Yang Tersisa dari Gaza Pascaperang: Antara Riviera Trump dan Nakbah 1948

ERA.id - Lebih dari 48 ribu warga Palestina tewas. Hampir 2 juta jiwa mengungsi. Ratusan ribu gedung di Gaza hancur; termasuk separuh rumah sakit tak berfungsi, nyaris seluruh sekolah rusak, dan 80 persen masjid roboh, menurut laporan yang dirangkum dari AFP. Demikianlah daya rusak yang ditimbulkan Israel hanya dalam kurun waktu setahun lebih sedikit di Jalur Gaza pascaserangan 7 Oktober silam.

"Jika yang terjadi di Gaza bukan genosida, lantas apa itu?" tulis seorang jurnalis Israel Gideon Levy dalam kolom opininya di Haaretz.

"Lantas apa ini? Apa yang Anda sebut sebagai pembunuhan massal yang terus berlanjut bahkan saat kalimat ini ditulis, tanpa diskriminasi, tanpa batasan, dalam skala yang sulit dibayangkan?" lanjutnya.

Levy hanya satu dari segelintir orang Israel yang berhasil lepas dari "cuci otak" zionis. Sementara lainnya tak jauh beda dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, merasa bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan untuk mereka dan hanya untuk mereka.

Setelah Kesultanan Ottoman runtuh dan wilayah kekuasaannya di Palestina diambilalih penjajah lain, Inggris mendeklarasikan national home atau ‘rumah nasional’ bagi bangsa Yahudi di Palestina pada 1917.

Dan sejak saat itu juga, lambat laun orang-orang Palestina kehilangan rumah mereka, hingga puncaknya benar-benar terusir dalam peristiwa Nakbah 'malapetaka' sepanjang 1948-1949, di mana mereka mengalami eksodus masal dari tanah airnya selama Perang Arab-Israel. Lebih dari 700.000 orang diperkirakan melarikan diri dan dipaksa meninggalkan kampung halaman. Hingga kini, mereka tak juga kembali.

Ketika kini Israel dan para pendukungnya menuding 7 Oktober 2023 sebagai biang kerok perang yang berkecamuk di Gaza, dan melimpahkan seluruh kesalahan kepada kelompok perlawanan Palestina Hamas, Gideon Levy lagi-lagi harus mengoreksinya.

"Israel tak pernah mengambil tanggung jawab atas kejahatan Nakba," kata Levy saat diwawancara Indian Express pada 31 Januari 2025. "Sumber dari segala luka itu berada di 1948, dan itu baru bisa dituntaskan dan disembuhkan hanya ketika kita menghadapi kenyataan tentang 1948."

Pada 15 Januari 2025, Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani mengumumkan gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Kesepakatan itu dijadwalkan berlaku pada 19 Januari 2025 dan terdiri dari tiga tahap, yang diharapkan dapat mengakhiri agresi Israel di Gaza.

Sayangnya, setelah hampir sebulan berlalu sejak perjanjian gencatan senjata itu berlangsung, sikap yang ditunjukkan Israel dan kroninya tampak mengulang kesalahan serupa di masa lalu.

Setengah hati akui kedaulatan Palestina, jalan buntu Solusi Dua Negara

Banyak negara dan organisasi internasional menyerukan Solusi Dua Negara (Two-state Solution) sebagai titik temu untuk menciptakan perdamaian di tanah Palestina, termasuk Indonesia. Dengan bayangan, untuk menghentikan perang tak berkesudahan, Palestina mesti berdiri berdampingan dengan Israel sebagai sama-sama negara berdaulat. 

Adapun wilayah Palestina yang nantinya diakui oleh hukum internasional meliputi Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sebelumnya, Tepi Barat dikuasai oleh Otoritas Palestina, sementara Jalur Gaza oleh Hamas.

Namun, pada kenyataannya, Israel masih menduduki wilayah dan permukiman Palestina di Tepi Barat. Palestina pun belum menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan tidak diakui sebagai negara merdeka oleh sebagian anggota PBB, khususnya Amerika Serikat (AS).  

Tahun lalu, Mahkamah Internasional (ICJ) di bawah PBB menegaskan bahwa pendudukan Israel itu ilegal dan mendesak agar tindakan mereka segera dihentikan.

"Pemukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, serta rezim yang terkait dengannya, telah dibangun dan dipertahankan dengan melanggar hukum internasional," ungkap PM Lebanon Nawaf Salam saat membacakan temuan panel yang terdiri dari 15 hakim, Jumat (19/7/2024), dikutip dari Reuters.

