Ngaku Jadi Negara Pertama yang Diskusi Bareng AS, Presiden Taiwan: Kami Akan Memanfaatkannya
ERA.id - Presiden Taiwan Lai Ching Te mengatakan bahwa negaranya masuk jajaran pertama yang akan berdiskusi mengenai tarif dagang dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Lai berjanji siap untuk segera berdiskusi.
"Kami berada dalam kelompok negosiasi pertama, dan pemerintah akan sangat siap," kata Lai di hadapan para pemimpin bisnis di kota Taichung, Taiwan, dilansir AFP, Jumat (11/4/2025).
Lalu, kata Lai, Taiwan sangat mendambakan kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan AS. Hal ini bahkan sudah menjadi harapannya sejak beberapa tahun terakhir.
"Keinginan Taiwan untuk memperkuat kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan Amerika Serikat selama beberapa tahun terakhir dapat (dipenuhi) dengan memanfaatkan kesempatan ini," imbuhnya.
Presiden AS Donald Trump sebelumnya mengumumkan bahwa ia akan menurunkan sementara bea masuk yang baru saja dikenakannya pada puluhan negara, kecuali China.
Taiwan sendiri yang merupakan produsen semikonduktor utama, akan dikenakan tarif sebesar 32 persen oleh AS.
Di sisi lain, negara-negara di seluruh Asia mengatakan bahwa mereka telah memulai atau sedang mempersiapkan diri untuk memulai pembicaraan dengan AS mengenai tarif.
Gedung Putih mengonfirmasi sedikitnya 70 negara telah menghubungi untuk memulai negosiasi.
Sebelumnya, Lai menawarkan tarif nol sebagai dasar pembicaraan dengan Amerika Serikat, dengan mengatakan Taiwan akan membeli lebih banyak dari dan berinvestasi lebih banyak di negara itu.
Taiwan, yang merupakan rumah bagi pembuat chip kontrak terbesar di dunia TSMC, telah lama mencari kesepakatan perdagangan bebas dengan Amerika Serikat.
Amerika Serikat adalah pendukung internasional dan pemasok senjata terpenting Taiwan, meskipun tidak memiliki hubungan diplomatik formal.
Taiwan menghadapi tekanan militer dan politik yang meningkat dari tetangganya yang besar, China, yang memandang pulau yang diperintah secara demokratis itu sebagai wilayahnya sendiri.
Pemerintah Taiwan menolak klaim tersebut, dengan mengatakan hanya penduduk pulau itu yang dapat memutuskan masa depan mereka.