Dorong Literasi di Kalangan Masyarakat Adat, Sokola Institute Raih Penghargaan UNESCO

ERA.id - Sokola Institute dengan programnya "Pendidikan Literasi untuk Masyarakat Adat Indonesia" telah terpilih sebagai salah satu pemenang UNESCO Confucius Prize for Literacy 2024.

Penghargaan bergengsi ini mengakui upaya luar biasa Sokola Institute dalam meningkatkan literasi di kalangan masyarakat adat melalui pendekatan inovatif dan integratif.

Kemenangan ini diumumkan pada peringatan International Literacy Day di kota Yaoundé, Republik Kamerun pada hari Senin, 9 September 2024. 

Tahun ini, program literasi Sokola Institute mendapatkan apresiasi tinggi dari juri United Nations Education, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atas metode pengajaran literasi dasar yang unik, yang menggabungkan bahasa ibu komunitas adat setempat dengan pendekatan etnografis, serta memfasilitasi pembelajaran bahasa nasional. 

Sesuai dengan tema International Literacy Day 2024 “Mempromosikan pendidikan multibahasa: literasi untuk membangun kesepahaman bersama dan perdamaian”. 

Literasi masyarakat adat (Dok. Kemendikbudristek)

Dalam keterangannya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim mengungkapkan kebanggaannya atas penghargaan yang diraih oleh Sokola Institute. 

"Penghargaan dari UNESCO merupakan bukti komitmen pemerintah bersama seluruh masyarakat Indonesia dalam menguatkan literasi. Kita telah membuktikan kepada dunia bahwa kekayaan bahasa daerah yang dimiliki Indonesia adalah kekuatan untuk menciptakan perdamaian dan membangun peradaban yang lebih baik,” ucap Nadiem, dari keterangan resmi yang diterima ERA.

Selanjutnya, Direktur dan pendiri Sokola Institute, Butet Manurung, menjelaskan bahwa lewat penghargaan dari UNESCO membuktikan bahwa budaya memiliki kontribusi besar dalam proses pembelajaran literasi.

“Melibatkan bahasa dalam literasi sangat penting, tetapi memasukkan budaya masyarakat adat ke dalam pembelajaran jauh lebih krusial. Pendekatan Sokola ingin membantu menciptakan versi terbaik dari praktik pendidikan mereka dan meningkatkan determinasi komunitas,” jelas Butet Manurung.

Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Ismunandar mengatakan bahwa multibahasa semakin menjadi fenomena umum di dunia, dengan sekitar 7.000 bahasa yang tersebar tidak merata di sekitar 200 negara, terutama di Afrika Sub-Sahara dan Asia Pasifik.

“Manfaat pendidikan multibahasa sangat besar, terutama dalam membantu anak-anak mengakses pendidikan dengan lebih baik, terutama di daerah pedesaan. Pendidikan dalam bahasa ibu terbukti meningkatkan partisipasi sekolah, keterampilan berpikir, dan memperpanjang masa pendidikan anak perempuan,” urai Ismunandar.

Sebagai informasi, berdasarkan hasil pemetaan bahasa yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sejak tahun 1991 hingga 2019, terdapat 718 bahasa di 2.560 daerah pengamatan.

Keberagaman bahasa ini mencerminkan betapa pentingnya pendekatan multibahasa dalam pendidikan, tidak hanya untuk meningkatkan literasi, tetapi juga untuk memperkuat dialog antarbudaya dan kohesi sosial.

Dengan demikian, pendidikan multibahasa dapat menjadi kunci bagi perkembangan berkelanjutan di negara yang kaya akan keanekaragaman bahasa seperti Indonesia.