Sementara di Jalur Gaza, Israel berusaha mati-matian menundukkan Hamas dan merebut kekuasaan di sana.

Wakil Duta Besar (Wadubes) Negara Palestina untuk Republik Indonesia (RI) Dr. Ahmed M.I. Metani menyayangkan keengganan Israel membiarkan negaranya merdeka.

Two-state solution sebelumnya diajukan oleh komunitas internasional, bukan oleh rakyat Palestina, dan rakyat Palestina menerima solusi tersebut," ujarnya dalam Talkshow Peacemaker Forum 2023, Rabu (29/11/2023). "Meskipun itu adalah kompromi yang menyakitkan untuk memberikan 78 persen tanah bersejarah kami untuk Israel dan kami hanya mendapatkan 22 persen, tapi kemudian Israel menolaknya."

Kini, setelah apa yang dianggap dunia internasional sebagai genosida agak mereda lewat gencatan senjata, Israel bersama AS tampak masih "ngotot" mengusir warga Palestina dari rumah mereka.

Sejak awal Februari 2025, Presiden AS Donald Trump memberi berbagai pernyataan kontroversial terkait pengelolaan Gaza. Dia mengusulkan 2,2 juta warga Palestina direlokasi paksa ke negara-negara Arab sekitar, terutama Mesir dan Jordania. Belakangan, Trump juga mengusulkan agar Arab Saudi menampung pengungsi Palestina.

Presiden yang dulu juga memindahkan Kedutaan Besar (Kedubes) AS dari Tel Aviv ke Yerusalem itu juga berencana merebut dan membangun Gaza sebagai “Riviera Timur Tengah”. Dan yang paling girang menyambut usulan-usulan "gila" Trump tak lain adalah sekutunya, PM Israel Netanyahu.

Membayangkan Riviera di Gaza

Merespons berbagai pernyataan kontroversial Trump, William Wechsler, Senior Director of N7 Initiative and Alantic Council's Rafik Hariri Center & Middle East, menyebutnya sebagai "gurauan" untuk meningkatkan daya tawar Amerika dalam negosiasi mendatang.

"Dia percaya bahwa hal itu akan meningkatkan pengaruh Amerika dalam negosiasi yang akan datang. Dan mengapa dia ingin negosiasi itu terjadi? Saya pikir karena dia percaya bahwa Gaza dengan cepat bergerak kembali ke situasi sebelum 7 Oktober," ujarnya kepada ERA, Jumat (14/2/2025).

William Wechsler, Senior Director of N7 Initiative and Alantic Council's Rafik Hariri Center & Middle East.

William menjelaskan situasi tersebut adalah ketika Hamas masih berkuasa di Gaza; dengan Otoritas Palestina tidak harus membuat keputusan yang sulit; Israel yang nyaman dalam mengelola situasi dengan cara mereka; dan negara-negara Arab yang tidak harus memberikan kepemimpinan.

"Presiden Trump, seperti yang saya lihat, ingin mengacaukan seluruh proses tersebut, yang menurutnya akan menghasilkan hasil bagi Palestina, paling tidak, tapi tentu saja hasil negatif bagi semuanya," ujar William.

"Dan apa yang dia katakan pada dasarnya kepada kepemimpinan Otoritas Palestina dan kepemimpinan negara-negara Arab di kawasan ini adalah, jika Anda tidak menyukai ide ini, mengapa Anda tidak datang ke meja perundingan dengan ide yang lebih baik?" lanjutnya.

Menurut William, dengan begitu, negara-negara Arab akan bersatu untuk mencoba menghasilkan ide yang lebih baik menandingi Trump.

Terkait ide soal membangun Riviera di Gaza, William lagi-lagi menilai Trump tidak bersungguh-sungguh akan mengeksekusi idenya.

"Kenyataannya adalah bahwa Amerika Serikat tidak akan memiliki dan membersihkan Gaza secara etnis dan membangun Riviera baru di sana. Namun, pada tahun 2005, setelah Israel meninggalkan Gaza, orang-orang Palestina di sana punya kesempatan untuk membangun era sungai baru yang bisa saja menjadi Dubai, Singapura," ujar William.

"Sebaliknya, Hamas mengambil alih dan telah membawa orang-orang di sana ke dalam bencana yang sangat buruk, jadi itulah visi yang ingin disampaikan oleh Donald Trump. Saya rasa banyak hal yang dikatakannya sebagai pernyataan ekstrem tidak harus diartikan secara harfiah, tapi harus ditanggapi dengan serius," lanjutnya.

