah lingkungan yang sudah mendapatkan oral toxicity test --yakni suatu tes yang membuktikan bahwa ketika sebuah plastik layak dikonsumsi oleh mamalia laut.

Hasil karyanya mendapat perhatian dunia, bioplastik buatannya itu diliput oleh media asing seperti CNN, BBC, dan beberapa media besar lainnya. Selain itu hasil inovasi Kevin ini juga lebih banyak dipesan oleh negara asing. Sekitar 80 persen pelanggannya berasal dari luar, kebanyakan ke Australia. 

Dalam rangka menanggulangi polusi plastik, salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan membuat regulasi pembatasan penggunaan plastik. Kebijakan sejenis itu sempat bergulir pada tahun 2016. Lewat kebijakan ini, siapa saja yang ingin memakai kantong plastik untuk membawa belanjaan dikenakan biaya tambahan. Namun masa uji coba berakhir pada 30 September 2016. Setelah itu kantong plastik digratiskan kembali. 

 

Wacana mengenai peraturan yang mengatur penggunaan kantong plastik terus bergulir. Kabarnya kebijakan tersebut masih disiapkan. Rencananya aturan tersebut baru akan terbit tahun depan.

Belajar dari Jepang

Negara Jepang ternyata sudah menerapkan kebijakan yang bertujuan untuk memangkas sampah plastik sekali pakai. Seperti dinukil Japantimes, pada 2013 pemerintah sudah menargetkan penggunaan bioplastik sebanyak 70.000 juta bioplastik. 

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan penggunaan bioplastik di negeri sakura ini, pada bulan Oktober 2018, pemerintah Jepang membuat target yang ambisius untuk penggunaan plastik ramah lingkungan ini. Rencananya pemerintah Jepang akan meningkatkan target penggunaan bioplastik dinegaranya menjadi sekitar 2 juta ton pada 2030. 

Kebijakan ini merupakan ambisi dari pemerintah yang ingin memotong sampah plastik sekali pakai sebanyak 25 persen. Rencananya kebijakan ini untuk menunjukan komitmen Jepang mengatasi masalah lingkungan menjelang KTT G20 di Osaka pada Juni tahun depan. 

Seperti diketahui, Jepang merupakan negara penghasil sampah plastik terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Oleh karenanya, kebijakan yang tengah disiapkan oleh kementerian Lingkungan Hidup Jepang ini menjadi salah satu program prioritas dari negara yang terkenal dengan etos kerja tinggi tersebut.

Tag: sampah