DPR Gelar Rapat Paripurna Pagi Ini untuk Putuskan RUU Pilkada
ERA.id - Rapat paripurna DPR RI akan digelar hari ini, Kamis (22/8/2024), dengan agenda tunggal pengambilan keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada.
Berdasarkan undangan agenda rapat yang diterima Era.id, rapat akan berlangsung pukul 09.30 WIB di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
"Acara: Pembicaraan Tingkat II /Pengambilan Keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang" tulis undangan tersebut.
Sebelumnya, Rabu (21/8/2024), Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah menyetujui untuk melanjutkan pembahasan RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR RI terdekat guna disahkan menjadi undang-undang. Persetujuan itu disepakati dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Dalam rapat kemarin, ada dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati DPR. Pertama, penyesuaian Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA), bukan Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf e yang disepakati "berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih".
Kedua, perubahan Pasal 40 dengan mengakomodasi sebagian putusan MK yang mengubah ketentuan ambang batas (treshold) pencalonan pilkada.
Untuk diketahui, Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 (Putusan MK 60) mengubah isi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada. Lewat putusan tersebut, MK menyatakan partai politik (parpol) atau gabungan parpol peserta pemilu bisa mencalonkan kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD, tetapi cukup dengan hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah masing-masing dengan ambang batas yang ditentukan MK.
Namun, rapat panja DPR RI memutuskan parpol yang punya kursi DPRD tetap memakai aturan lama, yakni mendapatkan minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah.
Pendapat pakar hukum tata negara
Terkait hal ini, Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Brawijaya, Prof. Ali Safa’at menegaskan bahwa DPR RI telah melanggar konstitusi dan secara otomatis putusan mereka batal karena bertentangan dengan putusan MK yang tetap dan mengikat.
Ia menjelaskan awalnya permohonan yang diajukan ke MK adalah untuk menguji Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada. Pasal tersebut mengatur bahwa yang bisa mencalonkan kepala daerah hanya parpol yang punya kursi DPRD.
"Jadi kalau yang dimohonkan oleh pemohon itu memang sebetulnya adalah agar ketentuan yang menyatakan 25 persen perolehan itu juga berlaku bagi parpol yang tidak punya kursi di DPRD," ujar Ali kepada Era.id, Rabu (21/8/2024).
"Tetapi kan dalam putusan Mahkamah itu, selain menguji Pasal 40 ayat (3), juga lalu menguji berdasarkan fakta adanya kemungkinan calon perseorangan. Nah calon perseorangan itu, untuk mengajukan pencalonan kan dinilai berdasarkan pada jumlah dukungan. Jumlah dukungan berdasarkan kepada jumlah penduduk yang terdaftar dalam DPT," lanjutnya.
Ali menjelaskan menurut MK, seharusnya syarat pencalonan dari jalur parpol maupun independen adalah sama. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945.
"Kalau misalnya diatur secara berbeda kan berarti pencalonan yang diajukan parpol jauh lebih berat, dan itu menurut Mahkamah adalah pelanggaran yang tidak bisa ditoleransi," ucap Ali.
“Sehingga secara jelas sebetulnya amar putusannya adalah persyaratan itu harus sama, baik untuk parpol yang punya kursi DPRD maupun tidak punya. Dan persentasenya sudah ditentukan,” lanjutnya.
Oleh karena itu, kalau DPR mempertahankan peraturan lama dan hanya mengabulkan sebagian, Ali menilai itu sama dengan melawan putusan MK dan tidak bisa dibenarkan.
"Satu-satunya jalan untuk mengubah putusan MK ya dengan menggugat ke MK. Jalan yang harus dilakukan begitu. Dan dalam waktu dekat kan tidak mungkin," tandasnya.