William Wechsler, Senior Director of N7 Initiative and Alantic Council's Rafik Hariri Center & Middle East.

Meski begitu, William menganggap Gaza seharusnya bisa lebih baik dari sekarang. Dengan lokasinya di Mediterania, tepat di seberang Laut Tengah, itu bisa betul-betul berkembang menjadi "riviera" dan menjelma kawasan yang sejahtera secara ekonomi.

"Tidak ada alasan mengapa hal itu tidak bisa terjadi. Satu-satunya alasan mengapa hal itu tidak bisa terjadi adalah karena siklus kekerasan yang telah melukai semua orang di wilayah tersebut, terutama rakyat Palestina di Gaza. Dan siklus kekerasan itulah yang harus diputus," ujarnya.

"Hamas harus menghentikan narasi perlawanannya, dan kepemimpinan rakyat Palestina harus memulai negosiasi yang jelas dengan Israel, yang harus menerima visi negara Palestina yang hidup berdampingan dengan damai," lanjutnya.

Semua salah Hamas?

Selagi William percaya yang sepatutnya disalahkan atas segala carut marut di Gaza adalah Hamas, kelompok perlawanan Palestina itu sudah menyatakan siap menyerahkan kendali Jalur Gaza kepada Otoritas Palestina dan komisi pemerintah, menurut laporan Sky News Arabia.

Menurut sumber tersebut, Hamas telah mengajukan syarat-syarat untuk menyerahkan kekuasaan kepada Otoritas Palestina, mencakup perlunya mempertahankan pekerjaan bagi pegawai di pemerintahan baru atau memberi mereka masa pensiun dengan jaminan pembayaran gaji.

Menurut sumber tersebut, keputusan penyerahan kekuasaan itu diambil oleh pimpinan Hamas setelah mendapat tekanan kuat dari Mesir selama perundingan terakhir di Kairo.

Bertentangan dengan William Wechsler, Tahani Mustafa, analis Palestina di International Crisis Group, justru menjelaskan bahwa dengan segala kekurangan pemerintahan Hamas, yang paling menyebabkan orang-orang Palestina menderita bukan mereka, tetapi Israel.

"Menyalahkan Hamas atas kemerosotan standar hidup ini merupakan miskarakterisasi yang dilakukan Israel selama 16 tahun terakhir," ujarnya dalam wawancara bersama NPR, Jumat (4/11/2023). "Ada banyak hal yang mungkin bisa disalahkan atas Hamas, tetapi sebagian besar kesengsaraan masyarakat bukan disebabkan oleh Hamas."

Situasi serupa menurutnya juga dengan mudah ditemukan di Tepi Barat yang dikuasai oleh gerakan Fatah pimpinan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas.

“Rakyat Palestina tidak mengendalikan sumber daya mereka sendiri. Mereka tidak bisa mengontrol pergerakan barang dan orang-orang. Apa yang boleh keluar-masuk sepenuhnya ditentukan atas perizinan Israel. Dan pada akhirnya, Anda tahu, Israel telah melakukan banyak hal untuk memastikan bahwa wilayah-wilayah yang didudukinya tetap tidak berkembang,” ujarnya.

William Wechsler, Senior Director of N7 Initiative and Alantic Council's Rafik Hariri Center & Middle East.

Sementara itu, William Wechsler baru menyinggung peran Israel dalam penderitaan warga Palestina setelah beberapa kali ditanyakan. Dia pun akhirnya mengakui bahwa Israel punya tanggung jawab untuk menjamin dan mewujudkan keamanan di Gaza.

"Israel memiliki tanggung jawab yang besar terhadap rakyat Gaza, dan ini adalah hal yang tidak ingin didengar oleh banyak orang di Israel, tetapi mereka melakukannya, karena mereka adalah kekuatan pendudukan, dan mereka memiliki tanggung jawab. Mereka memiliki tanggung jawab dasar untuk keamanan dan rezeki bagi orang-orang di sana," ujarnya.

"Mereka memiliki tanggung jawab untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk. Dan mereka memiliki tanggung jawab di bawah ketentuan perjanjian gencatan senjata yang dicapai dengan bantuan Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat... Mereka memiliki tanggung jawab untuk melakukan semua yang mereka bisa untuk mencoba mencapai tahap kedua dalam gencatan senjata, yang kemudian akan memiliki prospek untuk mengakhiri perang yang mengerikan ini," lanjutnya.