Pakar ITB Yakin Tsunami Selat Sunda Akibat Anak Krakatau
"Pada kegiatan interval Krakatau sudah kami amati, setiap dua tahun. Seperti pada tahun 2012, gunung tersebut meletus, kemudian terjadi kembali di tahun 2014. Nah, di tahun 2018 ini dalam penelitian kami terhadap Gunung (anak) Krakatau merupakan fenomena yang paling besar, yang salah satu akibatnya adalah Tsunami," ujar Mirzam kepada era.id, Minggu (23/12/2018).
Hasil pemantauannya juga bukan saja pada Gunung Krakatau dan Anak Krakatau. Menurutnya, gunung-gunung yang berada di tengah laut seperti Gamalama dan gunung-gunung lainnya.
"Orang-orang yang mengambil foto Gunung Krakatau memiliki strombolian yang indah. Padahal kami sudah melihat adanya aliran yang menunjukan adanya retakan dari Gunung Krakatau," ujarnya.
Strombolian adalah salah satu dari jenis tipe erupsi gunung berapi. Dia hampir mirip dengan tipe Hawaiian, erupsi berupa semburan lava yang mirip air mancur dan disertai leleran lava pada celah-celah gunung. Bedanya, strombolian lebih dangkal dan memang biasa terjadi pada gunung aktif di tengah laut. Masalahnya, meski tipe letusannya tak terlalu kuat, namun bisa berlangsung lama dan sulit diprediksi kapan akan berakhir.
Mirzam mengakui kalau erupsi Gunung Anak Krakatau tak terdeteksi akan menimbulkan gelombang tsunami. Lagi pula, alat deteksi yang terpasang hanya memantau getaran bersifat textbook. Padahal yang harus dipastikan adalah aktifitas dari gunung sekitar laut tersebut.
"Volcanogenic tsunami akibat longsor umumnya akan menghasilkan tinggi gelombang yang lebih kecil dibandingkan dua penyebab sebelumnya, namun bisa sangat merusak dan berbahaya karena tidak didahului oleh surutnya muka air laut," tegasnya.