Taiwan Bantah Ada Kerja Paksa Terhadap Mahasiswa Indonesia
"Secara keseluruhan berita yang disampaikan oleh seorang jurnalis Taiwan (tentang dugaan kerja paksa) itu tidak benar," kata Kepala Kamar Dagang dan Ekonomi Taiwan (TETO) John Chen seperti dikutip dari Antara, Jumat (4/1/2018).
Bantahan TETO disampaikan menyusul munculnya laporan di media China Times soal kerja paksa mahasiswa Indonesia peserta program pendidikan New Southbound Policy (NSP) bernama Industry Academia Collaboration. Di bawah program ini, mahasiswa dapat bekerja magang sembari kuliah di Taiwan.
Namun menurut seorang anggota parlemen Partai Kuomintang bernama Ko Chih-en kepada China Times, sebanyak 300 mahasiswa Indonesia peserta NSP di Universitas Hsing Wu mengalami kerja paksa. Mahasiswa, kata dia, dipaksa kerja dari Minggu hingga Rabu, selama 10 jam setiap hari. Padahal dalam aturannya mereka hanya boleh bekerja 20 jam per minggu.
"Pemerintah Taiwan selalu mementingkan kesejahteraan mahasiswa dan pekerja asing dan sangat mewajibkan semua universitas dan perguruan tinggi yang berpartisipasi dalam 'Program Magang Industri-Universitas' untuk mengikuti aturan dan peraturan yang relevan," jelasnya.
John mengatakan bahwa TETO telah menyelidiki dugaan kasus kerja paksa terhadap pelajar Indonesia di "Kelas Khusus Kerjasama Industri-Universitas" dari Universitas Sains dan Teknologi Hsing Wu. Jika terbukti ada kampus yang melanggar, TETO tidak segan memberi sanksi jika ditemukan penyimpangan atau operasi ilegal.
Salah satu bentuk sanksi itu adalah penghilangan hak universitas untuk berpartisipasi dalam program internasional kerja sama industri-universitas. Selain itu, setiap universitas yang terlibat dalam aktivitas magang ilegal akan dituntut.
Lebih lanjut John menjelaskan, bahwa semua pengaturan magang di luar kampus harus sesuai dengan aturan UU di Taiwan yang menjamin kesejahteraan pekerjanya.
"Mereka harus mendapatkan asuransi kesehatan, mendapatkan bayaran yang sesuai, dibayar dua kali lipat bila lembur, biaya transportasi ke dan dari universitas yang diatur oleh otoritas universitas," ucapnya.
Bantahan yang sama disampaikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Taiwan dalam pernyataan di situs mereka pada Rabu lalu. PPI mengatakan, kata "kerja paksa" tidak tepat karena mahasiswa diberikan gaji sesuai dengan jam kerja mereka.
"Memang ada kelebihan jam kerja dari yang telah ditentukan (20 jam per minggu untuk pelajar). Seluruh jam kerja yang dilakukan tetap diberikan gaji dan kata 'kerja paksa' sebenarnya kurang tepat untuk hal ini. Sejauh ini ada beberapa mahasiswa yang mengeluh capek dan ada juga beberapa mahasiswa yang menikmati hal ini," ujar laporan PPI.
Menurut data Kementerian Luar Negeri RI, saat ini ada 6.000 mahasiswa Indonesia di Taiwan, 1.000 di antaranya peserta skema kuliah-magang. Selagi penyelidikan berlangsung, Indonesia menghentikan pengiriman mahasiswa ke Taiwan.
PPI sementara itu mendesak pemerintah menempatkan staf pendidikan setara atase untuk membantu "mengelola, memonitoring, dan mengevaluasi program-program kerja sama yang ditawarkan antara Indonesia dan Taiwan."