Tuai Protes, Kenapa Dedi Mulyadi Hapus Dana Hibah untuk Pesantren di Jabar?
ERA.id - Wakil Ketua DPRD Jabar Ono Surono menilai Gubernur Jabar Dedi Mulyadi mengabaikan aspirasi publik setelah memilih menghapus dana hibah pesantren dengan dalih memberikan keadilan dan menghindari relasi politik.
Terlebih, kata Ono, dalam efisiensi APBD Jawa Barat yang saat ini menghapus sejumlah usulan dari masyarakat tanpa melalui pembahasan yang melibatkan DPRD Jabar, di mana selain hibah untuk ponpes, juga bantuan organisasi kemasyarakatan, serta kegiatan usulan kabupaten/kota, memicu reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat dan sejumlah fraksi di DPRD Jawa Barat.
"Mereka menilai keputusan penghapusan tersebut tidak hanya mengabaikan aspirasi publik, tetapi juga mencederai semangat kolaborasi dan prinsip musyawarah, misalnya hibah Ponpes," kata Ono di Bandung, beberapa waktu lalu.
Ono mengingatkan kalau ada ponpes yang diduga oleh Gubernur Dedi Mulyadi memperoleh anggaran besar, maka perlu verifikasi dan jangan dicoret begitu saja tanpa melibatkan DPRD maupun dari ponpes tersebut.
"Kalaupun Ponpes menerima hibah hanya untuk memenuhi unsur atau aspek politik (relasi politik) itu sah saja. Sama halnya dengan gubernur datang ke suatu tempat, desa, atau satu organisasi dan dia menjanjikan akan membantu," ujar dia.
"Implementasi prinsip kolaboratif di Jabar saat ini masih jauh dari harapan. Harusnya, kolaborasi hadir tidak hanya sebagai jargon dalam pidato atau dokumen formal, tetapi harus menjadi pijakan nyata dalam penyusunan kebijakan," ucap dia.
Ono mengatakan dalam konteks perencanaan pembangunan daerah, kolaborasi itu idealnya dilandasi beberapa aspek, yakni teknokratis, partisipatif, politis, dan top-down-bottom-up.
"Kolaborasi yang melibatkan kajian akademik dari perguruan tinggi, menempatkan masyarakat bukan hanya sebagai objek, tapi juga subjek pembangunan. Ada juga aspek politis yang mengakomodasi visi misi kepala daerah serta anggota DPRD, kemudian melalui pendekatan top-down dan bottom-up. Ini memungkinkan komunikasi dua arah antara pemerintah pusat dan daerah dari atas ke bawah dan sebaliknya," kata Ono.
Atas efisiensi dengan penghapusan dana hibah ini, Ono berharap pimpinan DPRD Jabar segera merespon aspirasi masyarakat dan kegelisahan anggota DPRD Jawa Barat untuk merumuskan kembali kebijakan yang lebih adil dan menyeluruh.
Dia juga menegaskan pentingnya verifikasi terhadap ponpes yang diduga menerima anggaran besar, agar tidak terjadi penghapusan dana secara sepihak tanpa melibatkan pihak terkait.
Sebelumnya Pemprov Jabar mencukur rencana kucuran hibah ke sejumlah pesantren dalam pergeseran APBD 2025.Tercatat ada 370 lebih lembaga yang direncanakan bakal menerima kucuran hibah, yang tertera di Sub Pengelolaan Sarana dan Prasarana Spiritual.
Lembaga-lembaga itu akhirnya batal menerima hibah karena kebijakan pergeseran anggaran, dan tersisa hanya pada dua lembaga, yakni Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Jabar dengan nilai Rp9 miliar dan Yayasan Mathlaul Anwar Ciaruteun Udik di Kabupaten Bogor senilai Rp250 juta.
Selain hibah ke pondok pesantren yang dihapuskan, kucuran hibah masih mengalir ke sejumlah lembaga. Semua tercatat dalam dokumen Pergub Nomor 12 Tahun 2025 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025, antara lain PMI Jabar dengan nilai Rp1,8 miliar, meski sudah terpangkas dari rencana sebelumnya Rp2,1 miliar.
