Psikolog UI Tegur Orang-Orang yang Suka Pamer atau Flexing, Bahaya Ternyata

ERA.id - Psikolog keluarga lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Sani B. Hermawan, S.Psi., menilai perilaku flexing atau pamer kekayaan menyebabkan seseorang tidak berkembang karena dia hanya fokus pada apa yang orang pikirkan tentang dia.

“Akan selalu fokus pada apa yang orang lakukan terhadap dirinya, bukan sebenarnya hal-hal yang optimal yang efektif yang bisa dia lakukan untuk dirinya,” kata Sani, Sabtu (29/3/2025).

Orang yang melakukan flexing biasanya mau mendapat pengakuan dari komunitasnya, seperti memakai tas mewah, mobil mewah, atau gawai tercanggih yang sebenarnya belum mampu dibeli, akhirnya membuat orang rela menyewa dengan membayar sejumlah uang.

Tak jarang seseorang rela menyewa barang-barang mewah tersebut agar seolah terlihat mampu memilikinya.

Perilaku itu, kata Sani, bisa merugikan diri sendiri karena mengeluarkan uang yang sebenarnya tidak perlu. Sani juga mengkhawatirkan flexing adalah sikap membohongi diri sendiri dari keadaan sebenarnya di dunia nyata agar orang lain memperhatikan dan hormat kepada dia.

“Ini menurut saya hal yang membohongi diri sendiri karena sebenarnya apa yang dia lakukan itu, walaupun boleh-boleh saja, tapi, itu membohongi kenyataannya, begitu,” kata Sani.

Tanpa disadari, perilaku flexing menampilkan sisi arogan seseorang, menurut sang psikolog. Memamerkan secara berlebihan barang-barang mewah yang dimiliki juga bisa menyebabkan kecemburuan sosial di dalam keluarga.

Oleh karena itu, jika memiliki barang-barang yang terbilang mewah, Sani menyarankan seseorang untuk tidak memamerkannya secara berlebihan.

“Kalaupun itu punyanya, dia tidak perlu flexing, tidak perlu memamerkan, nanti akan menjadi kecemburuan sosial, juga bisa membuat ada kesenjangan hubungan interaksi antarmanusia dan dia jadi (menunjukkan) banyak faktor arogansinya sebenarnya dibanding (sikap) down to earth (rendah hati),” kata Sani.