Kadin Minta Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12 Persen
ERA.id - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah menunda kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.
"Kita harus menyuarakan untuk menunda, menunda PPN 12 persen ini karena dengan kondisi yang ada," ujar Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (29/11/2024), dikutip dari Antara.
Kadin menyarankan pemerintah mempelajari kembali PPN 12 persen ini karena dampak langsungnya kepada konsumer.
"PPN 12 persen waktu diputuskan kondisi ekonomi kita berbeda. Keadaan situasinya pada waktu itu sangat-sangat berbeda sekali. Sekarang keadaannya sangat berbeda dengan pada waktu keputusan PPN 12 persen diputuskan kurang lebih tiga tahun yang lalu," kata Arsjad Rasjid.
Selain itu, kondisi ekonomi global saat ini dalam situasi ketegangan geopolitik yang sangat tinggi, serta daya beli di Amerika Serikat yang mengalami penurunan saat ini.
Hal terpenting yang harus dijaga adalah perekonomian domestik yang menjadi penjaga perekonomian nasional.
"Karena walau bagaimanapun, kita harus bisa memastikan bahwa yang namanya ekonomi domestik kita jaga. Karena itulah yang menjadi utama penjaga ekonomi kita. Ekonomi domestik harus kita jaga," kata Arsjad.
Maka dari itu, lanjutnya, penindakan dan pemberantasan terhadap impor ilegal harus dilaksanakan karena hal ini mengganggu perekonomian domestik.
Sebagai informasi, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pemerintah berencana untuk memundurkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang pada awalnya bakal diterapkan pada 1 Januari 2025.
Menurut Luhut, penundaan kenaikan PPN itu karena pemerintah berencana untuk memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat melalui bantuan sosial ke kelas menengah.
Anggaran bansos tersebut sudah disiapkan pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan segera diselesaikan rancangan penyalurannya.
Sementara itu, mengenai gelombang penolakan kenaikan PPN 12 persen di media sosial, Luhut menganggapnya karena ketidaktahuan masyarakat terkait struktur kenaikan.