Menag Akan Bertemu MUI Bahas Fatwa Haram Subsidi Nilai Manfaat Haji
ERA.id - Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar akan bertemu Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membahas status haram penggunaan Nilai Manfaat pengelolaan dana haji milik jamaah lain.
"Dalam waktu dekat ini setelah ada pertemuan (Mudzakarah Perhajian) saya sendiri akan sowan ke MUI," ujar Nasaruddin dalam Mudzakarah Perhajian di Bandung, Jumat (8/11/2024), dikutip dari Antara.
Sebelumnya, hasil Ijtima' Komisi Fatwa MUI se-Indonesia VIII Nomor 09/Ijtima' Ulama/VIII/2024 mengharamkan penggunaan hasil investasi setoran awal biaya haji (Bipih) untuk membiayai penyelenggaraan haji jamaah lain.
Nasaruddin mengatakan para ulama dan ahli fikih di Mudzakarah Perhajian akan berdiskusi membahas perihal penggunaan Nilai Manfaat hasil kelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang digunakan untuk jamaah lain.
Ia mengatakan jika hasil ijtima' ulama itu diterapkan, maka peserta haji membayar akan biaya haji yang cukup besar.
Mengacu pada haji 2024, biaya riil haji mencapai Rp94 juta per orang. Kemudian dengan adanya pemanfaatan nilai manfaat dana haji, jamaah cukup membayar rata-rata Rp56 juta per orang. Sementara sisanya disubsidi oleh Nilai Manfaat dana haji.
Apabila pemanfaatan Nilai Manfaat dana haji diharamkan, maka setiap calon haji harus membayar biaya mendekati biaya riil. Saat ini, jamaah memperkirakan biaya haji yang harus dibayar di kisaran Rp50-60 juta.
Dengan setoran awal pendaftaran haji Rp25 juta, maka pelunasannya tinggal sekitar Rp30 juta saja. Namun, apabila subsidi Nilai Manfaat dana haji diharamkan, maka jamaah harus membayar biaya pelunasan haji yang sangat besar mencapai Rp60-70 jutaan.
"Sampai saatnya tiba pelunasan akan stres ketika tidak mendapat subsidi. Akhirnya akan menabrak batas-batas istitha'ah (kemampuan). Perhitungkan dan pertimbangkan apa, dampak apa maslahatnya," kata Nasaruddin.
Ia berpesan kepada forum Mudzakarah Perhajian untuk mencari solusi syariat supaya bisa membuka keran haram itu. Nantinya, jika ada pendapat yang sama-sama kuat, maka diambil kebijakan yang memiliki dampak paling ringan.
Apabila nanti sudah lahir produk hukum yang meringankan jamaah, maka ia akan membawanya ke MUI untuk sama-sama dibahas.
"Kebijakan ini harus untuk kemaslahatan. Jangan untuk melahirkan kesulitan," ucapnya.