Kemudian Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jabar Rp 3,4 miliar, DPD KNPI Jabar Rp2 miliar dari rencana sebelumnya Rp5,5 miliar dan NPCI Jabar Rp10 miliar dari sebelumnya Rp12,1 miliar.
Lalu Kormi Jabar Rp1 miliar dari sebelumnya Rp3,7 miliar. Ada juga KONI Jabar untuk pembinaan prestasi Rp30 miliar dari sebelumnya Rp31,1 miliar.
Selanjutnya ada Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Jabar Rp1 miliar, Kanwil Kemenag Jabar untuk layanan petugas haji Rp19,2 miliar, PWNU Jabar Rp1,7 miliar, dan Persis Jabar Rp560 juta.
Berikutnya yang nilainya tak terusik atau tergeser adalah hibah bantuan keuangan kepada partai politik di Jabar, nilainya dihitung berdasar perolehan suara masing-masing.
Lalu ada juga hibah dana operasional organisasi ke sejumlah instansi vertikal di Jabar, nilai anggarannya juga tak terusik. Misalnya untuk Polda Jabar Rp44,963 miliar, Pangkalan TNI AL Bandung Rp16,5 miliar, hingga Kodam III/Siliwangi Rp54 miliar.
Rentan penyelewengan
Merespons argumen Ono, Dedi bilang penghentian dana hibah untuk pesantren tersebab dana tersebut selama ini banyak diselewengkan hingga membuat penyalurannya tidak merata dan salah sasaran.
Dia mencontohkan soal informasi mengenai temuan adanya yayasan baru yang tidak terverifikasi, namun menerima dana miliaran rupiah yang tidak digunakan sebagaimana mestinya untuk peningkatan kualitas pendidikan.
"Saya tidak mau dana hibah hanya dinikmati oleh pihak-pihak tertentu. Ini tidak bisa dibiarkan, sehingga saya hentikan dulu. Ke depan, bantuan akan berbasis program pembangunan, bukan aspirasi atau kedekatan politik," kata Dedi dalam keterangan di Bandung, Minggu silam.
Adanya tindakan yang menyebabkan dana hibah pada yayasan pendidikan tidak merata dan salah sasaran, kata Dedi, membuatnya menghentikan sementara salah satu pos dana hibah dari Jabar tersebut, sampai rampungnya verifikasi institusi pendidikan oleh Dinas Pendidikan dan Kanwil Kementerian Agama Jabar.
"Rencana ini pun sudah didukung oleh DPRD Jabar," ucapnya.
Menyusul penghentian sementara dana hibah untuk yayasan pendidikan, Dedi juga mengatakan dirinya membuka kemungkinan menyalurkan hibah untuk pembangunan sekolah madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah yang menjadi kewenangan Kemenag kabupaten/kota.
"Pemprov siap membantu pembangunan madrasah yang sudah jelas jumlah siswanya. Saya tidak mau ada lagi penyalahgunaan. Saya tunggu data resmi dari Kemenag Jabar," katanya.
Selain itu, Dedi juga mengatakan pihaknya ingin melakukan reformasi pada pendidikan di Jabar, termasuk soal penerimaan siswa baru yang kerap memunculkan keributan termasuk untuk jenjang SMA/Madrasah Aliyah.
Oleh karena itu, dia meminta dan mengharapkan Dinas Pendidikan Jabar dan Kanwil Kemenag Jabar untuk menetapkan daya tampung secara jelas.
"Bila tidak mencukupi, siswa harus diarahkan ke sekolah swasta yang ditunjuk. Pemprov Jabar akan bantu pembiayaan siswa yang bersekolah di swasta, asalkan lokasinya jelas," tutur Dedi Mulyadi.
Hal serupa juga berlaku untuk penerimaan siswa tingkat SD dan SMP yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. "Seluruh pihak menyatukan visi dan misi dalam penataan pendidikan di Jawa Barat," ucapnya.
Ia juga menambahkan bahwa sekolah terutama tingkat menengah atas atau pertama yang akan dibangun, tidak boleh berdekatan dengan SD/SMP yang ada untuk menghindari perebutan siswa.
Dengan pendekatan ini, Dedi optimistis target 100 persen partisipasi sekolah hingga jenjang SMA/MA bakal tercapai di seluruh wilayah Jawa Barat.